Rasha menoleh ke arah pintu karena suara berisik seolah membuat pintu itu lepas dari rangkanya. Lelaki itu menghela napas melihat sosok yang muncul dari balik pintu.
Sergy menunduk hormat begitu melihat sosok Zhen dengan wajah yang tak ramah. Pria paruh baya itu mendatangi meja kerja Rasha dan menatapnya tajam.
“Apa kamu sudah kehilangan nurani dan otak pintarmu, heehh,” komentar ayahnya mendadak membuat Rasha bingung.
“Ada apa Papah?” Rasha menjawabnya santai.
“Dimana wanita itu sekarang?” tanya Zhen balik tidak memperdulikan pertanyaan Rasha.
Lelaki itu mengerutkan dahinya bingung, ayahnya datang membuat keributan dan sekarang bertanya hal yang tidak masuk akal.
“Wanita siapa maksud Papah?” tanya Rasha masih tak mengerti.
Zhen berdecak kesal, “Wanita yang kamu suruh menampung benihmu tapi tidak kamu nikahi. Apa kamu sudah gila, heeh.”
Rasha menghela napas dan mulai paham kemana arah pembicaraan ini. Dia menatap ayahnya santai, “Kenapa Papah harus pusing dengan wanita itu, dia urusanku,” komentar Rasha.
Bbrrraaakk..
“Apa kamu tidak berpikir tentang perasaannya jika kamu hanya menginginkan dia untuk jadi penampung benihmu dan tidak menikah, lalu bagaimana status anak kalian tanpa ibu,” sentak Zhen.
Rasha memijat keningnya perlahan dan menyandarkan tubuhnya di kursi seakan ucapan ayahnya ini sepele.
“Papah, sejak awal semua ini hanya untuk pewaris Sandr, dari awal aku sudah katakan aku akan temukan cara mendapatkan anak tapi bukan untuk cari istri atau menantu. Kenapa kalian sekarang pusing memikirkan status yang tak penting,” balas Rasha tak kalah sengit.
Zhen menghampiri putranya dan mencengkram kerah bajunya membuat Sergy mendatangi keduanya hendak melerai tapi Rasha menggelengkan kepalanya sebagai tanda dia tidak perlu ikut campur urusan ini.
“Ayah macam apa yang memisahkan anak dengan ibunya, kamu pikir aku tak tahu rencanamu setelah dia melahirkan anakmu kamu membuangnya begitu saja kan?” bentak Zhen sambil menggoyangkan tubuh anaknya.
Rasha mencengkram tangan ayahnya dan mendorongnya keras untuk melepas cengkraman pria paruh baya itu. Rasha merapikan kemejanya dan menatap ayahnya tajam.
“Jika memang Papah ingin membantu, urus keponakanmu yang serakah dan ingin menghancurkan semua rencanaku,” ujar Rasha.
Zhen menatap Rasha bingung, “Apa maksudmu?” tanya Zhen cepat.
“Adrian melakukan hal konyol untuk menggagalkan rencanaku memiliki anak karena imbalan yang Papah berikan kepadanya,” sentak Rasha membuat Zhen diam.
“Aku tahu Papah hanya menggertakku soal saham Sandr, tapi tidak bagi Adrian, baginya itu adalah tawaran menggiurkan dan dia pasti akan menggunakan segala cara untuk medapatkannya,” ucap Rasha mulai kesal.
Zhen diam, karena sebenarnya tujuannya hanya itu dan tidak berniat memberikan saham itu kepada Adrian.
“Itulah kenapa aku tak pernah sepaham denganmu, Papah tak pernah berpikir panjang mengenai dampak dari keputusan yang Papah buat,” keluh Rasha.
Rasha mendekat setelah tahu ayahnya hanya diam dengan ucapannya sehingga jarak mereka hanya selisih beberapa centi.
“Jika terjadi sesuatu kepada anakku, Papah juga akan kehilangan cucu Papah, karena perbuatan Adrian. Dan semua ini terjadi karena kekonyolan keputusan seseorang, jadi hanya satu orang yang patut disalahkan Tuan Zhen Aleksandr,” desis Rasha berpaling begitu saja meninggalkan ayahnya yang masih termangu.
“Jalankan peringatan pertama biar dia tahu diri dan tidak berani mencampuri urusanku lagi,” perintah Rasha sambil berjalan menyusuri koridor untuk meninggalkan kantor Sandr.
***
Adrian murka, erangan penuh amarah, umpatan kasar keluar dari mulutnya dan tangannya ikut mengamuk dengan membanting semua barang yang ada di mejanya. Cedric hanya diam berdiri menunggu emosi tuannya reda dengan sendirinya.
Adrian menatap nyalang dengan napas tersengal, dia tidak menyangka jika Rasha akan memberinya peringatan yang di luar perkiraannya.
Bagaimana tidak, dia sudah melakukan perjanjian mengenai pasokan obat ke Amerika tapi saat pengiriman itu berjalan, kebakaran terjadi di gudang obat itu dan semuanya habis terbakar hingga dia harus membayar pinalti kepada kliennya karena masalah ini yang jumlahnya tidak sedikit.
“Dia mengibarkan bendera perang kepadaku, lihat saja dia akan menyesal melakukan hal ini kepadaku,” geram Adrian mengepalkan tangannya seketika dia ingat soal program IUI yang akan sepupunya itu lakukan.
“Kapan inseeminasi itu akan dilakukan?” tanya Adrian cepat masih dengan deru napas penuh emosi.
“Tiga hari lagi Tuan,” jawab Cedric yakin.
Adrian menaikkan sudut bibirnya, “Rasha tidak akan bisa melakukan itu tanpa dokter yang menanganinya kan?” ucap Adrian membuat Cedric mendongak.
“Apa kita harus menculiknya seperti Maria?” tanya asisten Adrian memastikan karena ucapan Adrian membuat otaknya mengarah ke sana.
“Menculik dokter itu hanya menunda ekekusi tapi tidak membuatnya menyerah, jadi kamu harus melenyapkannya dari muka bumi ini,” kata Adrian menepuk pundak Cedric dan berlalu dari sana dengan tawa bahagia.
***
Ileanor sudah merasakan keanehan sejak pagi, karena itu dia berpesan kepada kurir untuk datang ke rumahnya sore hari. Dia paham ada beberapa orang yang berusaha membuntutinya mungkin juga ingin mencelakainya.
Ileanor duduk di salah satu coffee shop tapi dia sadar jika banyak pasang mata mengawasinya, karena itu dia memutuskan untuk menghubungi Varrel dan mengatakan kondisinya.
“Dimana?” tanya Ileanor cepat begitu mendengar suara Varrel di sebrang.
“Korea, napa?” tanya Varrel balik.
“Ini lebih cepat dari dugaan kita Rel, seharian ini aku udah dibuntuti sama beberapa orang yang berbeda, tapi aku yakin itu bukan orangnya Rasha,” urai Ileanor dengan pandangan mata ke seluruh sudut.
Varrel kaget dengan ucapan Ileanor, keduanya menyadari jika menuruti kemauan Rasha ini sama dengan mengorbankan nyawa mereka, tapi dia tak menyangka akan secepat ini kejadiannya.
“Aku telpon asistennya Rasha biar siaga dengan beberapa pengawal,” kata Varrel tapi Ileanor menolak.
“Dokumen yang aku ceritakan padamu, aku titipkan kepada Rasha, dalam kantong plastik kuning bertuliskan nama kamu,” pesan Ileanor membuat Varrel panik.
“Kenapa kamu mengatakan ini seakan kamu akan pergi, tunggu dulu, bagaimana dokumen itu bisa sampai ke sana dengan selamat jika kejadiannya seperti ini, apa kamu yakin?” cecar Varrel yang tak tahu harus khawatir dengan dokumen atau temannya.
“Apa kamu tahu dimana Abi tinggal, aku khawatir dia akan jadi sasaran berikutnya setelah aku,” Ileanor mengutarakan kecemasannya yang membuat Varrel makin emosi.
Ileanor menakhiri panggilannya tanpa mendengar ocehan Varrel lagi. Jika dia takut mati, bisa saja dia minta perlindungan Rasha dan dia yakin teman baiknya itu pasti melindunginya. Namun, beberapa waktu lalu dia mengetahui kenyataan tentang Abi membuatnya berpikir ulang untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Pemikiran itulah yang membuatnya jadi gila seperti sekarang demi Abi yang dia yakini sebagai orang yang bisa membantu Rasha keluar dari drama kusut Aleksandr seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Ileanor keluar kafe untuk kembali ke rumahnya, dia mengemudi dengan kecepatan tinggi dan penuh trik untuk mengelabui dua mobil yang mengikutinya. Setelah berputar-putar beberapa menit, dia bisa lolos dari kejaran dua mobil itu dan tiba di rumahnya dengan selamat.
Secepat kilat dia mengambil dokumen dan bertanya posisi kurir yang dia minta untuk mengirim barang. “Biometriknya harus cocok karena aku bayar mahal untuk paket ini,” pesan Ileanor kepada kurir itu yang mengangguk paham dan pergi dari sana.
Bbbbrrraaakkk…
Dobrakan keras pintu apartemennya terdengar dan Ileanor santai minum wine sambil duduk di sofa tengah melihat pemandangan kota di senja hari. Ada sekitar sepuluh orang berdiri di hadapannya megnhalanginya melihat pemandangan kota membuat pria itu kesal.
“Apa kalian tidak tahu sopan santun jika bertamu ke rumah orang lain?” celetuk Ileanor.
Empat orang diantaranya menodongkan benda pelontar selongsong timah. Dua orang yang lainnya mengeluarkan pisau dan bersiap menyerang Ileanor. Empat orang yang lainnya menggeledah seluruh isi rumah Ileanor seakan mencari sesuatu yang berharga.
“Seharusnya kalian bertanya kepadaku apa yang kalian cari,” cela Ileanor membuat empat orang itu ikut menodongkan benda yang sama dengan temannya.
“Dimana tabung itu?” tanya seorang pria.
Ileanor menunjuk ke atas membuat semua orang mengikutinya dan kesempatan ini dia gunakan untuk melumpuhkan orang-orang itu yang sebenarnya mudah baginya.
Baku hantam terjadi diantara mereka dan sebagian sudah mulai menyerah. Ileanor mengambil satu pelontar selongsong dan menodongkannya kepada salah seorang diantara mereka.
“Siapa yang menyuruhmu?” sentak Ileanor tapi mereka diam.
Ileanor bersiap mengeluarkan selongsong timah kepada salah seorang diantara mereka tapi titik merah berjumlah lima buah terlihat di d**a dan di kepalanya.
“Kalian tidak akan hidup tenang setelah ini,” sumpah Ileanor dan lima titik itu sudah menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk ke lantai.
***
Rasha serius memperhatikan penjelasan dari beberapa orang dalam timnya terkait pembuatan cetak biru Burskya. Dia tak ada firasat apapun karena rencananya meeting ini harus selesai sebelum besok dia terbang ke Denmark untuk persiapan inseminasi.
Sergy merasakan ponselnya bergetar dan berjalan keluar ruang meeting. Dia terkejut mendengar laporan dari anak buahnya, bagaimana dia bisa kecolongan untuk urusan penjagaan dokter Ileanor.
Wajah cemas Sergy saat kembali ke ruang meeting menarik perhatian Rasha tapi dia masih fokus dengan meeting ini karena nilai proyek ini yang tidak sedikit.
“Ada apa?” tanya Rasha di hadapan Sergy begitu meeting selesai.
Sergy mendongak dan menelan ludahnya pahit. “Dokter Ileanor tewas terbunuh sore ini di apartemennya,” lapor Sergy pelan.
Rasha mengepalkan tangannya erat. Dia yakin semua ini dilakukan oleh satu orang tapi dia tak menyangka jika kelakuan orang itu tak berakal seperti ini.
“Kita ke tempat Ileanor sekarang,” perintah Rasha dan keduanya mengangguk paham.
Rasha yang berada di sisi lain kota membuat perjalanan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai ke tempat Ileanor. Tiba di lokasi dia melihat banyak mobil polisi dan keributan di tempat tinggal Ileanor.
Rasha berlari melihat kantung jenazah yang dibawa oleh anggota polisi dan meminta ijin untuk melihatnya. Lelaki itu terkejut dengan keadaan Ileanor.
Tidak ada tanda kekerasan dari tubuhnya tapi dia melihat satu lubang di kepalanya membuatnya mengerti apa yang terjadi waktu itu.
“Sniper,” ujar Sergy dan dia langsung mencari kemungkinan dari lokasi pelaku penembakan itu.
Rasha masuk ke rumah Ileanor untuk menemukan petunjuk tapi semua tampak sempurna seperti perampokan bahkan brankas sudah dibobol dan barang berharga Ileanor ikut menghilang.
“CCTV sengaja dimatikan setelah kejadian ini, jadi saya yakin pelakunya menyadari jika kita akan datang,” lapor Sergy.
Rasha diam berpikir sambil mengedarkan pandangan ke seluruh rumah Ileanor.
“Dia santai menerima tembakan dari sniper itu artinya dia sudah tahu kejadian ini akan menimpanya, dimana penjaga yang aku minta saat itu,” desak Rasha.
Sergy berdehem, “Seseorang mengelabui mereka dan membuntuti orang yang salah,” jawab pengawalnya itu ragu.
Rasha terkekeh mendengarnya, “Jadi dia sudah merencanakan ini sejak lama, tapi kenapa harus Ileanor, semua orang tahu jika Ileanor dokter ternama di kota ini, menghabisinya seperti sekarang sebenarnya membuat kerugian bagi pelaku,” analisa Rasha sambil berjalan di dekat jendela.
“Akan jadi keuntungan jika orang itu tahu Ileanor yang akan membantu Anda untuk inseminasi,” timpal Sergy.
“Adrian,” desis Rasha dengan kepalan tangan penuh amarah.
***
Abi menutupi tubuhnya dengan selimut dan mulai memejamkan matanya, tapi belum sempat dia merasakan nikmatnya tidur dia mendengar suara pintu apartemennya terbuka. Wanita itu memicingkan matanya dan melihat jam digital yang ada di nakas menunjukkan tengah malam.
Otaknya mulai merasa ada yang aneh, selama di sini, pengawal Rasha atau Maria tak pernah masuk apartemen saat tengah malam seperti ini. Rasa cemas mulai menghantui dirinya membuatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Derap langkah tegap terdengar masuk kamarnya membuat ketakutannya makin menjadi, dia memejamkan mata dan mengatur napas untuk mengurangi kepanikannya. Aura di dalam kamar juga berubah mencekam dan menyeramkan.
‘Apa yang sebenarnya terjadi?’ batin Abi.
‘Siapa mereka, sepertinya mereka bukan orang suruhan Rasha,’ Abi terus menerka tapi tak berani membuka selimut sampai dia merasakan ada sosok pria yang berdiri di samping ranjang tidurnya.
Keadaan mencekam itu semakin menakutkan ketika dia merasakan tangan seorang pria membekamnya dan menyuntikkan sesuatu di lehernya. Abi berontak membuatnya melihat wajah orang itu yang memasang ekspresi menyeramkan.
Abi berusaha melepaskan diri tapi dua orang pria itu memiliki tubuh yang lebih besar darinya membuatnya tak berkutik, saat yang sama muncul rasa kantuk dan lemas yang membuat matanya perlahan terpejam.
‘Rasha, tolong aku, selamatkan aku,’ lirih Abi dalam hati.
*****