JANGAN JATUH CINTA

1562 Words
Situasi yang membingungkan. Semua mata menatap ke arah Binar yang menatap Langit dalam, sementara laki-laki berumur dua puluh tahun di hadapan Binar itu terdiam karena terkejut dengan apa yang dia dengar. “Nona?” Kepala pengawal yang Binar panggil Tuan Q itu memanggil Binar. “Ada apa, Nona? Nona sudah kenal Langit sebelumnya?” Binar mengerjapkan matanya, tangannya yang menggenggam erat lengan Langit—yang memakai kemeja lengan panjang itu—langsung ditariknya. Gadis itu memejamkan matanya sejenak sebelum kemudian kemba li menjadi Binar Rinanjala yang biasa dengan tatapan mata hangat dan senyum lebarnya.“Haha.” Binar tertawa canggung. “Akhirnya aku memiliki teman yang seumuran!” katanya ceria. “Soalnya malas karena di sini sudah bapak-bapak semua.” Semua pengawal yang sudah berumur lebih dari dua puluh lima tahun langsung berdehem. Sementara itu Corn yang melihat Langit juga terkejut, dia menempelkan seluruh tubuh licinnya pada kandang kacanya karena seperti Binar, dia juga sangat mengenali wajah itu. “Nona, saya masih dua puluh empat tahun.” Binar tersenyum, dia menatap Joni, pengawal yang sudah direkrut oleh keluarganya sejak dia berumur dua puluh tahun. Dia sudah bekerja selama empat tahun untuk keluarga Binar, rata-rata semua pengawal di rumah itu sudah bekerja selama lebih dari tiga tahun dan karena itulah mereka bisa dikatakan tidak canggung kepada satu sama lain. “Tapi Kak Joni dan Binar memiliki jarak usia delapan tahun, itu artinya Kak Joni sudah sangat tua.” Semua orang tertawa, hanya Langit yang tidak. “Jadi … Langit?” Binar memanggil nama itu, nama yang selalu dia panjatkan dan semogakan selama ratusan tahun akhirnya kini pemilik nama itu benar-benar berdiri di hadapannya dengan wajah dan ekspresi yang sama. Rasa yang sangat aneh tetapi juga membuat Binar berdebar-debar. Laki-laki itu benar-benar nyata ada di hadapannya sekarang. Lalu … bagaimana sekarang? “Selamat bergabung bersama keluarga kami.” Binar mengulurkan tangannya. “Kau bisa memanggilku Binar—“ “Binar?” panggil Gibran, dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Binar menoleh kepada Ayahnya, dia tersenyum, melambaikan tangan dan berlari kecil ke arah Ayahnya yang sudah menunggu. Namun meskipun dia tidak jadi berjabat tangan dengan Langit, Binar masih sempat menoleh ke belakang dan memberikan senyum paling cerahnya kepada sosok laki-laki yang sudah dia tunggu-tunggu kehadirannya. “Ayah!” Binar memeluk Gibran dengan tulus, dia sedang berbunga-bunga. “Ceria sekali kamu, ya?” Gibran mengelus lembut kepala putrinya. “Ayah sudah bilang sama Binar kalau jangan sampai kelelahan, ‘kan? Kamu sudah latihan berapa lama tadi?” “Baru satu jam,” sahut Binar sambil tersenyum tanpa rasa bersalah, dia malah semakin tertawa ketika melihat mata Ayahnya melotot. “Maaf, Tuan.” Tuan Q langsung menyela, meminta maaf. “Seharusnya saya lebih memperhatikan Nona Binar.” “Tidak apa-apa,” Gibran menyahut, dia menatap putrinya. “Dia ini memang nakal,” katanya sambil tersenyum hangat. “Omong-omong, apa dia adalah pengawal baru kita yang masuk hari ini?” Semua perhatian kembali tertuju kepada Langit. Laki-laki muda yang baru memasuki usia dua puluhnya itu mengangguk dan memberi salam hormat, dia benar-benar terlihat berpengalaman seperti apa yang Tuan Q kataka. Dia bahkan sangat sopan. “Selamat Sore, Tuan. Saya Langit Priyanjani.” “Langit, ya?” Gibran melepaskan pelukan antara dia dan putrinya dengan lembut sebelum menghampiri Langit. “Saya dengar kamu sudah berumur dua puluh tahun, apa kamu benar-benar tidak keberatan mengulang sekolah?” “Benar, Tuan.” Langit menjawab mantap, tanpa ragu. Gibran tersenyum kecil. “Saya juga sudah mendengar bahwa kamu dikenal sangat berbakat, bahkan Tuan Q memuji kamu. Saya tahu mungkin posisi ini bukan posisi yang memuaskan tetapi putri saya sangat berharga dan dia juga sangat nakal sekali sampai beberapa kali kabur dari para pengawalnya ketika sedang berada di sekolah,” Gibran melirik Binar yang hanya bisa berdehem. “Jadi saya memiliki ide untuk membuat putri saya bersekolah seperti anak-anak pada umumnya tetapi saya juga tidak bisa membiarkannya sendiri tanpa pengawal. Karena itu saya ingin salah satu pengawal paling berbakat yang bisa menjaganya di sekolah dengan menjadi teman sebangkunya tetapi seperti yang kamu lihat, mereka semua sudah tidak pantas duduk di bangku SMA lagi.” “Tuan …” Gibran terkekeh mendengar protes dari para pengawalnya. “Jadi begitulah awal mulanya, setelah itu saya meminta rekomendasi pengawal muda yang sangat berbakat dan Tuan Q membawa kamu.” Gibran mengulurkan tangannya pada Langit. “Kamu tidak keberatan kembali duduk di bangku kelas dua SMA, bukan?” Langit menjabat tangan itu dengan sopan. “Saya tidak keberatan, Tuan.” “Tunggu!” Binar berlari mendekat, sayangnya dia yang cukup ceroboh hampir saja membuat dirinya sendiri terluka dengan tidak berhati-hati ketika melangkah. Untung saja Langit cukup gesit, dia tidak membuang waktunya untuk terkejut seperti orang lain, dia langsung bergerak sehingga Binar tidak jadi mencium rumput dan hanya menabrak tubuh Langit saja. “Nona tidak apa-apa?” tanya Langit sopan. “Ah ….” Binar mendongak. Langit di masa lalu dan Langit di masa sekarang pun masih sama, sangat tinggi. “Ya, aku tidak apa-apa.” “Ayah sudah bilang jangan berlarian, ‘kan?” Gibran menghampiri putrinya. “Beruntung saja pengawal pribadi kamu sangat gesit, kalau tidak bagaimana nasib kamu?” Binar mengerucutkan bibirnya. “Ayah, ih ….” Gibran tersenyum kecil melihat wajah kesal Binar, dia kemudian menatap Langit dalam. “Terima kasih sudah menyelamatkan putri saya.” “Itu sudah tugas saya.” “Tuan Q memang tidak pernah gagal dalam membawa pengawal, ya. Seperti biasa, matanya sangat bagus dalam hal ini.” Gibran mulai memuji kepala pengawalnya. “Baiklah, Langit, semoga kamu betah tinggal bersama kami di sini. Mohon bantuannya!” “Tunggu, Ayah!” Binar menarik tangan Ayahnya yang hendak bersalaman dengan Langit. “Jadi aku tidak perlu berangkat sekolah dengan tiga pengawal lagi, ‘kan? Maksudnya, aku hanya akan bersekolah dengan Langit dan dia akan menjadi teman sekelasku. Begitu, Ayah?” “Tumben lama loadingnya,” ledek Gibran. “Iya, kamu dan Langit akan menjadi teman sekelas. Dia yang akan menjaga kamu di sekolah jadi jangan nakal-nakal lagi, ya?!” Binar menoleh, menatap Langit yang memasang wajah datar. Perlahan senyum merekah di wajah gadis itu, dia akhirnya bisa mengetahui dengan jelas alasan kenapa penyakitnya tidak kambuh lagi akhir-akhir ini. Itu pasti karena Langit. Pasti. *** “Lalu kita tidak akan mati lagi?” Corn melingkar di lengan Binar. “Pada akhirnya.” “Begitulah.” Binar duduk di atas kasurnya dan menatap jauh ke arah jendela. “Corn, bukankah dia tidak berubah sama sekali?” “Maksudmu ksatria kerajaan itu?” “Hm.” “Kenapa ini? Reaksimu tidak sekuat dugaan.” Corn menaikkan nada suaranya. “Bukankah kau seharusnya senang karena semesta pada akhirnya mengizinkan dia untuk kembali hidup di dunia ini setelah apa yang dia lakukan di masa lalu? Kau seharusnya senang karena pada akhirnya kita tidak perlu mendengar suara tangisan dari Ayahmu ketika kau pergi nanti. Kita akan hidup lebih lama di dunia ini dan setelah itu kita bisa langsung pergi ke surga!” Binar tidak menanggapi ular peliharaannya. Dia merasakan gemuruh di dalam hatinya, perasaannya bercampur aduk. “Corn, menurutmu apakah dia masih mengingatku?” “Aku percaya semesta tidak akan membuatnya mengingat semua itu. Karena apa, ya? Dia sudah menjalani hukumannya selama ratusan bahkan hampir ribuan tahun, dan berkat do’amu akhirnya dia kembali hidup. Aku tidak tahu bagaimana kedepannya tetapi untuk sekarang aku rasa dia tidak mengenalmu seperti itu.” “Ya, akan sangat tidak adil baginya jika dia mengingat hal yang sangat menyedihkan itu.” “Kau yang lebih menyedihkan!” Corn berdecak. “Rasa cintamu untuk ksatria itu terlalu besar. Aku memang takjub melihatmu menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara aneh sama sekali ketika dia menusukmu tetapi aku juga merasa kau sangat bodoh, kau sangat bodoh karena menangis untuk pria yang sama selama ratusan tahun.” “Dia juga pernah menyelamatkanku ketika aku hampir terjatuh di masa lalu dan itu juga terjadi di depan Ayahku—maksudku, Raja kita—waktu itu,” ujar Binar, dia mulai menceritakan kisah masa lalu. “Dia benar-benar tidak berubah dan apa yang dia lakukan padaku ketika kami pertama kali betemu juga tetap sama. Katakan, Corn, menurutmu apakah di dunia ini aku akan kembali mendapatkan akhir yang menyedihkan?” “Tidak tahu.” Binar berdecak. “Kau malas berpikir, ya?!” “Aku mengantuk.” “Dasar pemalas!” Binar mendengus. Dia kemudian membiarkan Corn tetap melingkar di lengannya, diam selama beberapa saat sebelum kemudian tersenyum. “Tetapi benar katamu, aku tidak perlu lagi meninggalkan Ayah dan mendengar suara tangisan mereka. Pada akhirnya aku berhasil menemukan Langit di dunia ini, pada akhirnya aku akan baik-baik saja dan akan kembali dengan tenang tanpa memanjatkan do’a apapun kepada semesta.” “Kau masih sangat mencintainya, ya?” Binar terkekeh. “Masih.” “Meskipun dia sudah menusukmu?” “Corn, dia menyesal untuk itu.” “Tetap saja. Jika dia memiliki ingatan tentangmu di masa lalu dan sekarang dia datang untuk menebus dosanya, jangan menjatuhkan dirimu lebih dalam daripada yang sebelumnya.” “Kenapa?” “Karena tidak peduli siapapun itu, apapun kedudukannya dan sekuat apa dia, jika sudah di hadapkan dengan cinta … kebodohan dalam diri kita akan mengambil alih akal sehat yang selama ini setia menemani. Jangan jatuh cinta terlalu dalam, itu hanya akan membuatmu menjadi tahanan waktu lagi selama ratusan tahun ke depan.” Binar mendengarkan tetapi dia tidak memberikan komentar. Hah, apa yang dikatakan ularnya memang benar. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD