"Reins ..." panggil Kanaya yang masih berada di depan pintu masuk, gadis itu berlari kecil ke arah Reins yang sudah di duduk di sebuah meja yang dekat dengan jendela.
"Ya Tuhan Kanaya, kenapa berlari seperti itu sih? kau ini selalu saja bersikap kekanak-kanakan," kekeh Reins.
Hal seperti ini memang hal biasa bagi Reins, sejak dulu Kanaya tidak pernah bersikap layaknya seorang gadis dewasa di hadapan Reins, tetapi hal itu justru membuat Reins bahagia karena Kanaya hanya menunjukkan sosok seperti itu hanya pada dirinya.
Namun yang membuat Reins terkesima adalah hari ini Kanaya terlihat sangat cantik dengan potongan rambut baru dan sedikit riasan di wajahnya.
Kalau saja Reins sudah sukses dan mapan karena usahanya sendiri, rasanya sudah tidak sabar membawa gadis itu naik pelaminan.
"Iya iya maaf Reins, aku hanya senang melihat dirimu, aku sangat kesal bertemu seseorang tadi,"
Reins menaikan sebelah alisnya "Bertemu siapa?"
"Biasalah, seseorang dengan berkepribadian buruk,"
"Siapa sih?"
Reins merasa curiga, kenapa hatinya tiba-tiba tidak tenang, sejak dulu Reins memang selalu mewaspadai siapapun terutama pria yang ingin mendekati Kanaya.
"Tidak penting kok, aku malah ingin memberitahukan sesuatu yang penting padamu," ujar Kanaya tertunduk lesu.
"Apa yang terjadi?" tanya Reins yang kini berdiri dari kursinya.
Kanaya terkekeh melihat perubahan sikap Reins, pria itu memang selalu terlihat khawatir dengan apa yang terjadi pada dirinya, bagi Kanaya Reins sudah seperti abangnya sendiri, ia merasa Reins bukan hanya Sahabat namun Reins adalah sosok abang yang selalu melindungi dirinya dari siapapun.
Namun sebelum menceritakan tentang pernikahannya, Kanaya berniat membuat Reins terlihat santai.
Kanaya berputar lalu memasang senyuman manis.
"Aku cantik kan Reins?" godanya.
Kanaya bahkan mengedipkan sebelah matanya setelah berputar.
Deg ...
Jantung Reins berdegup kencang "Kau selalu menjadi wanita paling cantik bagiku Kanaya," batin Reins.
Entah kenapa rasanya seperti ada yang menggelitik di hatinya.
"Kok malah bengong sih?"
"I-iya Kanaya, kau sangat cantik dengan rambut baru itu," ujar Reins.
Kanaya tersenyum lebar lalu menarik kursi dan duduk dengan tenang, Reins pun mengikuti Kanaya.
Kanaya mengangkat tangannya memanggil seorang Waiters.
"Orange jusnya satu ya Mbak,"
Waiters itu mengangguk dan segera pergi mengambil pesanan Kanaya.
Kanaya melihat Reins sudah memesan secangkir kopi kesukaannya.
"Ada apa? kenapa tiba-tiba mengajakku bertemu seperti ini?" tanya Reins.
"Emm ...sebenarnya aku ada kabar buruk Reins," lirih Kanaya.
Tiba-tiba saja raut wajah Kanaya berubah, ia terlihat sedih.
"Kabar buruk apa?" tanya Reins.
"A-aku akan menikah Reins," gumamnya.
"Apa!" teriaknya.
Reins yang kaget bahkan sampai berdiri, suara teriakannya bahkan membuat beberapa pengunjung Cafe melihat kearah mereka berdua.
"Tenang Reins, duduklah dulu," pinta Kanaya.
"Kau bercanda kan, ini tidak lucu Kana!!" bentak Reins.
Pria itu bahkan sudah mengepalkan kedua tangannya yang bertumpu di atas meja, wajahnya memerah hingga menunjukkan urat-urat di dahinya.
Kanaya tertunduk lesu "Aku tidak bercanda Reins, aku akan segera menikah," lirihnya.
"Siapa! siapa pria itu?"
"Mantan tunangan Clarista, aku di paksa Kakek untuk menikahi pria itu, aku menggantikan Clarista,"
Reins terduduk lemas, ia tak menyangka hal buruk ini terjadi juga, pernikahan Kanaya yang harus di laksanakan karena keserakahan Kakeknya sendiri.
"Tidak! kau tidak boleh menikah Kanaya," tegasnya.
Kanaya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Reins, Kanaya terkejut melihat raut wajah kesedihan yang baru pertama kali ia lihat.
"Kau kenapa Reins? kenapa kau begitu bersedih?" tanya Kanaya.
Reins menyeringai dan tertawa kecil.
"Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Tentu saja aku bertanya, walaupun aku sedih karena terpaksa menikah, tapi kenapa kau terlihat lebih sedih, aku tahu kau adalah teman terbaikku, tapi-"
"Cukup Kanaya!" potong Reins.
Kanaya mengernyitkan keningnya, sekarang bukan kesedihan tetapi aura kemarahan yang terpancar di wajah tampan Reins.
"Reins?"
"A-ku tidak akan membiarkanmu menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal, karena aku-" Reins terdiam sejenak dan Kanaya malah terpaku.
Suasana hening seketika.
"Karena aku mencintaimu," sambung Reins.
Deg ...
Jantung Kanaya berdegup kencang, ia masih ragu dengan apa yang barusan di katakan Reins.
"Apa aku salah dengar?" batin Kanaya.
"Kenapa bengong?" tanya Reins.
Kini wajah itu terlihat merah bukan karena marah namun karena malu, ia baru saja menyatakan perasaannya kepada Kanaya.
"Aku salah dengar kan Reins?" ujar Kanaya sembari mengorek-ngorek telinganya.
Reins mendesah pelan "Kau tidak salah dengar Kana, aku memang sangat mencintaimu sejak dulu, bahkan sejak kita masih kecil, aku selalu bermimpi kalau ketika dewasa kau akan menjadi pengantinku," gumam Reins.
Kanaya berdiri, ia bingung dan tak tahu harus berkata apa, Reins adalah teman terbaik dalam hidupnya, ia tak mungkin menyakiti perasaan pria itu, hubungan yang terjalin selama ini pasti akan terasa canggung ketika Kanaya mengetahui isi hati Reins, meskipun Kanaya selama ini hanya menyayangi Reins karena sebatas teman sekaligus abangnya. Tidak ada perasaan spesial apapun yang Kanaya rasakan, tapi mana mungkin Kanaya mengatakan hal itu karena hanya akan menyakiti Reins.
"Tapi Reins, aku tidak bisa menolak permintaan Kakek, ini demi kelangsungan perusahaan Kakek dan juga keluarga kami, Clarista saja mampu berkorban, kenapa aku tidak," ujarnya.
Reins tertawa "Kenapa Kana? kenapa harus kau yang berkorban, bukankah selama ini Kakek Antonio tidak pernah menganggap mu ada, lalu bagaimana perasaanmu padaku?"
Kanaya bergeming, dia tidak menyangka Reins malah bertanya perasaannya, padahal ia memberitahu Reins karena ingin berbagi kesedihan karena hidupnya yang sial, bahkan setelah dewasa pun ia harus siap hidupnya di atur oleh sang Kakek yang telah membesarkannya.
Kanaya menggaruk kepalanya karena bingung harus memberikan alasan apa.
Niat hati ingin berbagi perasaan gundah gulana, malah kini ia harus menjawab pertanyaan menjebak, ia takut Reins akan benci padanya bila ia jujur tentang perasaannya, namun tidak ada gunanya juga ia berbohong toh ia harus menikahi pria pilihan sang Kakek.
"Lebih baik aku jujur saja pada Reins, aku tidak mau ia berlarut-larut dalam kesedihan hanya karena diriku yang tak berguna ini," ucapnya dalam hati.
Kanaya meraih tangan Reins lalu menggenggamnya dengan erat.
"Reins, perasaan ini lebih dari perasaan itu, aku menyayangi dan mencintaimu lebih dari itu, kau orang yang paling berharga dalam hidupku, aku sudah menganggap mu seperti abangku sendiri," lirihnya.
Reins menarik tangannya dengan cepat.
"Abang?"
"Iya Reins,"
Reins terkekeh namun air mata mengalir di pipinya. Ia tak lagi malu dan memikirkan orang-orang di sekitar yang melihat mereka berdua.
"Aku jijik mendengar kata-kata itu Kana, aku tidak akan pernah sudi kau anggap abangmu!"