Anjani POV.
Aku masih ingat ketika suasana lebaran di rumah mertua. Semua berkumpul, dengan baju yang terlihat bagus dan baru. Sedangkan aku, aku masih memakai baju yang lama. Karena aku merasa tidak mampu membeli baju baru. Mas Fajar kala itu memakai baju baru, karena membeli sendiri. Sedangkan aku, aku lebih mengutamakan baju Andi dan Katar. Dan lagi, bulan puasa itu sangat membutuhkan uang untuk makan.
Bulan puasa harus selalu ada sayur, telur, dan buah untuk buka. Sedangkan uang yang diberikan Mas Fajar, mana cukup. Untuk merokok dia saja mungkin tidak cukup. Ah, aku selalu berusaha menulis setiap malam, meski Katar selalu rewel dan membuatku tidak bisa beristirahat. Sedangkan siang hari, aku boro boro bisa tidur. Aku harus mengurus rumah, juga semua kebutuhan Mas Fajar.
"Makanya! kalau punya uang tuh nabung. Pas lebaran aja enggak kebeli baju. Boros sih!" itu cibiran Mamah mertua, di depan semuanya. Di mana ada adiknya suami dan istrinya. Mereka memang masih pengantin baru. Bisa disebut masih anget angetnya.
Fajar hanya terdiam, sama sekali tidak membelaku. Dia makan enak seolah ingin mengatakan kalau di rumah kami tidak ada makanan.
"Kasihan kamu Fajar. Pasti di rumah kamu enggak ada makanan enak ya?" ujar Mamah lagi. Dan Fajar sekali lagi terdiam seolah mengiyakan apa yang dikatakan oleh mamahnya itu.
"Mah, Andi mau daging, boleh?" Andi berbisik padaku. Aku mengangguk, dan Andi pun mengambil dengan senang.
"Wah, enak ya Andi. Itu masakan Nenek loh. Di rumah kamu pasti enggak ada yang enak kaya gini ya?" Mamah mertua berkata.
Andi hanya terdiam seraya makan. Katar terusik dan mau mimi. Karena kebetulan pas lebaran dia baru berusia tiga bulan. Dan saat bulan puasa aku memang tidak berpuasa, karena Katar pasti tidak akan kuat. Dokter pun melarangnya.
"Gimana? yang bayar pidyah siapa?" tanya Mamah mertua.
"Sudah aku bayar ko, Bu." ucapku.
"Iya lah. Kan kamu yang enggak puasa. Masa Fajar yang mau bayarin pidyah. Kan aneh. " Aku memilih diam saja. Ingin sekali beristighfar puluhan kali. Agar setan yang menyuruhku untuk berteriak pergi.
"Ko, Mbak Anjani yang bayar pidyah. Kan seharusnya Mas Fajar dong? Kan Mbak Anjani enggak puasa juga buat Katar. Buat anaknya Mas Fajar. Kalau aku sih, ogah. Karena si Aa yang harus tanggung jawab." sahut istrinya adik Mas Fajar. Dia terlihat bergelayut manja pada suaminya itu.
Mas Fajar berdeham pelan. "Andi, sudah makannya jangan kebanyakan. Nanti sakit perutnya." ujar Mas Fajar pada Andi. Sehingga putra sulungku itu beringsut padaku, meminta di bela.
Ah, Mas Fajar ini kenapa sih? anak sendiri dilarang makan banyak. Padahal aku lihat, Andi tidak terlalu banyak makan.
"Iya, Andi. Udah makan nya. Nanti buat sore takut kehabisan." sahut Mamah mertua.
Ku tarik pelan Andi, dan mengusap pundaknya. "Aa, nanti makan lagi di rumah Nenek kedua ya? boleh ya sayang?" ujarku padanya. Dan Andi menurut dengan patuh. Katar kembali rewel, sehingga aku berdiri dan berjalan jalan kecil di teras, untuk menenangkannya.
Kudengar Mamah mertua dan menantu barunya itu sedang mengobrol seru sekali. Lalu sepertinya Mamah mertua begitu terdengar bahagia saat berbincang dengannya. Hatiku yang sedang tidak baik baik saja semakin terasa meluap. Lalu aku mengajak Andi pergi, untuk ke rumah Mamahku.
Di sana Andi sangat terlihat senang. Dia makan sesuka hati, juga bercengkrama dengan Ayah tiriku juga Mamah. Aku sangat bersyukur Mamah menikahi seorang lelaki yang baik hati seperti Papah tiriku itu.
Sepulang dari rumahnya Mamah. Mas Fajar marah marah. Dia bilang, kalau aku tidak menghormati dia sebagai suami. Dia juga bilang kalau aku tidak menghargai mamahnya sebagai mertua. Karena aku tiba tiba pergi begitu saja.
"Kamu pernah enggak sih ngehargain Mamah aku? kamu nganggep mamah aku itu orang tua kamu enggak sih?" tanya nya lagi dengan nada yang nyolot.
"Aku sangat menghargai mamah kamu. Makanya aku diam saja, saat Andi kalian bully. Kamu dan mamah kamu itu seolah menganggap Andi itu bukan keluarga kalian. Seolah bukan darah daging kalian. Aku sakit melihat cara mamah kamu dan kamu memperlakukan anaku!"
"Alaah! gitu aja kamu marah. Kan memang bener kalau Andi makan kebanyakan, nanti dia akan sakit perut."
"Aku melihat sendiri ko, kalau Andi makannya biasa aja."
"Bukan gitu, Jani. Kan enggak enak sama istrinya Adik aku. Kan yang beli suaminya, bukan aku. Masa yang ngabisin kita sama Andi?"
"Makanya kamu kerja keras dong, biar lebaran itu kebeli daging buat anak anak kamu."
"Jangan begitu, kan emang rizkinya seperti ini. Kamu malah enggak bersyukur."
"Aku bersyukur ko. Bersyukur aku bisa nulis dan ngasilin uang. Aku bisa beliin baju untuk kedua anaku." Lalu aku pun masuk ke dalam kamar karena Katar sepertinya mulai tidak nyaman dengan pertengkaran kami.
Suara ponselku yang bergetar, membuat lamunanku menguap dan kembali ke masa kini, di mana hanya ada aku dan kedua putraku saja di sini.
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku.
Editor (Tulisan kamu mohon diperbaiki lagi ya? alurnya sudah bagus itu. Tapi bahasa kamu agak semrawut.)
Pak Ahimsa adalah Editor yang selama ini telah mengurus naskahku. Aku sudah bekerja dengannya selama dua tahun. Beliau juga yang mengajaku masuk ke dalam aplikasi penulis yang selama ini telah membayarku.
Aku (Baik, Pak.)
Pak Ahimsa (Kamu kapan bisa ke sini? Semua penulis impian akan datang ke kantor. Kita akan merayakan ulang tahun Impian app, yang ke tiga tahun. Kamu kapan ada waktu?)
aku (Insaallah Pak, kapan waktunya?)
Pak Ahimsa (Minggu depan.)
Dan percakapan itu pun berakhir. Pak Ahimsa ini tidak pernah berbasa basi. Dia mengirim pesan dengan seperlunya saja. Kemudian aku pun menutup ponsel hampir meletakan benda pipih itu di atas nakas, kala dia bergetar lagi.
Mas Fajar (Kamu beneran mau cerai?)
Aku (Aku mau secepatnya!)
Mas Fajar (Kamu sombong sekali mau cerai dari aku. Apa kamu sudah menemukan lelaki baru?)
Aku (Aku enggak butuh laki laki)
Mas Fajar (Sombong kamu!)
Aku (Aku ingin membesarkan anaku dengan bahagia. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku dan anaku. Kamu urus saja kuliah dan indira! Dia pacar baru kamu kan? kamu senangkan bisa ketemu dia setiap hari. Kalian bahkan sudah punya impian untuk menikah kan? terima kasih karena sudah mengabaikan kami)
Fajar (Indira siapa? kamu jangan mengada ngada)
Aku (Aku malas berdebat dengan mu Mas!)
Lalu aku kirimkan ss semua pesannya dengan perempuan itu.
Aku (Secinta itu ya kamu sama dia. Ah, lelaki ternyata seperti itu ya. Kamu bahkan menangis di depan kedua orang tuaku hanya ingin menikah denganku. Dan sekarang dengan mudahnya kamu berpaling dengan perempuan lain. Terima kasih Mas.)
Mas Fajar (Kamu salah paham! kami hanya berteman saja)
Aku (Maaf, Mas. Aku sudah lelah. Dan aku bukan manusia bodoh)
Mas Fajar (Kita harus bertemu dan membicarakan ini)
Aku (Iya, kita harus bertemu di pengadilan nanti!)