Ibunya cindy mulai tertarik kepada Erlan yang memperlihatkan uang yang tidak sedikit dan diberikan kepada juragan yang hampir menjadi suami Cindy, dengan cepat juragan langsung beranjak pergi dengan membawa uang tunai sekali pun dengan sangat kesal tidak jadi menikahi Cindy dan menjadikannya Istri ke 4 dan juga istri kesayangannya, untung saja Cindy bisa mendapatkan bantuan dari Erlan.
"Lantas kapan kalian akan menikah?" Tanya Ibu Cindy.
"Secepatnya, Bu," jawab Erlan, dengan lembut sekali pun tau sikap Ibunya cindy seperti apa.
Erlan merasa ada yang aneh dengan perasaannya, ada rasa penasaran yang membuncah di hatinya, menginginkan Cindy menjadi istrinya. Istri yang bisa menjadi kebanggaannya.
"Kamu jangan becanda, Mas," bisik Cindy, mencubit lengan Erlan. Pria yang baru saja ia kenali.
"Lantas rumah yang kamu janjikan, kapan Ibu bisa menempatinya? Rumahnya besar, 'kan? Daerah mana rumah yang akan kamu berikan kepada Ibu?" Tanya Ibu Cindy, membuat Cindy menggeleng dan mencubit lengan Erlan.
"Besok pagi sekretaris saya akan menjemput Cindy dan juga Ibu. Rumah yang akan Ibu tempati ada di kelapa gading, dan rumahnya besar. Gedong, Bu," jawab Erlan.
"Benarkah? Kamu baik sekali, Nak. Kamu mengenal Cindy sejak kapan?" tanya Ibu Cindy.
"Saya mengenalnya baru saja, namun saya sudah mencintainya dan sangat nyaman berada di samping Cindy, jadi saya berniat menikahinya dan menjadikannya istriku, sampai maut memisahkan kami," jawab Erlan, membuat Cindy terharu melihat dan mendengar Erlan.
"Masya Allah ... kamu memang pria yang baik, Nak, semoga Allah memberimu rezki yang melimpah agar bisa memberikan Ibu kehidupan yang layak," kata Ibu Cindy, membuat Cindy menggeleng pelan karena sikap ibunya memalukan.
Cindy tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran sang Ibu yang selalu mencari kehidupan demi dirinya sendiri, tanpa memikirkan kehidupan Cindy yang begitu menderita selama ini, demi memberikan sang Ibu pemuas nafsu harta sang Ibu.
"Kamu kerja apa, Nak?" Tanya ibunya Cindy.
"Saya CEO di perusahaan keluarga," jawab Erlan.
"CEO?" Wajah Ibu Cindy sumringah, mendengar jabatan dan pekerjaan Erlan.
Erlan mengangguk.
"Apa orangtuamu masih hidup?"
"Masih."
"Kamu lulusan apa?"
"Magister."
"Apa? Magister? Ya Allah ... aku akan beritahu semua Ibu-ibu yang suka nyinyiran kita, kalian bicara saja dulu," kata Ibu Cindy, lalu berjalan keluar dari rumah.
"Walaupun ubuku terlihat seperti itu, kamu jangan menipunya, aku juga sedang tidak becanda dan juga tidak senang dengan hal konyol yang kamu lakukan, Mas, aku bukan permainan dan jika kamu hanya mau menolongku, lakukan saja dengan benar tanpa harus membawa pernikahan dalam masalah ini, pernikahan bukan permainan." Cindy mulai kesal ketika melihat Ibunya pergi meninggalkan rumah hanya untuk memamerkan apa yang sudah sang Ibu dapatkan, yaitu menantu idaman.
"Apalagi jika tetanggaku semuanya pada tahu tentang pernikahan yang kamu katakan, itu akan membuat keluarga kami makin terpojok," sambung Cindy melepaskan genggaman tangan Erlan.
"Aku mohon katakan kepada ibuku, bahwa kita tidak akan menikah dan kamu hanya bercanda, aku gak mau sampai semuanya makin runyam, itu malah akan membuat ibuku makin keukeuh menjodohaknku dengan juragan tua itu," sambung Cindy.
"Siapa yang sedang berusaha menipu Ibumu? Aku sedang tidak bercanda dan aku juga tidak pernah main-main dengan ucapanku, Cindy. Aku akan menikahimu, aku tau pertemuan kita terlalu singkat tapi aku yakin kamu benar-benar wanita yang pantas aku jadikan istri dan wanita yang sudah di siapkan Allah untukku," kata Erlan, membuat Cindy terdiam sejenak. Lalu melanjutkan.
"Tapi ... apa ini tidak terlalu cepat? Apa semuanya akan baik-baik saja? Kamu belum mengenalku, Mas. Pantas dan tidaknya aku menjadi istrimu, kamu tahu darimana?"
"Aku tahu hanya dengan melihatmu, kamu wanita yang ku impikan, wanita yang ku inginkan
"Kamu serius? Apa kamu benar-benar serius?" Cindy menatap Erlan dengan penuh Tanda tanya.
"Aku serius."
"Kenapa kamu mau menikahiku? Aku juga tidak percaya jika kamu jatuh cinta padaku di pandangan pertama," kata Cindy.
"Kamu tidak percaya jika aku jatuh cinta pada pandangan pertama?" Tanya Erlan, balik. Membuat Cindy menatap Erlan heran.
"Itu singkat sekali," kata Cindy.
"Karena menurutmu itu singkat, jadi kamu gak percaya sama aku? Bahwa aku serius ingin menikahimu?" tanya Erlan, membuat Cindy mengangguk.
"Saat melihat seseorang yang menarik hati, ada perasaan aneh berdesir di dalam hatiku. Aku pun mulai merasakan getaran aneh dari dalam tubuhku. Jantungku akan berdegup kencang daripada biasanya, ketika aku melihatmu," kata Erlan.
Cindy menundukkan kepala, memilih mendengarkan dan menunggu lanjutan kalimat Erlan, yang masih menatapnya.
"Aku memang baru pertama kali bertemu denganmu, tapi kok, rasanya sudah mengenalmu lebih lama? Ada keakraban yang terbangun antara diriku dengan kamu, padahal kita baru saja saling mengenal beberapa menit yang lalu." Erlan melanjutkan.
"Jangan pernah memacu pada perasaan semacam itu, kamu gak mungkin percaya terhadap wanita sepertiku berdasarkan penilaianmu," sambung Cindy.
"Mempercayai orang yang baru aku kenal itu sulit. Namun, ketika aku merasa dapat percaya pada kamu—yang baru saja aku kenal—tandanya aku sedang jatuh cinta padamu. Selain merasa akrab dan dapat memercayaimu, aku juga merasakan sedikit kecemasan pada dirimu. Apalagi ketika melihatmu di seret seperti tadi, aku merasakan sakit sama sepertimu. Sosokmu terekam dengan jelas dalam memori otakku. Ketika kamu tadi membelakangiku hendak pergi, aku malah sudah mulai membayangkan wajahmu dalam kepalaku." Erlan menjelaskan, membuat Cindy mendongak menatap Erlan.
"Mungkin bagimu pertemuan kita singkat, namun aku merasa kamu sosok wanita yang sudah lama aku kenal. Sebenarnya ... ada rasa yang ingin aku ungkapkan padanya segera mungkin. Aku menyukainya, menyayanginya, dan ingin memilikinya. Aku sudah jatuh cinta padamu dan ingin mengutarakan perasaan ini padamu."
Cindy hanya mendengarkan.
"Kamu yakin aku akan menerima lamaranmu? Seberapa yakin kamu?" tanya Cindy, menatap Erlan begitu dalam.
"Aku yakin. Karena kamu merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku tidak pernah bercanda tentang yang namanya perasaan."
"Apa kamu juga yakin aku adalah wanita baik-baik dan tidak mengincar hartamu? Apa kamu yakin keluargamu akan menyukaiku? Aku gak sama sepertimu, yang memiliki segalanya atau pun pendidikan." Cindy menunduk.
"Aku sangat yakin, kamu adalah wanita yang baik dan aku juga yakin kamu bukan tipe wanita yang mencari kekayaan tapi wanita yang butuh kebahagiaan, aku sudah melihat itu dari matamu, kamu wanita yang baik dan tulus, hanya itu yang bisa aku nilai dari dalam dirimu."
"Bagus donk kalau kamu berpikiran seperti itu, aku memang bukan wanita seperti itu. Aku hanya membutuhkan kebahagiaan, kebahagiaan yang selama ini tidak bisa di berikan ibuku."
"Jadi ... sekarang lamaranku di terima?"
"Hem ... aku terima, aku anggap apa yang Allah tunjukkan hari ini dengan menghadirkanmu, aku anggap takdir, aku akan menjadi istri yang baik untuk kamu, Mas."
Mereka berdua tersenyum, merasakan hangat menyeruak hebat, Cindy juga merasa sangat lega karena sudah terbebas dari lilitan hutang ubunya dan bisa menjalani hidupnya seperti dulu ketika ayahnya masih hidup, sekali pun dengan cara menikah dengan Erlan dan mencoba bahagia.