Bab 1 Pertemuan

2114 Words
Di sebuah bus yang melaju sedang, seorang gadis tengah berdiri di tengah desakan para penumpang lain, orang-orang yang hendak pergi beraktivitas pagi itu, memenuhi bus dengan desakan yang cukup padat. "Hari ini perasaan semua bus penuh, apa semua manusia di dunia ini keluar hanya untuk menaiki bus ya," gerutu Raya. Seorang gadis berusia 21 tahun, dengan pakaian rapihnya, kemeja putih celana hitam rambut di ikat kuncir kuda. Berada di tengah-tengah desakan para penumpang bus pagi itu. Sembari memegang pedal besi yang ada di dalam bus, salah satu tangannya memegang map warna biru ia dekap di dadanya. Raya tampak berkeringat di dahinya. Meski masih pagi, tapi berada di tengah-tengah orang-orang dan juga berdesak-desakan membuat suhu di pagi itu meningkat semakin panas. Di tengah banyaknya orang-orang di dalam bus. Ketika bus itu berhenti tepat di halte bus berikutnya, semua orang berhamburan keluar dari bus, begitupun dengan Raya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan juga mengkipas-kipas map yang ia pegang untuk mengurangi rasa panasnya. Gadis itu mengusap keringat yang bercucuran di dahinya dengan sapu tangan warna putih bersih yang sering ia bawa. Raya tidak bergegas untuk pergi dari halte itu, ia duduk di kursi tunggu dan membuang nafas dengan kasar. Sembari ia masih menggunakan mapnya untuk mengkipasi rasa gerahnya. "Aaaah, sudah berapa perusahaan aku datangi agar aku dapat pekerjaan," ucap Raya. Gadis itu berbicara sendiri, tanpa memperhatikan sekitaran. Orang-orang yang menunggu bus selanjutnya memperhatikannya. Raya tidak pernah memperdulikan apa yang di pikirkan orang lain. Dia selalu seperti itu tiap kali kesal ataupun prustasi. Baginya, berteriak dan menghardik diri sendiri akan membuatnya merasa lega. Maka dari itu dia selalu menggerutu tanpa memperdulikan orang yang beranggapan lain padanya. "Kira-kira bab selanjutnya aku tulis apa ya buat naskahku?" gumam Raya berjalan perlahan meninggalkan halte bus. Raya melangkah sembari berbicara sendiri, di tengah aktibmvitas orang-orang yang hendak bekerja, Raya berjalan dengan pakaian lamarannya memegang map lamarannya. Ia masih bersemangat untuk mencari pekerjaan. Sembari memikirkan pekerjaan sampingannya menjadi seorang penulis n****+ online yang sering dia lakukan di saat senggang. "Apaan, aku senggang tiap waktu kok, hihi," ucap Raya mengingat ia harus membuat naskah nanti malam. Raya berjalan menghampiri setiap perusahaan yang setiap kali ia datang selalu tidak ada pekerjaan, bahkan ada juga penjaga keamanan yang dengan kasar mengusirnya. Meski seperti itu, sama sekali tidak menyurutkan semangatnya mencari pekerjaan. Dia bahkan mengelilingi kota Soul sepanjang hari, hingga ke setiap toko iapun mencoba untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, bahkan pengusaha kecilpun tidak dapat memberinya pekerjaan. "Hmmn, ini sudah sore juga. Aku harus pulang dulu, mungkin rezekiku bukan ada di hari ini atau besok, ataupun sebentar lagi," gumam Raya tersenyum. Meski hidup dengan serba kekurangan, bukan hanya dalam ekonomi, Raya pun hidup tanpa kedua orang tua, dia saat ini tinggal di sebuah panti asuhan sederhana yang membesarknnya hingga saat ini. Seiring yang Raya ketahui dan ingat, dia di besarkan di panti asuhan saat usianya menginjak 10 tahun. Bahkan pengasuh di panti mengatakan jika Raya hanya berbekal sebuah cincin yang bertuliskan hurup R. Dia tidak memberitahu ibu panti namanya, Raya hanya diam membisu ketika di temukan di depan panti dengan pakaian combang cambingnya. Yang pada akhirnya gadis itu di beri nama Raya Nafisha oleh ibu pengasuhnya. Gadis itu tumbuh dengan kekuatan lahiriah dan juga ceria. Dia bahkan sangat kuat dalam menghadapi cemoohan orang lain. Gadis itu selalu acuh, meski di hina beriringan dari teman semasa sekolahnya. Dia lebih mementingkan keadaan di bandingkan harus menghadapi orang-orang yang setiap kali tidak memberinya manfaat yang baik. Dia hidup bersama dengan anak panti lainnya yang masih tebilang cukup kecil, yang nasibnya menurut Raya jauh lebih buruk darinya. Ada anak yang bahkan di tinggalkan langsung oleh ibunya tepat di depan mata anak itu. Membuat Raya semakin tidak mengerti dengan daya pikir orang itu, jika tak mampu membesarkan anak m, kenapa dia tidak berpikir berulang kali saat melakukan hal yang akan membuat sebuah nyawa yang akan lahir karena perbuatan mereka. Sore itu Raya pulang dengan hasil yang masih belum memuaskannya, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk kembali pergi mencari pekerjaan di hari esoknya. Saat dia memasuki pintu pagar panti dan menutupnya kembali. Sebuah suara seorang pria paruh baya menyapanya. "Selamat sore nona Raya," sapa pria paruh baya bernama Andri. "Sore juga Pak Andri, waah!! Sepertinya bapak bahagia sekali ya hari ini, ada apa kabar bik apa ini Pak?" balas Raya tersenyum ramah menghampiri Pak Andri yang duduk di pos jaga. "Hehe, non Raya paling haval dengan saya, tadi siang anak bapak menelphone katanya dia bekerja dengan baik disana, bahkan atasannya baik sekali padanya, dan kemungkinan tahun ini dia bisa pulang rumah," jelas Pak Andri. "Waaah, syukur ya Pak, semoga beneran cepat pulang Pak putri bapak yang bernama Ines itu ya Pak?" tanya Raya masih tersenyum ramah dan akrab dengan penjaga panti seperti biasanya. "Iya Non, oh iya saya juga punya photo putri saya Non, dia kirim lewat ponsel, nona Raya mau melihat putri saya?" ucap Pak Andri menunjukan photo di ponselnya. Raya tersenyum, ia mengangguk dan melihat layar ponsel Pak Andri yang seperti orang tuanya itu. Setiap kali ptmria paruh baya itu melihat Raya selalu ramah dan baik. Bahkan menganggap Raya seperti putrinya. Maka dari itu Raya selalu menghormati dan mendengarkan setiap peluh resah pria paruh baya itu. Meski pemilik panti sering kali melarang Raya untuk terlaku dekat dengan pria tua itu. Namun Raya tidak pernah menghiraukan larangan itu. Dia selalu menghabiskan waktu senggangnya berbincang dan mendengarkan cerita pak Andri penjaga keamanan panti. "Waah, cantik juga ya Pak, putri Anda," seru Raya. "Iya, putri bapak satu-satunya hadiah dari mendiang istri saya," balas Pak Andri "Hmm, semoga dia baik-baik saja ya Pak, dan semangat Pak Andri ... Tunggu Ines pulang, nanti kita makan bersama, itupun kalau bayaran pertamaku turun," ucap Raya tersenyum menyemangati pria paruh baya yang kini tersenyum mendengarnya. "Iya non Raya, apa sudah di terima naskahnya?" tanya Pak Andri tersenyum ramah. "Hmm, doakan saja Pak, secepatnya," jawab Raya tersenyum. "Iya, nona Raya pasti bisa dan dapat," balas Pak Andri. Raya tersenyum dan mengangguk, ia sering kali mendapat semangat dan dukungan hanya dari pria paruh baya yang ada di hadapannya saat ini. Meski Raya setiap kali merasa buntu, ia selalu mendengarkan cerita pak Andri yang hanya seorang diri saja. Ketika dia di tinghalkan meninggal istrinya dan juga putrinya yang kerja di kota yang jauh katanya. "Saya masuk dulu ya Pak, selamat sore," pamit Raya berjalan memasuki rumah setelah Pak Andri mengangguk dengan senyum ramahnya. Raya berjalan memasuki panti setelah berpamitan pada Pak Andri dari pos keamanan. Dia selalu ramah pada siapapun terutama orang tua. Setiap kali Raya mencoba mengingat orang yang seharusnya dia ingat yaitu kedua orang tuanya, Raya selalu menemui Pak Andri penjaga panti. Setiap kali Raya merasa sepi, dia selalu menemani Pak Andri berjaga sambil membuat naskah yang sering ia lakukan di waktu malam. Saat berjalan memasuki pintu rumah, Raya mendengar suara beberapa orang yang tak asing di balik pintu rumah yang berdampingan dengan panti. Rumah pemilik panti yang tak lain ibu kepala panti. Raya mencoba berbalik dan berjalan perlahan ke arah suara. Dan benar saja, ketika hampir dekat dengan rumah itu, Zirah anak pertama pemilik panti itu tengah berteriak memarahi ibunya bersamaan dengan putrinya yang satu lagi. Usia mereka berdua hampir seumuran dengan Raya 21 tahun namun lebih tua dari Raya. Zirah 22 tahun Yui 21 tahun. Mereka berdua adalah anak gadis pemilik panti yang sering kali selalu membuat Raya gerah jika berhadapan dengan keduanya. Ibu panti yang tak lain ibu kandung merekapun hanya bisa diam dan menurut saja, ketika kedua anaknya itu setiap kaliberteriak apalagi merengek sesuatu yang mereka inginkan. "Pokoknya aku tidak mau bertambah satu anak lagi di rumah ini! Apalagi jadi saudara kita!" teriak Zirah dengan tegas pada ibunya. "Huh, apalagi aku, tidak mau berbagi kamar!" tambah Yui ikut berbicara. "Ibu hanya mau dia jadi putri ibu saja, dan lagipula dia masih kecil, jika di panti tidak ada kamar kosong Nak," pinta ibu panti. "Pokonya Tidak! Jika ibu masih bersikeras biar aku tinggal di asrama saja dan tinggalkan ibu sendiri disini!" ancam Zirah di balas anggukan oleh Yui. "Tapi ...." Ibu panti tidak melanjutkan perkataannya, namun dia melihat ke arah Raya yang sedari tadi mendengarkan mereka. Di ikuti kedua anaknya yang juga melihat kemana ibunya melihat. "Sedang apa kamu Raya!?" teriak Zirah. "Gak usah berteriak gitu! Norak," balas Raya acuh. "Kau ...." Yui menarik kakaknya untuk berhenti berbicara dan mendelikan kedua matanya memberi isyarat pada kakaknya itu. "Hmmm, dia tinggal denganmu saja Raya, kamu kan tinggal seorang saja di kamarmu, dan juga uang sewamu juga gak akan naik kalo kamu bersedia ajak anak bisu ini," jelas Yui tersenyum licik. "Hmmm," tambah Zirah tersenyum. "Eh tapi kan ...." "Sudah ibu diam saja! Atau anak ini buang saja lagi dan jangan tinggal disini ataupun di panti!" sela Zirah membentak ibunya. "Kalian brisik sekali! Cuman masalah anak ini kan? Kenapa kalian begitu merepotkan!" cetus Raya melihat anak kecil yang terdiam di belakang ibu panti. "Hah, merepotkan apanya kami? Dia yang merepotkan tahu," bantah Yui tidak mau kalah. "Iya kalian merepotkan dan berisik!" balas Raya jongkok dan melihat anak perempuan yang masih menundukan kepalanya. Pakaian yang kotor dan combang cambing, begitupun dengan wajah yang penuh debu membuat keadaan anak kecil mungil itu terlihat menyedihkan. "Memang siapa yang akan repot dengan gadis mungil ini?" ucap Raya tersenyum menusuk pipi anak kecil di hadapannya. "Siapa namamu?" tanya Raya dengan lembut. "Dia bisu!" jawab Zirah acuh. "Daripada kalian berisik!" balas Raya. "Kau ...." Yui menahan Zirah agar tidak mencari masa"ah dengan Raya yang terkenal dengan kepandaiannya, jika di jahili setiap kali mereka mencoba untuk menjahili Raya, justru malah mereka yang selalu kena getah keisengan mereka pada Raya. Maka dari itu, keduanya sudah sangat jera ketika harus berurusan dengan gadis yang bernama Raya itu. "Raya, apa ibu boleh merepotkanmu?" tanya ibu Panti. "Tidak perlu ibu panti yang minta, aku akan suka di repotkan gadis mungil ini kok," jawab Raya masih melihat anak gadis yang masih menundukan kepalanya. "Yah sudah naikan uang sewanya!" ucap Zirah. "Aku tidak tuli, apa kau yang jilat ludah sendiri! Bukannya tadi kau bilang tidak ada naik sewa ya!" balas Raya acuh. "Sudah Kak, daripada nanti anak kecil itu harus tinggal sama ibu atau sama kita, biarkan saja," bisik Yui pada kakaknya. "Huh, serah kamu deh, aku gak perhitungan lagi," cetus Zirah. "Sebaiknya seperti itu!" balas Raya tersenyum tipis. Zirah dan Yui pergi meninggalkan Raya beserta ibu dan anak kecil yang masih terdiam menunduk sedari tadi. Raya tersenyum masih memandangi gadis kecil yang usianya sekitar 4 tahunan. Dia tampak lusuh dengan penampilannnya saat ini. "Emm, gak mau bicara ya? Ya sudah, apa kamu sudah makan?" tanya Raya membuyarkan keheningan. "Dia bisu Ra, saat ibu menemukannya di dekat tempat sampah di pasar, dia hanya terdiam tanpa bicara ataupun menangis, makanya ibu bawa dia ke rumah pagi ini," jelas ibu panti. Raya terdiam setelah mendengar penjelasan ibu panti. Dia tidak bertanya ataupun berbicara lagi, Raya menggendong anak kecil itu yang hanya diam saja. Bahkan Raya tidak mengindahkan ibu panti yang juga terdiam melihat Raya membawa gadis itu. Raya keluar dari rumah ibu panti dengan anak kecil di gendongannya. Para anak-anak panti asuhan yang melihat Raya menggendong anak kecil saling memperhatikan Raya yang berjalan tanpa menghiraukan mereka yang melihatnya. "Ada apa dengan kak Raya ya? Dia ajak anak kecil itu? Siapa dia?" mereka saling bertanya satu sama lain ketika melihat Raya kini sudah memasuki kamarnya yang berada di belakang panti. Sebuah kamar yang hanya sepetak saja cukup untuk seorang diri, namun sangat rapih dari dalam. Raya memasuki kamarnya, masih dengan anak kecil di pangkuannya. Ia lupa akan rasa lelahnya hari ini ketika melihat anak gadis di pangkuannya. Raya menurunkan gadis kecil yang masih diam itu, dia mengangkat sebelah alisnya dengan senyum lembutnya melihat anak kecil di hadapannya yang masih menundukan kepalanya. "Hmm, masih mau diam ya? Kalau begitu diam saja ya, biar kakak mandiin kamu ya," ucap Raya tersenyum dengan lembut. Tidak ada jawaban ataupun sebuah anggukan untuk setiap ucapan Raya. Membuat Raya tersenyum menggelengkan kepalanya dan menuntun anak itu memasuki kamar mandi. Anak itu masih menurut pada Raya yang menuntunnya perlahan. Betapa terkejutnya Raya, ketika membuka pakaian anak kecil di hadapannya itu. Penuh dengan goresan luka dan juga luka bakar yang sudah cukup lama meninggalkan bekas namun masih terlihat merah. "Ya ampun, apa ini sakit?" Raya mencemaskan keadaan anak itu. Masih tidak ada jawaban dari anak kecil itu. Raya hanya menatap lekat anak di hadapannya itu dan ia dengan perlahan membasuh tubuh anak kecil itu perlahan. Terlihat anak itu meringis menahan sakit dan perasaan tidak bisa di artikan oleh Raya. Ia mengambil handuk kecil dan memilih untuk mengusap tubuh anak itu perlahan dengan kain basah dan juga air hangat. "Karena kamu tidak mau bicara, biar kakak bersihkan perlahan tubuh kamu ya, Sayang," ucap Raya dengan lembut sembari ia mengusap setiap lekuk tubuh gadis di hadapannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD