Takdir Allah 8 - Forgiveness

2088 Words
‘Lebih baik memilih orang yang punya banyak kesalahan, kelamahan, tapi dia bersedia memperbaikinya. Dibandingkan, orang yang merasa benar semua di hidupnya.’ – Tere Liye Aisyah baru saja mengantar Rere pulang dari apartemennya. ia mengeratkan cardigan yang ia pakai ketika angina bertiup kencang. Aisyah melihat jam di ponselnya, tertera pukul 4 pagi. Temannya itu tiba-tiba pulang karena ada urusan keluarga mendadak. Semalam mereka menghabiskan weekend dirumahnya dengan menonton film dan memasak. Ia kembali ke apartemennya dengan menggigil kedinginan. Aisyah menatap nomor pintu apertemen yang ia lewati, 4-3 mengingat lantai apartemennya berada di lantai empat. Ia sendiri menempari 4-5.  Aisyah memasukkan sandi pintu lalu masuk ke dalam. Ketika mengecek ponselnya lagi, Aisyah mendapatkan pesan dari Abimanyu. ‘Dek, jangan lupa shalat subuh. Kakak tahu, apa yang kau lakukan adalah tanggung jawabmu. Tapi, ingat Ayah dan Bunda juga akan bertanggung jawab atas perbuatanmu karena kau adalah anak mereka.’ Aisyah membeku di tempatnya, ia membaca pesan itu berulang kali. Hingga merasa hatinya sesak. Tiba-tiba ia meneteskan airmata, membayangkan hal buruk apa yang akan diterima kedua orangtuanya nanti atas apa yang sudah ia lakukan selama ini. Bayangan itu menyakiti hati Aisyah, ia jatuh terduduk dilantai, menangis tersedu. Kakaknya berhasil meruntuhkan ego yang ia pertahankan selama ini, ia sudah dewasa jadi ia dapat melakukan apa yang ia inginkan, kehidupan bebas, alkohol dan banyak lagi aturan yang sudah ia langgar. Ketika itu juga, Aisyah mengunduh aplikasi yang akan mengingatkannya tentang waktu shalat. Ia berlari mencari mukenah yang sudah ia simpan di celah paling bawah lemari, dengan bau apek yang menyengat ia menariknya dari sela-sela pakaian lain yang sudah ia tidak gunakan lagi. Aisyah bahkan tidak dapat menemukan sejadahnya, ia mengambil karpet yang sudah ia cuci dan melebarkannya di lantai. Aisyah mencari arah kiblat dengan kompas lalu buru-buru mengambil air wudhu. Di tengah semua itu, Aisyah berusaha mengingat surah-surah pendek yang ia hapal dulu. Tetapi hanya bisa mengingat dua surah, ia semakin terisak ketika memakai mukenah. “Ya, Allah ampunilah dosa-dosa kedua orangtuaku.” ucapnya serak dengan suara bergetar. Aisyah melaksanakan shalat subuh pertama kali sejak ia masuk bekerja. Ini pertama kalinya setelah tiga tahun lebih. Ia berusaha mengingat-ngingat bacaan shalat, bahkan tidak yakin apa yang dibacanya sudah benar atau belum. Ketika selesai, Aisyah mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata. Entah kenapa rasa sesak itu menghilang walaupun hanya sedikit. Aisyah bersujud kepada Rabb-nya. Air mata masih mengalir deras dimatanya, entah sudah berapa lama ia bersujud untuk meminta pengampunan. Aisyah mengakui semua kesalahannya, dadanya sesak karena menangis, tetapi ia masih terus bersujud. Tubuhnya bergetar, hingga ia tidak bisa lagi menahan suara isakan tangisnya. Karpet yang digunakannya basah terkena air mata,  Aisyah masih terus bersujud, memohon ampun kepada Allah. ‘Ya Allah…maafkan kesalahan hamba… hamba merasa bersalah karena lalai dari laranganmu. Mengerjakan apa yang telah engkau larang dan tidak mengerjakan kewajibanku sebagai hambamu. Ya allah… ampuni hamba yang tidak taat pada aturan-mu. Ampuni segala dosa-dosa hamba.’ Tangis Aisyah semakin menjadi, tiba-tiba ingatan demi ingatan datang bertubi-tubi saat ia tengah asyik menghabiskan hari di kelab malam, berdansa dengan laki-laki serta minum alkohol yang merupakan hal-hal terlarang. ‘Ya Allah… ampuni kedua orangtua hamba… Ya Allah… ampuni hamba.’ Aisyah bangun terlambat beberapa jam kemudian, ia mengirim pesan ke kantornya jika ia tidak masuk hari ini karena sakit. Aisyah jatuh tertidur di atas karpet, masih dengan mukenah yang ia pakai. Tubuh Aisyah panas,  itu akibat ia menangis berjam-jam. Tubuhnya hampir jatuh ketika berusaha berdiri, kepalanya pening dan terasa berputar-putar ketika ia berjalan. Aisyah memutuskan untuk membersihkan diri, lalu mencuci mukenah. Setelah sarapan, tubuh Aisyah membaik walaupun masih sedikit demam, ia memutuskan keluar dengan memakai celana dengan hoodie berwarna hitam serta memakai mantel panjang hampir menutupi tubuhnya hingga kaki. Aisyah menuju toko di salah satu tempat di Itaewon. Toko itu menjual berbagai jenis barang, ia ingin mencari sejadah. Setelah menemukan apa yang ia cari, Aisyah kembali ke apartemen. Di tengah perjalanan ia berpapasan dengan seorang pria, Aisyah menengok kebelakang dan tidak mendapati siapapun. Ia menatap belokan lorong menuju lift dengan tatapan penasaran. Aisyah merasa pernah melihat orang itu sebelumnya, ia tidak melihat wajahnya karena pria itu terlalu tinggi. Aisyah menghela napas lalu kembali berjalan masuk ke apartemennya. Ponsel Aisyah bergetar, ternyata ada pesan dari Abimanyu. ‘Siang dek, kamu lagi apa? Kerjaan hari ini lancar?’ Aisyah tersenyum kecil membaca pesan itu. Ia meletakkan belanjaannya lalu mengganti baju dengan pakaian sehari-hari lalu menghubungi Abimanyu melalui panggilan video. “Assalamualaikum, Kak.” Sapa Aisyah lalu tersenyum malu-malu. Abimanyu terkejut mendengar ucpan salam Aisyah.  Ia memberikan ekspresi kaget dengan senyum kecil. “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Wah, ada angin apa nih? Tumben?” tanya Abimanyu. Aisyah menggeleng pelan, masih malu. “Alhamdulillah, sekarang kamu sudah ngucap salam. Besok-besok mulai amalin yang lain, Dek. Kakak tahu berubah itu susah, apalagi kehidupan kamu yang sekarang pasti sudah sangat nyaman.” Ucap Abimanyu. “…jauh dari orangtua, bisa bebas mau kemana dan punya penghasilan serta tempat tinggal sendiri itu adalah impian mayoritas orang.” Aisyah mengangguk pelan, hidupnya memang sudah sangat  sempurna. Ia termasuk orang yang bisa membeli apa yang ia inginkan tanpa harus meminta kepada kedua orangtua apalagi membeli dengan menyicil. Tetapi,  hidupnya sempurna hanya berdasarkan sudut pandangnya. Belum tentu orang lain berpendapat yang sama. Sudut pandang seseorang tergantung dari mana orang itu memandang, jika ia memandang kekayaan tentunya ia masih lebih dibawah dari sebagian besar orang, jika ia memandang kesempurnaan hidup dari kelengkapan keluarga tentunya ia memiliki hidup yang sempurna karena keluarganya masih lengkap. Namun, berbeda jika orang itu memandang dari hal ibadah. Aisyah tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan, dosanya sangat banyak dari pada perbuatan baik yang ia lakukan. Semuanya sangat tidak seimbang. Ia memang selalu bersikap baik kepada orang lain, membantu, menyumbang, menolong orang tetapi itu sangat jauh jika dibandingkan dengan perbuatan yang telah ia lakukan, minum minuman beralkohol, memakai pakaian yang tidak sepantasnya, tidak menutup aurat serta kehidupa malamnya. Perbuatan baiknya hanya seujung kuku dibandingkan dosanya yang mungkin lebih banyak dari air di lautan. Mata Aisyah berkaca-kaca, “Kak.” Panggilnya pelan. “Eh, kok nangis?” Abimanyu menatap Aisyah lekat, ia menghela napas panjang ketika melihat iar mata adiknya mulai berjatuhan. “Aiysah, udah salah banget ya, Kak.” Ucap Aisyah serak. “…dosa Aisyah sudah banyak kak, gimana caranya bisa ngehapus dosa yang udah Aisyah lakukan.” Abimanyu menjilat bibirnya, ia mendekatkan layar ponsel lalu terdiam, menatap Aisyah yang sedang tersedu. Abimanyu hanya bisa menghela napas ketika merasa jika tangisan Aisyah sekarang akibat pesannya tadi subuh. Ia juga tidak berhenti memikirkan adiknya bahkan sudah lama sejak mereka melakukan panggilan video. Tetapi, Aisyah masih saja mengambil fokusnya ketika bekerja. Ia tidak bisa membiarkan adiknya begitu saja, walaupun memang Aisyah sudah dewasa dan dapat bertanggung jawab dengan apa yang ia lakukan.  Mau siapapun yang bertanggung jawab, itu tetap dosa. “Dek. Udah, berhenti nangis.” Ucap Abimanyu. Aisyah menatap Abimanyu dari layar ponsel, “Kak, Aisyah menyesal.” “Alahamdulillah kalau kamu menyesal. Jadi, mulai dari sekarang kamu tanam dalam hati kamu kalau kamu tidak akan tergoda lagi sama semua yang kamu lakukan kemarin, dek.” Terang Abimanyu. “Kamu bisa memulai dari hal kecil-kecil, misalnya kamu melakukan shalat lima waktu. Mungkin belum terbiasa, bolong-bolong juga nggak apa-apa. Tapi, jangan tiap hari, besok-besok kamu keluar dengan pakaian yang lebih tertutup, jangan dress sepaha lagi, kamu bisa memakai celana panjang dengan kemeja, tidak apa-apa kalau belum mau pakai jilbab. Ya, kakak tahu, semua butuh proses.”   “Apa nggak terlambat kak?” tanya Aisyah. Abimanyu menggeleng, “Menurut kakak, nggak apa-apa terlambat daripada tidak sama sekali.” Aisyah hanya menunduk, ia tidak tahu harus menanggapi apa. Ingatan tentang apa yang sudah ia lakukan dan akibat dari pada perbuatannya terus berputar dikepalanya. Bagaimana jika perbuatannya membuat kedua orangtuanya terbakar api neraka? Bayangan itu membuat sekujur tubuh Aisyah menjadi dingin. Ia merasa ingin menenggelamkan tubuhnya ke dalam tanah, berharap jika ia bukan anak darikedua orangtuanya atau bahkan tidak pernah hidup di dunia. “Aisyah.” Abimanyu sangat menyayangi adiknya, ia tidak tega melihat adiknya bersedih seperti ini. “Kalau kamu tanya bagaimana menghapus dosamu, itu urusan Allah, dek. Kita tidak bisa mengetahuinya. Jadi, kalau yang kita harus lakukan mulai dari sekarang adalah berbuat baik dan meninggalkan semua yang dilarang.” Abimanyu memegang kepalanya lalu bedecak pelan. “Duh, kayaknya kakak sudah pantas jadi Ustad-ustad ya, dek. Sudah bisa masuk tv atau ceramah di masjid.” “Ih, Kakak.” Aisyah tersenyum kecil. “Ya, habisnya nasehat kakak sudah kayak ustad-ustad handal. Mungkin kalau sudah pensiun, kakak bisa ceramah.” Abimanyu tertawa. Aisyah mengusap sudut matanya, ia terkekeh ketika membayangkan Abimanyu akan keliling menjadi penceramah. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. “Masuk.” Ucap Abimanyu kepada seseorang yang baru saja mengetuk pintu kantornya. Aisyah memperhatikan kakaknya yang tampak melihat ke arah lain. “Pak Manyu,” Seketika tawa Aisyah pecah, ia baru pertama kali mendengar ada seseorang yang memanggil kakaknya dengan nama itu. “Eh, Bapak sedang telponan. Maaf mengganggu.” ucap seorang wanita yang merupakan bawahan Abimanyu di tempat kerja. Abimanyu membuat gestur tidak apa-apa lalu menatap Aisyah, tawa gadis itu belum reda hingga membuat Abimanyu ikut terkekeh. Astaga, ia sangat bahagia melihat adiknya tertawa, jika saja semudah ini. Ia akan menyuruh bawahannya masuk sejak tadi. “Sudah, Aisyah.” Tegur Abimanyu. “…ada apa?” tanyanya kepada wanita yang masuk ke dalam ruangannya. “Oh, anda di tunggu di ruang meeting. Klien datang tiba-tiba.” Ucap wanita itu. “Pergilah, Kak.  Terimakasih sudah menghiburku, aku sudah jauh lebih baik sekarang. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Tepat saat itu juga layar ponsel Abimanyu menyala, menampilkan halaman utama ponselnya tertanda jika Aisyah sudah memutuskan sambungan. Aisyah memandang ponselnya yang kini tergeletak tepat di sebelahnya. Ia sedang berbaring di sofa, Aisyah menatap langit-langit yang berwarna putih. Ia mengambil napas dan menghembuskannya berkali-kali. Dadanya terasa sangat berat, Aisyah menutup matanya dengan lengan lalu tetap dalam posisi berbaring. Kemudian ia terlelap dengan kepala pening setelah menangis dan dalam pikiran kacau. Tiba-tiba Aisyah terbangun di sebuah gurun. Sepanjang mata memandang hanya ada pasir. Aisyah bediri, menyisir sekeliling dengan pandangannya. Tetapi tidak menemukan apapun kecuai pasir dan semak belukar yang sudah mati. Aisyah tidak memakai alas kaki, ia juga memakai pakaian yang serpa putih dari atas ke bawah. Ia mencoba berlari ke sebuah bukit kecil untuk melihat apa dibaliknya tetapi sama sekali tidak menemukana apapun. “Aku dimana?” tanyanya kepada diri sendiri. Aisyah mulai berkeringat dingin, ia mulai panik lalu berlarian kesana kemari. Matahari bersinar terik tepat di atas kepalanya. Aisyah jatuh terduduk karena kelelahan, kakinya sakit karena menginjak kerikil-kerikil tajam yang berada di antara pasir. Ia memejamkan matanya sebentar lalu ketika ia membukanya, tampak sosok-sosok melewatinya. Aisyah mematung di tempatnya, sosok-sosok itu memiliki bentuk yang aneh. Aisyah tidak bisa menatap mereka lama karena snagat menakutkan. Sosok-sosok itu semakin ramai ketika pandangan matanya menemukan kedua orang tuanya yang sedang berjalan sedikit berjauhan. “Ayah! Bunda!” panggil Aisyah setengah berteriak. Aisyah memeluk ibunya dengan erat, tetapi terkejut ketika wanita paruh baya itu melepaskan pelukannya. “Kamu siapa? Apa kita saling kenal? Ah, apa mungkin kamu anakku?” tanya wanita paruh baya itu membuat Aisyah tersentak kaget. Aisyah tidak percaya, ia berlari ke arah Ayahnya. Namun, mendapatkan reaksi yang tidak jauh berbeda. “Apa yang kau lakukan? Jangan menghalangi jalanku anak muda! Sana jalan sendiri.” Aisyah terdiam di tempatnya, tiba-tiba angin bertiup kencang disekitarnya. Ia berusaha keras agar tetap bediri d tempatnya, ketika angin itu mereda, Aisyah melihat kedua orangtuanya sudah berjalan cukup jauh dan mereka terlihat lebih tua. Tempat Aisyah berdiri sektika berubah, ia berada di atas jembatan, tepatnya ke arah persimpangan. Di bawahnya  terdapat jurang yang sangat gelap. Sosok-sosok melewatinya begitu saja, tanpa memperhatikan ia berdiri di sana. Persimpangan jalan itu hanya terbagi dua, satu jalannya terang benderang dan satunya lagi penuh dengan awan hitam dan petir. Aisyah melihat kedua orangtuanya lewat, mereka terlihat kuyu, rambut putih dan berjalan dengan tertatih. “Ayah! Bunda! Ayo lewat sini.” AIsyah menggiring mereka menuju menuju jalan yang terang benderang. Namun, mereka menggeleng. Memilih jalan yang penuh awan hitam dan petir. Aisyah tetap memaksa mereka pindah, menarik ayah ibunya dengan sekuat tenaga. “Tidak, Nak. Jalan kami sudah ditakdirkan menuju jalan ini.” Tolak mereka. Aisyah kekeh, menarik kedua orangtuanya. Mereka sama-sama memaksa hingga jembatan itu bergoyang dan tali pengaman jembatan itu putus. Membuat mereka bertiga terjatuh. Seseorang menangkap tangan Aisyah, membuatnya refleks menangkap tangan kedua orangtuanya. Mereka tergantung di tepi jembatan yang masih kokoh, ia tidak mengenali seseorang yang menangkap tangannnya tapi ia sangat beterimakasih kepada orang itu. Tetapi, tiba-tiba bayangan gelap melilit tubuh kedua orangtuanya,  menariknya turun kebawah. “Lepaskan, Nak. Ini sudah takdir kami.” Aisyah menggeleng tegas, “Tidak! Aku akan membawa Ayah dan Bunda naik.” “Tidak, Nak. Relakan kami.” Aisyah menjerit panik, ketika pengangan mereka terputus. Kedua orangtuanya langsung lenyap di dalam kegelapan. “Tidak! Ayah! Bunda!” jerit Aisyah. Aisyah terbangun dari tidurnya dengan napas memburu, keringat dingin mengucur diseluruh tubuhnya, jantungnya bertedak sangat kencang. Kepalanya pening karena mimpi yang barusan ia alami. “Astagfirullah.” Aisyah menarik dan menghembuskan napas untuk menenangkan diri. Ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, Aisyah buru-buru membersihkan diri lalu mengambil air wudhu. Malam ini, Aisyah kembali bersujud kepada Allah, memohon agar mengampuni semua dosa-dosa yang telah ia lakukan. Airmatanya kembali tumpah, ia memohon dengan setulus hati, ia mendoakan orangtuanya agar selalu dalam keadaan sehat dan memohon agar mengampuni dosa yang mereka lakukan. Aisyah meminta ampun karena terlalu sombong telah memiliki semuanya, padahal yang ia miliki tidak ada artinya jika dibandingkan yang Allah miliki.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD