“Mbak Fira, mau ke mana?” tanya Dokter Hilda melihat Fira turun dan menggunakan sepatu high heelsnya.
“Saya mau ke toilet,” jawab Fira, salah satunya tangannya memegang tepi brankar karena kepalanya masih terasa pusing sembari menarik napas pelan.
“Suster Nurul, tolong temani Mbak Fira, saya takut kenapa-napa,” pinta Dokter Hilda agak khawatir, dan Suster Nurul bergegas memapah Fira.
Bianca agak menepi memberi ruang untuk Fira lewat begitu juga dengan Syakira. Dan di sinilah Fira harus melewati Brata, wanita muda itu menegakkan dagunya dan tetap menatap ke depan, tatapan mereka bertemu, akan tetapi tatapan Fira sangat kosong dan seakan tidak ada sosok pria tersebut di hadapannya. Sementara Brata menahan napas saat Fira melewatinya, dan mengepalkan tangannya sekuat tenaganya.
“Dokter Hilda, kalau begitu bisa kita bicara'kan untuk yang selanjutnya dan jangan sampai terjadi kesalahan untuk kedua kalinya,” pinta Bianca.
“Kalau begitu kita bisa kembali ke ruangan saya Bu Bianca,” ajak Dokter Hilda, dia berjalan terlebih dahulu sembari mengirim pesan untuk Suster Nurul.
Sementara itu sesampainya di toilet, Fira menahan dirinya untuk tidak menangis setelah sekian lama tidak bertemu dengan Brata. Namun, bayang-bayang akan masa lalunya masih enggan pergi dari ingatannya.
“Mbak Fira, Dokter Hilda berpesan sebelum pulang untuk bertemu dulu, ada yang ingin dibicarakan,” ucap Suster Nurul menyampaikan pesan dari Dokter Hilda.
“Mmm,” gumam Fira sebelum masuk ke dalam salah satu bilik toilet.
Di dalam bilik toilet, Fira duduk di atas closet, air matanya ternyata sudah tidak bisa tertahankan, berkat dorongan hatinya akhirnya dia pun menangis.
“Kenapa! Kenapa harus terjadi lagi dengan ku!” gumam Fira sendiri dengan tangannya meremas perut datarnya tersebut.
Enam tahun yang lalu, setelah Fira lulus sekolah menengah atas, untuk pertama kali datang dari kampung menyusul bibinya ke Jakarta untuk mencari pekerjaan demi mengumpulkan uang agar bisa menggapai cita-citanya yaitu kuliah. Sesampainya di Jakarta, majikan bibinya menerimanya bekerja sebagai maid di mansion. Fira sangat senang selain gajinya lumayan besar, tuan dan nyonya-nya sangat baik padanya hingga dia betah bekerja di sana. Akan tetapi, setelah sebulan dia bekerja di sana nasibnya sangat naas, ketika anak majikannya pulang bekerja dalam keadaan mabuk berat, Fira yang diminta mengantarkan air madu ke kamar anak majikannya tersebut malah direnggut mahkotanya secara paksa. Hancurlah masa depan Fira saat itu.
Kejadian satu malam itu, membuat majikannya memaksa anaknya menikahi Fira sebagai bentuk tanggung jawab, dan rupanya kejadian satu malam itu pun membuat Fira mengandung anak majikannya yang bernama Bratasena Pradana, pria yang sudah bertunangan dengan Bianca Zyala Azaka.
“Ingatlah posisi kamu Nadira di sini! kamu hanyalah seorang pelayan! Aku menikahimu karena terpaksa gara-gara orang tuaku yang memaksamu. Andaikan kamu hamil, semoga anak itu tidak pernah lahir! Karena kamu tidak pantas mengandung anakku! Yang pantas mengandung anakku adalah Bianca tunanganku, calon istriku!” sentak Brata usai acara akad nikah.
Fira kala itu hanya bisa terdiam dan tak berdaya, dengan segala caci maki yang selalu dilontarkan oleh Brata, menikah hanyalah keinginan orang tua Brata bukan kemauan mereka berdua. Yang bersalah adalah Brata, tapi Firalah yang dikambing hitamkan setiap hari oleh Brata, menganggap Fira memang sengaja menggoda dirinya hingga terjadilah malam naas tersebut. Padahal Brata-lah yang tersulut gairah hingga merenggut mahkota yang berharga milik Fira.
Hingga di satu titik, saat kandungan Fira masuk usia empat bulan, dirinya tiba-tiba mengalami keguguran saat setelah minum s**u hamilnya. Dan mengetahui hal itu Brata berkesempatan untuk mengusir Fira dengan memberikan sejumlah uang.
“Aku rasa uang ini sudah cukup untuk ganti rugi, dan urusan kita sudah selesai, aku tidak ada tanggung jawab lagi denganmu. Lagian anak yang kamu kandung itu juga telah mati! Sesuai dengan keinginanku, jadi sekarang kamu kemasi barangmu dan pergi dari mansion ini, dan jangan sesekali menunjukkan dirimu di hadapanku serta kedua orang tuaku!” pinta Brata dengan tegasnya.
Ketika itu, lagi-lagi Fira tidak punya kekuatan apa pun, dia hanya orang kampung yang tidak memiliki power full untuk melawannya, dirinya juga tahu diri kalau dimana-mana wanita seperti dia yang hanya rakyat jelata memang tidak layak menjadi seorang pendamping seorang pengusaha. Tapi serendahkah itu dirinya hingga dengan semena-mena harga dirinya diinjak-injak oleh Brata. Dan dia juga tahu kalau pria yang menikahinya itu sudah punya calon istri, yang suatu hari akan menceraikannya saat calon istrinya kembali dari bersekolahnya di Paris.
“Terima kasih Tuan Brata atas pemberiannya, aku juga berharap untuk ke depannya tidak akan pernah berjumpa dengan Tuan lagi sampai kapan pun. Andaikan kita bertemu, anggap saja kita tidak saling mengenal. Dan terima kasih atas penghinaannya selama ini!” jawab Fira berusaha beranikan diri untuk bicara pada suaminya yang tidak pernah menganggap dia sebagai istrinya, tetap sebagai pelayan.
“Ya! Aku setuju, jika kita bertemu anggap saja kita tidak pernah saling mengenal!” sahut Brata, tatapan netranya begitu meremehkan Fira.
Begitulah sepintas ingatan akan masa lalu yang kembali diingat oleh Fira saat ini, wanita itu lantas menangkup wajahnya dengan kedua tangannya demi meredam tangisannya agar tidak terdengar oleh Suster Nurul yang menunggu di luar sana.
“Aku harus segera menggugurkan kandungan ini, jangan sampai dia berkembang dalam perutku,” batin Fira, berusaha memantapkan keputusannya.
Di waktu yang bersamaan, di ruang praktik Dokter Hilda, Brata terlihat melamun membayangkan wajah Fira barusan, sementara Bianca sedang serius berdiskusi dengan Dokter Hilda untuk penjadwalan inseminasi pada Fira Nadira Syakira.
Di sela-sela berdiskusi melihat Brata hanya diam dan terlihat tidak mendengar, Bianca menepuk lembut bahu suaminya.
“Sayang, kok dari tadi diam saja?” tegur Bianca.
“Eh ....” Lamunan Brata buyar, dan langsung menatap istrinya. “Aku permisi ke toilet sebentar, Bianca,” pamit Brata, rasanya dia harus menenangkan dirinya sejenak di luar sana, pertemuan yang tidak di sangka itu membuat dirinya sedikit terganggu.
“Jangan lama-lama ya Sayang, sebentar lagi waktunya mengambil benih Mas lagi,” pinta Bianca.
“Mmm,” gumam Brata, dia bergegas keluar dari ruangan.
Sebenarnya ada beban berat di pundak Dokter Hilda yang belum memberitahukan hal yang sebenarnya kepada Bianca dan Brata, apalagi sebagai dokter harus jujur, akan tetapi dia harus berbicara terlebih dahulu dengan Fira. Sedangkan bagi Syakira alias Fira kedua buatnya justru bagus jika Fira pertama tidak berkata jujur, berarti dia tetap jadi ibu pengganti dan mendapatkan uang sebesar satu milyar kalau dia berhasil melahirkan anak Brata.
Fira Nadira Zahra kembali ke ruang UGD, sesampainya di sana dia bergegas mengambil tas kerjanya dan memasukkan amplop coklat pemberian Bianca ke dalam tasnya.
“Loh Mbak Fira mau ke mana?” tanya Suster Nurul.
“Maaf Suster, sampaikan pada Dokter Hilda lain kali saja kita bicaranya. Saya ada keperluan yang lain,” jawab Fira terlihat terburu-buru.
“Tapi Mbak—“ cegah Suster Nurul.
“Tolong hargai saya sebagai korban kecerobohan kalian, masih untung saya tidak menuntut rumah sakit ini ke pihak berwajib!” sela Fira menunjukkan ketegasannya.
Suster Nurul akhirnya bungkam dan tidak bisa menahan kepergian Fira. Langkah kaki Fira begitu cepat keluar dari ruang UGD, dia tidak peduli dengan rasa pusing yang menderanya, dan tanpa Fira ketahui Brata yang melihat sosok Fira langsung mengikutinya dengan langkah cepatnya.
Bersambung ...