Setengah jam yang lalu, wanita muda itu sudah siuman dari pingsannya selama 30 menit. Namun, kepalanya masih berdenyut. Saat ini, Fira di bawa ke ruang UGD agar bisa beristirahat menenangkan diri. Tapi justru tidak tenang, karena dirinya masih dalam keadaan syok, hatinya sudah bergemuruh hebat ingin rasanya meledakkan amarahnya yang tertahan.
Wanita itu ditemani oleh Suster Nurul, sementara Dokter Hilda dan wanita yang memiliki nama yang sama menyambut kedatangan Brata bersama istrinya yang baru saja tiba, mereka berdua bertemu sejenak di ruang praktik Dokter Hilda.
“Bagaimana sih Dokter Hilda kenapa bisa bertindak seceroboh itu, harusnya wanita ini yang melakukan inseminasi bukan wanita lain!” tegur Bianca menaikkan vokal suaranya, sementara sang suami hanya diam dalam duduknya.
“Saya sangat minta maaf Bu Bianca atas kecerobohan ini, saat itu yang menangani Dokter yang lain karena saya harus menangani operasi caesar,” akui Dokter Hilda atas kesalahannya.
Bianca menarik napas kecewanya, lalu menatap wanita yang sejak tadi terdiam dalam duduknya. “Lantas, mana wanita yang menerima benih milik suami saya, Dokter Hilda? Kenapa dia tidak ada di sini?”
“Saat ini dia ada di ruang UGD, tadi sempat pingsan setelah saya memberitahukan kabar tersebut.”
“Aku ingin menemuinya,” pinta Bianca dengan rasa kecewanya.
“Mari saya antar ke ruang UGD, Bu Bianca, Pak Brata,” ajak Dokter Hilda dengan sopannya, sembari beranjak dari duduknya, diikuti oleh Bianca, Brata, dan Syakira.
Seperti biasa Bianca akan menggandeng tangan suaminya ketika berjalan dan menunjukkan kepemilikannya kepada setiap orang yang melihat mereka berdua. Istri mana yang tidak takut kehilangan sosok pria yang sangat tampan seperti aktor Turki Alp Navruz dan sosok pengusaha yang begitu kaya.
Brata sebenarnya sudah malas sekali dengan masalah yang terjadi, rasanya tidak ingin melanjutkan proses inseminasi, jika seribet ini ditambah dengan kejadian seperti ini, tapi apa daya semua demi permohonan sang istri.
Tak lama mereka pun tiba di ruang UGD, Dokter Hilda menggeser tirai berwarna biru.
“Mbak Fira, ada yang ingin bertemu,” sapa Dokter Hilda memberitahukan dengan tenang.
Fira yang kini sedang duduk bersandar sembari menyesap teh hangat mendongakkan wajahnya, pertama dia menatap Dokter Fira, lalu netranya bergeser ke samping sebelah kanan.
Dalam waktu bersamaan Fira dan Brata sama-sama terkejut.
“Tuan Brata!” batin Fira tak menyangka dengan kehadiran pria dewasa itu.
“Nadira! Dia ... Dia Nadira, ‘kan!” batin Brata juga sangat terkejut.
Bianca melangkah maju mendekati brankar yang ditempati oleh Fira, dan lumayan mengguncang hati Bianca melihat sosok wanita yang menerima benih suaminya adalah sosok wanita yang berparas sangat cantik, pikirnya wanita itu berparas biasa saja.
“Perkenalkan aku Bianca,” sapa Bianca memperkenalkan dirinya dengan mengulurkan tangannya.
Wajah Fira agak kebingungan tapi menyambut uluran tangan Bianca. “Saya Fira,” balas Fira dengan uluran tangan yang agak bergetar.
“Mbak Fira, ini adalah pasangan suami istri yang ingin bertemu dengan Mbak Fira, ini mengenai inseminasi itu. Ibu Bianca dan ini Pak Brata suaminya Ibu Bianca,” ucap Dokter Hilda memperkenalkan.
“Ya Allah, ada apa ini?” batin Fira benar-benar terguncang, dan agak menegang tubuhnya.
Fira memalingkan wajahnya dan kembali menyesap teh hangatnya demi menutupi rasa gugup, keterkejutannya saat ini, apalagi Brata menatapnya sejak tadi.
Luka lama kembali menguar ke permukaan, luka yang sudah lama dia pendam dalam-dalam kini hadir kembali. “Ya Allah, kenapa aku harus mengandung anak Tuan Brata lagi?” batin Fira terasa sesak, amat menyesakkan.
“Seharusnya bukan Mbak yang di inseminasi, tapi ini semua karena kecerobohan dari pihak rumah sakit! Jadi mau tidak mau, karena sudah terjadi, aku ingin mengetahui hasil inseminasi, tapi di lubuk hati aku semoga Mbak-nya tidak hamil karena Mbak bukan ibu pengganti yang aku pilih. Dan pastinya Mbak juga tidak mau hamil, ‘kan? Dan tenang saja aku akan membayar ganti rugi atas kejadian tersebut,” ucap Bianca agak terdengar angkuh.
Fira tersenyum getir mendengarnya dan tidak menyangka dia akan bertemu dengan wanita yang sejak dulu sangat dicintai oleh Brata. Dia pun menarik cangkir teh dari bibirnya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Dokter Hilda.
“Oh, jadi pasangan ini yang sudah lama tidak memiliki keturunan?” batin Fira bertanya-tanya, lalu bergerak mencoba terlihat tenang.
“Alhamdulillah hasilnya inseminasi gagal ya Dokter Hilda, tapi Bu Bianca tetap harus menggantikan kerugian yang lumayan mengguncang jiwa saya yang sempat menerima benih dari suami Bu Bianca tanpa seizin saya,” jawab Fira mengedipkan netranya pada wanita berjas putih itu, sudah tentu Dokter Hilda terkesiap mendengarnya, dan bisa membaca kode mata tersebut.
Bianca tampak lega, sementara hati Brata mendadak bingung atau turut lega apalagi melihat sosok Fira yang sangat jauh berbeda, baik dari wajah dan penampilannya. Kalau dihitung-hitung sudah enam tahun mereka tidak bertemu. Fira yang saat itu baru menyelesaikan sekolahnya dan menyusul bibinya bekerja di mansionnya menjadi maid, itulah awal perkenalan perjumpaan mereka berdua.
“Aku harus menggugurkan anak ini! Aku tidak boleh mengandung anak Tuan Brata! Dia pasti tidak akan mau menerimanya,” batin Fira meringis perih.
Syakira yang turut berada di sana jadi ikutan bingung, padahal dia dengar dengan jelas kalau Fira sedang hamil dan Dokter Hilda memiliki bukti, tapi itu bukan ranahnya untuk ikut campur.
“Betulkah Dokter Hilda sudah mengecek kondisi Mbak Fira-nya?” tanya Bianca.
“Su-sudah,” jawab Dokter Hilda, agak bingung apakah harus bilang hasilnya atau cukup berkata sudah.
Bianca mengeluarkan sesuatu yang rupanya sudah dia siapkan di dalam tasnya, ada amplop coklat yang lumayan tebal di keluarkan dalam tas mewahnya tersebut.
“Terimalah ini sebagai ganti rugi dari aku dan suamiku, dan aku harap dengan kejadian ini Mbak Fira juga tidak berbicara di luar sana, karena akan mencoreng nama baik suamiku,” pinta Bianca memberikan amplop tersebut. Fira memejamkan netranya sejenak dan tersenyum miris, hatinya bergemuruh. Setelahnya itu dia membuka netranya dan memberanikan dirinya menatap pria yang ada di ujung brankarnya.
“Ini uang 200 juta untukmu sebagai ganti rugi, dan pergilah dari mansionku, jangan sesekali kamu muncul di hadapanku untuk selama-lamanya!” Enam tahun yang lalu Fira juga mengalami hal ini dari Brata, dan hari ini terulang lagi pada dirinya.
Fira menahan dirinya untuk tidak meluapkan emosinya, padahal hatinya sangat ingin marah, dan kenapa hampir semua orang kaya yang ditemuinya selalu saja bersikap merendahkan dirinya mentang-mentang dia dari keluarga yang tidak berada!
Fira ingin masalah ini berhenti sampai di sini dan biarlah dirinya terkesan mata duitan, lagi pula uangnya juga untuk menggugurkan kandungannya. Dengan uluran tangan yang terpaksa Fira menerima amplop coklat tersebut, dan Brata tersenyum sinis melihat Fira menerima amplop yang berisikan uang dari istrinya tersebut.
Fira tidak mengucapkan terima kasih pada Bianca atau pada Brata, dia hanya menatap Dokter Hilda. “Jam berapa saya bisa pulang, Dok?” tanya Fira.
Dokter Hilda menolehkan wajahnya ke arah Suster Nurul, dia harus berbicara terlebih dahulu dengan Fira.
“Saya harus mengurus masalah kompensasi terlebih dahulu dari pihak rumah sakit buat Mbak, jadi saya harap Mbak Fira bisa menunggu sambil beristirahat sebentar,” jawab Dokter Hilda.
“Saya harap tidak lama, Dok,” jawab Fira mulai terlihat tidak nyaman, dia menyibakkan selimutnya, lalu kedua kakinya turun. Dan di sinilah Brata bisa melihat jika penampilan Fira seperti wanita karir, blouse linen berwarna hitam dipadu dengan rok span motif kotak-kotak membentuk tubuhnya yang kini jauh sangat berbeda dengan keadaan enam tahun yang lalu. Dulu tubuh Fira agak kurus, tapi sekarang tubuhnya berisi dan sangat seksi.
"Nadira," batin Brata memanggil nama wanita itu.
Bersambung ...