Anindira menurunkan pandangannya sesaat setelah Kenan melepaskan ciumannya.
"Sorry," Kenan berbisik.
Anindira membasahi bibirnya lalu menggeleng. "Tidak apa-apa."
"Aku tidak akan dipolisikan lagi 'kan karena sudah menciummu?" tanya Kenan dengan nada bercanda dan sambil mengulum senyum.
pertanyaan Kenan bagai pisau yang menghujam d**a Anindira dan menghadirkan kembali rasa bersalahnya. Gadis itu menekan kedua telapak tangannya ke d**a Kenan lalu mendorong tubuhnya sejauh mungkin dari pria itu. Tanpa kata, ia berbalik dan menepi. Sedih dan kecewa berkecamuk menjadi satu memenuhi rongga hatinya.
"Nindi, I'm so sorry. Nindi, please! Aku tidak bermaksud—" Kenan dengan cepat mencoba mendekati Anindira yang terus bergerak menjauh darinya. Dalam beberapa langkah ia berhasil meraih lengan Anindira.
Anindira menepis tangan Kenan dan sebelum ia keluar dari kolam renang ia berucap, "Sudahlah. Aku mau pulang."
Anindira memakai piyamanya. Ia bergegas menuju ruang bilas dan ganti. Pertanyaan Kenan yang mengorek luka lamanya menghadirkan rasa sakit tersendiri. Sedih dan kecewa datang bersamaan dan menyerangnya sekaligus.
Setelah berganti pakaian, Anindira kembali menemui Kenan yang masih duduk di sun lounger. Meskipun di dalam hati ingin menangis, tapi gadis itu mampu menghalau air matanya agar tidak tumpah. “Aku permisi. Terima kasih sudah memberiku tumpangan dan tempat menginap.”
Kenan berdiri. Ia melepas kaca mata hitamnya lalu mengunci tatapannya terkunci pada Anindira. "Nindi, kau tidak akan pulang sekarang. Aku yang membawamu ke mari. Aku yang akan mengantarmu pulang."
"Tidak perlu. Aku akan pulang sendiri. Maaf kalau aku sudah merepotkanmu." Anindira menunduk.
"Kau marah padaku?" Kenan membalas dengan pertanyaan yang membuat jantung Anindira kembali berdebar kencang.
"Kenan, aku sudah minta maaf padamu. Aku menyesali semua yang pernah kulakukan padamu dulu. Kalau kau mau menghukumku, hukum saja. Jangan berpura-pura sok baik padaku. Aku tahu kau tidak sebaik yang aku pikir. Andai ada yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku, akan aku lakukan." Akhirnya air mata Anindira meleleh.
Kenan lebih mendekat ke hadapan Anindira. Ia menangkup wajah Anindira, kemudian mengangkatnya hingga tatapan mereka bertemu.
"Ya, aku memang berbohong kalau aku sudah memaafkanmu. Pada kenyataannya aku tak pernah bisa benar-benar memaafkanmu. Kau tahu kenapa? karena kau, Anindira Elvina, selalu ada disini," ucap Kenan sambil menunjuk pelipisnya sendiri, "dan di sini." Kenan menekan dadanya.
"Maaf ....”
"Kau mau membayar semua kesalahanmu?" Kenan menyelipkan anak rambut yang tergerai menutupi sebagian pipi Anindira ke belakang telinga gadis itu.
"Andai aku bisa—"
"Jadilah pasanganku di pesta anniversary Citra Prana Steel & Coal hari Minggu nanti." Kenan kembali mengecup bibir Anindira lembut.
Lagi-lagi Anindira tak bisa menolaknya. Getaran itu menahannya untuk menjauh dari Kenan. Terbuai, ia larut dalam ciuman mesra Kenan.
***
Gosip kedekatan sang CEO dengan teman sekelasnya sewaktu SMA semakin menyebar. Baik Kenan maupun Anindira memang tak menyangkalnya. Hanya saja Anindira masih menyembunyikan hal tersebut dari Lia, ibunya. Ibu dan kedua kakaknya tidak pernah tahu jika Kenan Mahaprana adalah bosnya saat ini.
Malam itu Anindira tampak cantik dengan off shoulder dress abu-abu dan stiletto yang berwarna senada dengan dress-nya. Tangannya mengait ke tangan Kenan yang malam itu tampak sangat menakjubkan dengan jas abu-abunya. Mereka berjalan bergandengan melintasi pintu ballroom dan membuat banyak tamu undangan berdecak kagum dengan keserasian mereka.
"Para hadirin yang terhormat, attention please! Hari ini, hari spesial untuk Citra Prana Steel & Coal. Dua puluh tujuh tahun yang lalu, perusahaan ini pertama kali didirikan oleh pasangan suami istri yang sangat hebat. Mereka adalah Mr. Edward Thompson dan Mrs. Citra Thompson. Mereka mendirikan perusahaan ini dengan kerja keras dan semangat juang yang tinggi. Saat ini, kehadiran putra semata wayang mereka, Mr. Kenan Mahaprana Thompson, akan membuat perusahaan ini bertambah maju dan sukses." Suara lantang MC bertubuh tambun itu menggema ke seluruh ruangan hingga terdengar Anindira.
Anindira terpangah dengan ucapan si MC yang mengatakan bahwa Kenan adalah putra semata wayang pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Ia memutar kenangannya. Tujuh tahun lalu Kenan hanyalah seorang anak seorang buruh pabrik kecil. Bagaimana bisa sekarang Kenan menjadi seorang anak tunggal pemilik perusahaan tambang baja dan batubara terbesar di Indonesia? Pikirnya.
Anindira menarik pelan tangan Kenan untuk sedikit merapat padanya. Ia mengangkat wajahnya dan hampir menempelkan bibirnya ke telinga Kenan.
"Kenan, boleh aku bertanya?” Anindira ingin segera melepas keraguannya.
“Tentu. Ada apa?”
“Maaf jika aku lancang. Apa benar mereka orangtuamu?” tanya Anindira gugup dan pelan. Tatapannya menunjuk pria bule dan perempuan asli Indonesia berusia sekitar lima puluhan yang berdiri di atas podium.
“Iya. Mereka orangtua kandungku.”
“Oh.” Anindira bergeming.
“Itulah sebabnya aku sudah memaafkanmu sejak lama. Jika bukan karena kejadian itu, aku takkan bertemu dengan orangtua kandungku.”
Mata Anindira membulat. Tatapan menyelidiknya mengunci tatapan Kenan.
“Ceritanya panjang. Saat berusia tiga tahun aku diculik. Orangtua angkatku menemukanku di bawah jembatan sedang menangis. Saat itu si penculik entah sedang pergi ke mana. Orangtua angkatku merasa kasihan padaku lalu membawaku bersama mereka. Mereka sempat melaporkan ke polisi menemukan anak hilang, tapi orangtua kandungku sudah kembali ke Swiss karena ibuku mengalami depresi. Mungkin semua ini sudah menjadi takdirku. Bahkan, aku sama sekali tidak ingat peristiwa penculikan itu.”
“Ya, Tuhan.” Hati Anindira melesak mendengar penuturan Kenan. “Lantas, di mana orangtua angkatmu sekarang?”
“Mereka tidak hadir di sini. Sekarang mereka sedang mengunjungi adik angkatku yang berkuliah di Cambridge.” Kenan menarik tangan Anindira. “Ayo, aku kenalkan pada orang tua kandungku!"
"Mom, Dad, kenalkan, ini Anindira yang sering aku ceritakan pada kalian," tutur Kenan kepada Edward dan Citra yang baru saja turun dari podium.
"Wow! Cantik sekali. Pantas Kenan sangat menyukaimu. Dia sering bercerita tentangmu. Oh iya, saya Citra. Saya mamanya Kenan." Wanita baya yang masih terlihat cantik itu mengulurkan tangannya pada Anindira.
Kenan bercerita tentang aku? Apa yang diaceritakan pada orangtuanya tentang aku? Mendadak pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Anindira. Namun, ia segera menunda semua pertanyaan itu karena harus berhadapan dengan orangtua Kenan.
"Saya Anindira, Tante." Anindira menjabat uluran tangan Citra.
"Saya papanya Kenan." Pria bule yang berdiri di samping Citra memperkenalkan dirinya.
Suara alunan music Jazz yang sangat merdu, kudapan mewah sampai anggur dan champagne dengan merek terkenal yang tersedia serta, sorot lampu yang menghias ballroom hotel mewah itu membuat suasana pesta sangat meriah. Para tamu semakin tertahan untuk beranjak dari pesta glamour itu, namun tidak untuk Kenan. CEO yang dikenal introvert itu memilih untuk menjauh dari hingar bingar pesta.
"Nindy, kau bosan di sini?"
"Mm, sedikit. Aku tidak terbiasa berada di tempat... maksudku di pesta seperti ini?"
"Kalau begitu kita pergi dari sini." Kenan menggenggam tangan Anindira, mengajaknya keluar dari ballroom hotel tersebut.
"Kita mau ke mana?" tanya Anindira saat mobil yang dikendarai Kenan melaju ke arah Puncak, Bogor.
"Nyari angin," jawab Kenan sambil tersenyum.
"Buka saja jendelanya kau pasti dapat angin," Anindira membalas dengan candaan ringan.
Dua jam lebih mereka saling melempar canda dan tawa dalam perjalanan yang cukup panjang. Kenan membelokkan arah laju mobilnya ke sebuah komplek perumahan mewah.
"Kenan, ini rumah siapa?" tanya Anindira saat mobil Kenan memasuki halaman sebuah sebuah rumah besar berdesain eropa abad pertengahan.
"Ini Villa keluargaku," jawab Kenan.
"Kenapa kita harus ke sini?" Anindira berpura-pura bodoh menanyakan pertanyaan yang sangat tidak membutuhkan jawaban Kenan.
"Mau uji nyali."
"Uji nyali apa? Hantu? Kenan sebaiknya kita pulang lagi saja. aku takut." Anindira merapatkan tubuhnya ke lengan Kenan sesaat setelah turun dari mobil.
"Bukan hantu tapi ini." Kenan tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arah Anindira lalu menggendong tubuh Anindira seperti tanpa beban, membawanya ke bagian belakang Villa melewati pintu samping villa tersebut.
Tiba di bagian belakang villa, Kenan menjatuhkan tubuh anindira ke dalam kolam renang. Anindira menjerit merasakan kulitnya seperti terbenam di dalam bongkahan es.
"Kenaaaaan!!!"
Kenan tersenyum melihat Anindira seperti kucing kehujanan yang berusaha keluar dari kolam dengan air sedingin es. Melihat gadisnya menggigil Kenan akhirnya menyusul Anindira menceburkan diri ke kolam. Ia memeluk erat gadis itu. Kenan menghilangkan jarak di antara mereka. Seluruh hasrat dalam tubuh Anindira terbangun dan ia merasakan udara menipis saat Kenan mendekatkan wajah lalu menciumnya. Tubuhnya menyambut serangan bibir Kenan yang menghasilkan desiran aneh yang meruntuhkan pertahanannya.
Bibir Kenan menekan, menghisap, dan membelai bibir Anindira hingga bibir gadis itu membengkak. Anindira tersesat dan tak berdaya oleh gairah yang meledak-ledak.
Perlahan, Kenan mampu membius Anindira dengan setiap sentuhannya. Kenan melepas gaun basah yang masih membalut tubuh Anindira. Ia dan Anindira sangat menikmati keintiman yang mereka ciptakan sampai tak peduli jika mereka harus bercinta di dalam kolam renang dengan air yang sangat dingin. Hangatnya tubuh dan gairah yang bergejolak dalam diri mereka membuat mereka tak lagi merasakan udara dingin. Keintiman mereka berlanjut sampai ke tempat tidur dan berlangsung berkali-kali.
Kenan membelai rambut Anindira. Dipandanginya wajah cantik Anindira yang masih terlelap di sampingnya. Sesekali dia mencium kening Anindira. Kenyataan bahwa Anindira masih perawan sebelum tidur dengannya membuatnya sedikit menyesal.
"Aku tidak akan sanggup menyakitinya. Menghukumnya sama saja dengan menghukum diriku sendiri. Tapi, aku harus melakukannya. Semua penderitaanku di masa lalu harus dibayar."