"Ampun, Pak. Saya tidak melakukan apa-apa?" ucap Kenan dengan suara bergetar.
"Bohong, Pak! Bapak jangan percaya sama dia!" teriak Anindira menyela ucapan Kenan. Ia kemudian dibantu berdiri oleh seorang siswa jaga.
"Kau bilang tidak melakukan apa-apa, tapi yang Bapak lihat berbeda, Kenan!" bentak guru itu.
Ia menyeret Kenan keluar dari tenda. Ketiga siswa lain dan si siswi pun ikut keluar dari tenda itu. Suasana tiba-tiba menjadi riuh saat semua peserta kegiatan camping terbangun oleh kegaduhan yang terjadi.
Tidak ingin menimbulkan keresahan yang berlebihan terhadap semua peserta didiknya, guru itu memanggil rekan sesama guru dan pembina untuk membantunya menertibkan suasana yang terlanjur gaduh.
"Coba jelaskan kenapa kau sampai bisa melakukan semua ini?!" tanya Pak Guru dengan tegas sesaat setelah suasana mulai kondusif.
"Saya tidak tahu, Pak. Tadi, Anindira yang datang ke tenda saya dan meminta saya mengantarnya ke tenda penyimpanan barang, Pak," jelas Kenan masih dengan suara bergetar.
"Bohong! Saya mau mengambil selimut ke sana, Pak. Tiba-tiba dia sudah ada di belakang saya dan maksa saya buat ...." Anindira menangis. Seorang guru perempuan yang ikut dalam kegiatan itu merangkul dan menenangkannya
"Demi Tuhan, Pak, saya tidak bohong. Anindira yang mengajak saya ke tenda itu." Mata siswa itu mulai berkabut lalu perlahan air matanya mulai menetes.
Anindirara mencoba membela diri. "Pak, buat apa saya bohong? Apa bapak pikir saya tertarik dengan siswa cupu kayak dia? Hih, amit-amit, Pak! Beneran Anindira tidak bohong, Pak. Dia yang ngikutin Anindira ke tenda itu."
"Kurang ajar sekali kau! Kami akan melaporkan perbuatanmu ke orang tua Anindirara dan pihak sekolah!" kata guru itu dengan geram.
***
Anindira membawa kembali pikiran dan hatinya ke masa sekarang. Bayangan peristiwa delapan tahun lalu itu membuatnya hampir tak bisa bernapas. Hening menyelimuti suasana di sepanjang perjalanan. Mungkin diam adalah pilihan yang tepat untuk Anindira. Seharusnya ia sudah tenang karena Kenan tak lagi mempermasalahkan hal itu, tapi perasaan itu, perasaan yang terus menyiksanya kembali menyeruak dan perasaan lain hadir bersamaan.
"Maaf." Anindira mencoba memecah keheningan di antara mereka.
"Excuse me?" Kenan menoleh pada Anindira.
"Yang tadi, di kantor. Maaf, ya, aku nggak sengaja," balas Anindira
"Aku tidak mengerti." Kenan memutar memorinya dan menemukan titik yang dimaksud Anindira. "Oh, tidak apa-apa,"
Anindira perlahan mencuri pandang ke arah Kenan. Kenan menatap lurus ke jalanan yang mulai sepi kendaraan. Raut wajah Kenan yang tanpa ekspresi membuat Anindira mengurungkan niatnya untuk membuka obrolan lagi. Anindira merasa Kenan masih tak menyukai dirinya dan membatasi diri, walaupun Kenan sudah begitu baik padanya. Ya, wajar saja Kenan tak menyukainya. Mereka punya sejarah yang tak patut diingat.
Anindira kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Masih terbayang perlakuannya pada pria yang duduk di balik kemudi bertahun-tahun yang lalu. Penyesalan itu masih ada di hatinya.
Beberapa menit mereka saling membisu dan akhirnya Kenan mulai bertanya, "Kau masih tinggal di rumahmu yang dulu?"
"Memangnya kau tahu rumahku?" Anindira balik bertanya.
"Aku masih ingat saat aku dan orangtuaku datang untuk meminta maaf pada orangtuamu dan—" Kenan menghentikan ucapannya.
Tarikan berat napas Kenan sesaat setelah ia menghentikan ucapannya membuat Anindira sedikit tersinggung. Anindira tak dapat menahan perasaan bersalah sekaligus sedihnya. Kabut mendung di matanya mulai menitikkan butir-butir air mata. Anindira terisak.
"Kenan, aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku tidak tahu kejadiannya akan serumit itu. Aku... minta maaf."
Kenan menepikan mobilnya di bahu jalan. Ia menoleh ke arah Anindira. Anindira buru-buru menyapu air matanya dengan punggung tangannya.
Dengan penerangan minim di dalam mobilnya, Kenan menatap wajah polos Anindira. Bagaimana mungkin gadis selugu ini bisa sangat menyakitiku?Apakah benar yang ada di hadapanku ini Anindira yang aku kenal delapan tahun lalu?
Anindira menunduk. Kenan melepas seatbelt-nya lalu membingkai pipi Anindira dengan kedua tangannya. Setuhan tangan Kenan di kedua belah pipinya membuat jantung Anindira berdetak semakin kencang.
"Apa kau benar-benar menyesalinya?" tanya Kenan dengan suara berat.
"Andai aku bisa meralat kesalahanku dan memutar waktu aku takkan—" Anindira tak bisa menahan tangisnya. Anindira terisak kencang dan tiba-tiba Kenan memeluknya erat. Anindira terkesiap saat tubuhnya beradu dengan tubuh Kenan.
"Maafkan aku...," kata Anindira lirih.
Sejak malam itu Anindira tak bisa melupakan bayangan wajah Kenan dalam benaknya. Bukan tentang rasa bersalah dan penyesalan lagi yang dia rasakan. Kenan sudah berhasil menarik perhatiannya, membuat jantungnya selalu berdetak lebih cepat dan membuat harinya lebih ceria dari sebelumnya. Pria itu telah berhasil membuka hatinya.
Anindira dan Kenan semakin dekat dari hari ke hari meski tak ada komitmen apa pun di antara mereka. Anindira menikmati kedekatannya dengan Kenan saat ini, meski hanya dianggap sebagai teman olehnya. Meski begitu, Anindira sudah sangat bahagia. Setidaknya dia bisa menunjukkan pada seluruh karyawan di perusahaan Kenan jika dia dan Kenan memang berteman.
Seminggu lagi perayaan hari jadi Citra Prana Steel & Coal Tbk. Semua karyawan dibuat sibuk dengan persiapan pesta perayaan yang rencananya akan digelar di sebuah hotel berbintang lima. Anindira ditunjuk sebagai salah satu panitia perencanaan perayaan tersebut dan membuka kesempatan pertemuan antara dia dengan Kenan lebih intens.
"Sudah jam 07.00, kau tidak pulang?" suara itu tiba-tiba mengagetkan Anindira yang masih asyik di depan komputernya.
"Eh, Mbak. Masih sedikit lagi, nih, Mbak kerjaannya. Tanggung, soalnya besok harus sudah ada di meja Mr.K," balas Anindira pada Ita.
"Ya, sudahlah. Aku pulang duluan, ya. Ada Pak Min yang nemenin 'kan? Eh, tapi hati-hati, ya, di sini suka ada hantu. Huhuhu." Ita menggoda Anindira.
"Iya, Mbak. Tenang aja, hantunya juga sudah bersahabat sama aku," balas Anindira sambil tersenyum.
Menjelang jam 8.00 malam Anindira bersiap untuk pulang. Ia sedang menunggu taksi di halte di depan gedung perusahaan ketika tiba-tiba sebuah mobil berjenis SUV Lexus berhenti di depannya. Si pemilik mobil tersebut membuka kaca jendela.
"Nindy, ayo masuk!" perintah si pemilik mobil mewah itu.
Tanpa pikir panjang Anindira masuk ke mobil itu.
"Kau temani aku, ya, ke Sentosa hotel. Aku mau lihat sejauh apa persiapan yang sudah mereka lakukan untuk acara anniv perusahaan kita."
"Iya." Anindira duduk mematung di samping Kenan yang sedang mengemudi.
Tak pernah terbayangkan olehku kalau aku akan berteman baik dengan orang yang pernah aku lukai. Semoga pertemanan ini tulus.
"Nindy, kau melamun?"
"Eh, apa? Maaf, mungkin efek lapar jadi nggak fokus."
"Kalau begitu kita makan dulu, ya."
"Nggak usah. Kita ke hotel dulu saja. Nanti kemalaman."
"Baiklah, kita makan di hotel. Ok?"
Anindira tidak bisa menolak lagi tawaran Kenan. Tiba di hotel, Anindira dan Kenan menjalankan rencana awal mereka yaitu makan malam dan setelahnya mereka bertemu manajer hotel berbintang itu.
"Malam Mr.K, tumben Anda datang bersama Kekasih Anda?" tanya manajer hotel itu.
Kenan hanya tersenyum, tidak menegaskan siapa Anindira.
"Perkenalkan, ini Nindi." Kenan memperkenalkan Nindi pada manajer hotel itu.
"Saya Anindira."
"Panggil saja saya Hendra. Anda beruntung jadi kekasihnya Mr.K," balas Hendra.
Aku heran kenapa orang-orang memanggil Kenan dengan Mr.K? Ah, mungkin itu karena inisial namanya. Tapi, kalau dipikir-pikir memang Kenan tak seperti orang pribumi kebanyakan, kulitnya lebih putih dan postur tubuhnya lebih tinggi. Warna matanya pun kehijauan. Mungkin suatu keberuntungan saja dia dilahirkan dengan bentuk sempurna seperti itu. Anindira menduga-duga dalam hati.
Perbincangan Kenan dan manajer itu berlangsung cukup lama. Anindira sebenarnya sudah merasa bosan dan capek, tapi demi Kenan dia memaksakan diri untuk terlihat ceria. Dia tidak mau mengecewakan Kenan di depan manajer hotel itu.
"Maaf, ya, membuat kau bosan," kata Kenan ketika mereka berjalan bersama ke tempat parkir.
"Tidak apa-apa. Santai saja," sangkal Anindira. Padahal terlihat jelas garis lelah di wajahnya.
Terlalu lelah, Anindira tertidur saat perjalanan menuju rumahnya. Kenan tidak tega membangunkan Anindira hingga akhirnya ia memutuskan untuk memutar laju mobilnya menuju kediaman mewahnya.
Dia membopong Anindira masuk ke kamarnya dan membiarkan gadis yang masih memakai baju kerja itu tertidur nyenyak di tempat tidurnya.
Dipandanginya wajah Anindira. Anindira tertidur seperti bayi. Wajah cantik dan polosnya begitu menggoda Kenan untuk terus memandang ke arahnya.
"Wajah ini yang selalu menghantuiku dan wajah ini pula yang membuatku takut." Kenan menggertakkan rahang tegasnya, lalu meninggalkan Anindira di kamar mewah itu sendirian.
Mentari pagi sudah bersinar. Sinarnya yang hangat menembus kaca jendela kamar dan menerpa kulit putih mulus Anindira. Anindira membuka matanya dan betapa terkejutnya dia mendapati dirinya terbangun di kamar asing. Anindira panik. Ia turun dari tempat tidur, lalu berlari menuju pintu. Ia terpangah saat pandangannya memapar pemandangan di luar kamar.
"Wow! where am I? " Anindira berlari menuruni anak tangga.
"Non, sudah bangun? Tuan sudah menunggu di kolam renang, Non." seorang wanita paruh baya mengejutkan Anindira begitu dia menginjakkan kaki di anak tangga paling bontot.
"Tuan?" tanya Anindira menyelidik.
"Iya, Tuan Kenan sudah menunggu Non di kolam sana," balas wanita itu sambil menunjuk ke arah luar jendela.
"Kenan? Oh, baiklah." Anindira berjalan ke arah yang ditunjuk wanita paruh baya itu. Ia membuka pintu pembatas antara ruang makan dan kolam renang. Ia melihat Kenan sedang berbaring bertelanjang d**a di sun lounger yang terdapat di pinggir kolam renang.
Ouw! Thank God! aku bisa melihat pemandangan indah ini. Ya, Tuhan, dia seksi sekali. Sudah Anindira jangan norak! Dia hanya menganggapmu teman jangan macam-macam! Beruntung dia tidak membencimu. Anindira mengingatkan dirinya sendiri.
Anindira berjalan mendekati Kenan.
"Kenan."
Kenan membuka sunglasses-nya. "Ganti bajumu, kita berenang."
"Oh, tidak. Terima kasih. Kenan, apa semalam—?" tanya Anindira gugup.
"Iya, semalam kau tidur di mobilku dan aku tidak tega membangunkanmu lalu aku membawamu ke sini. Kau tidur di kamarku dan aku tidur di kamar lain. Masalah izin pada ibumu, aku sudah meminta Ita menghubungi ibumu semalam. Semuanya sudah beres."
"Ita? Kau meminta Mbak Ita menelepon Mama? Kau bilang aku menginap di sini sama Mbak Ita?" berondong Anindira dengan nada sedikit panik.
"Kenapa? Ita kan karyawanku. Aku bayar dia buat kerja. Kerjanya, ya, termasuk semua yang aku perintahkan padanya. Sudahlah semua sudah beres. Ayo ganti bajumu atau kau mau berenang dengan pakaian seperti itu?" Kenan menjelajah tubuh Anindira dengan pandangannya.
"Apa aku bisa menolak perintahmu?" Anindira mencoba bernegosiasi.
"Tidak. Aku bosmu dan aku memerintahmu untuk berganti pakaian dan menemaniku berenang." Senyum manis Kenan terkembang di wajah tampannya. Pesona pria yang mempunyai tinggi tubuh lebih dari 180 cm itu tanpa ditebar pun sudah melelehkan setiap wanita yang melihatnya. Tak terkecuali Anindira.
"Kenapa masih berdiri?" Kenan beranjak berdiri lalu menarik pelan tangan Anindira. Ia membawa Anindira ke sebuah ruangan di seberang taman yang berisi lemari pakaian dan standing hanger dengan beberapa baju renang perempuan berbagai model yang tergantung di sana. "Di sini ada beberapa baju renang milik adikku. Sepertinya ukurannya sama dengan ukuranmu. Kau pilih saja yang kau suka."
Anindira memilih baju renang yang sesuai dengan seleranya lalu kembali ke kolam renang beberapa menit kemudian. Kenan sudah berada didalam air dan meminta Anindira mengikutinya. Anindira membuka piyama handuk yang dipakainya. Tubuh langsing dan kulit seputih mutiaranya yang terbalut pakaian renang—berwarna baby blue dengan potongan punggung terbuka dan berdada rendah—membuat Kenan menelan ludah dengan susah payah. Pria itu tak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Setiap lekuk tubuh Anindira begitu menggodanya sekarang.
Anindira duduk ditepi kolam. Kedua kakinya sudah berada dalam air dan mulai mengayuh. Namun, ia belum siap menceburkan dirinya ke dalam kolam tersebut. Tangannya masih mencoba menangkup air dari kolam tersebut, lalu melemparnya menjauh ke kolam dan membuat riak. Kenan mendekat padanya. Dengan cepat pria itu menarik tangan Anindira hingga ia terjerembab ke dalam kolam tanpa persiapan. Anindira berusaha mengangkat tubuhnya, namun beberapa cc air kolam itu sudah masuk ke mulut dan paru-parunya. Otomatis, itu membuat dadanya terasa sesak. Kenan menarik tubuh Anindira hingga posisi tubuh Anindira kembali berdiri. Anindira terbatuk-batuk sambil berusaha mengatur kembali napasnya. Kenan tidak menduga ia sudah membuat Anindira tersedak air kolam. Ia memeluk Anindira yang masih mengatur napasnya.
"I'm sorry." Bisikan Kenan menyapa telinga Anindira.
Anindira membenamkan wajahnya ke pelukan Kenan. Pria itu mengecup puncak kepala Anindira dan saat gadis itu mengangkat wajahnya, gairahnya seperti tersulut bara yang sedang menunggu angin untuk membuatnya semakin panas dan membara.
Wajah inilah yang selalu membuatku takut! Takut akan hal ini! Takut akan jatuh cinta! batin Kenan.
Kenan mengecup bibir Anindira dengan lembut dan ringan. Seperti tersihir sentuhan Kenan, Anindira membuka bibir dan hatinya menerima sentuhan pria itu.