Second kiss

1070 Words
Jantung Kanaya berdesir hebat. Nyaris ia tidak tahan untuk menunduk, melumat pelan bibir Jung Man yang tengah mabuk. Apa ini bisa dikategorikan sebagai serangan seksual? Tapi nyaris tidak ada paksaan di sana. Hanya sentuhan tidak sengaja. Di alam bawah sadarnya, Jung Man tiba-tiba bergerak maju, mengikuti gerakan mulut Kanaya yang secara reflek membuka. Setelah itu, jadilah sebuah ciuman tak terduga. Pipi Kanaya memerah dan lidahnya serasa terbakar hebat. Bibir yang semula hambar dan kering, berubah basah dan b*******h. Jantung gadis itu berlompatan, menekan hasrat yang semakin lama kian besar.Tapi sebelum segala sesuatunya tidak terkendali, suara dering ponsel membuat Kanaya tersentak. Menyadarkannya akan sesuatu yang salah. Bertindak secara seksual dalam keadaan tidak sadar sama saja sebuah pelecehan. Gadis itu terkejut, mendorong Jung Man hingga terbentur ke pinggiran sofa. Ajaibnya, pria itu tidak sadar walau kepalanya terantuk cukup keras. Gila!Gila! Kamu gila, Kanaya! pekiknya buru-buru pergi dari sana. Masa bodoh dengan pekerjaan. Ia harus segera pulang sebelum Jung Man sadar dan menanyainya macam-macam. Toh sudah hampir dini hari. Dalam perjanjian, minggu adalah hari libur. Salah sendiri kenapa malah berbelok ke bar, bukan ke rumah langsung. Tapi sebentar, apa Kanaya benar-benar bisa tidur nanti ? Ciuman itu seolah merenggut separuh dari kewarasannya. Begitu menyenangkan tapi serasa kotor kemudian. Sejak pertama bertemu, Kanaya selalu menghindar, tapi kini malah kegatalan. Sambil terus merutuk, Kanaya berlalu, berharap segera mendapat taksi yang akan membawanya cepat pergi dari lingkungan apartement yang sepi itu. --- Jung Man bangun dengan rasa sakit di sekujur badan. Pikirnya ia jatuh sendiri lalu teratuk hingga pingsan di lantai. Sebelumnya pernah terjadi seperti itu juga. Ia sering terkapar layaknya pemabuk kebanyakan. Tapi kali ini berbeda. Ada benjolan aneh di belakang kepala yang menimbulkan curiga. Tak biasanya ia terluka seperti itu. Penjaga apartemen bahkan terbiasa mengantarnya hingga ke pembaringan. Tentu saja karena Jung Man tergolong loyal memberi uang tip. Oh ya, tadi malam aku meninggalkan Kanaya di mobil. Apa dia pulang sendiri? Batin Jung Man mencoba mencari ingatan terakhir. Sebelum benar-benar tidak sadar, ia ingat kalau Kanaya ikut mengantar. Gadis bebal itu sempat mengeluarkan kalimat umpatan di telinga, tapi entah apa. Jung Man perlahan bergerak menuju dapur untuk mencari air minum. Tenggorokannya serasa kering mencekik lantaran tadi malam kalah taruhan kartu dengan temannya di bar. Terpaksa dua botol ditenggaknya sekaligus. Untung saja, hari ini jadwalnya kosong. Jadi tidak akan ada gangguan hingga jam sepuluh malam. Kalau managernya sampai tahu, Jung Man akan mendapat masalah dengan kontrak yang sudah ia tandatangani sendiri. "Hallo, bisa ke atas sebentar?" tanya Jung Man pada penjaga apartemen lewat sambungan telepon. Itu sudah menjadi kebiasaan lama, memberi sedikit tip sebagai tanda terima kasih. Selama ini, privasinya sebagai seorang idol benar-benar dijaga oleh pihak keamanan. Sepuluh menit kemudian, si pria penjaga datang. Jung Man menyambutnya di depan pintu dengan beberapa lembar dollar. "Apa tamu anda sudah pergi?" tanyanya tersenyum kecil. Sebenarnya itu hanya sapaan basa-basi lantaran selama ini Jung Man tidak pernah membawa siapapun ke apartemennya. "Tamu? Tidak ada," sahut Jung Man bingung. Sejak tadi ia sendirian saja. "Tadi malam ada wanita yang ikut masuk ke dalam. Matanya besar dan kulitnya agak gelap, seperti campuran Filipina." Pria itu tersenyum samar, lalu mengedarkan pandangannya ke belakang punggung Jung Man. Jung Man mengernyit, penasaran sekali. Tadi malam teman minumnya hanya laki-laki. Itupun tidak ikut mengantar. Gadis yang punya kulit coklat hanya Kanaya, tapi gadis itupun hanya meninggalkannya di sofa. Tak lama, penjaga itu akhirnya berlalu setelah mengucapkan terima kasih. "Aneh sekali, aku seperti melewatkan sesuatu," gumamnya sembari mengelus benjolan di belakang kepala. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi cukup menyakitkan. Semenit, lima menit lalu sepuluh menit. Pria itu berdiri, berusaha mengumpulkan keping ingatan yang masih berserakan. Lambat laun ia mulai ingat apa yang tengah terjadi. Ciuman yang dipikirnya mimpi, itu adalah kenyataan. Jung Man mendengkus keras lalu berteriak kencang. “Kanaya! Gadis kurang ajar itu!” pekiknya tidak terima. ___ Seakan tahu kalau sedang diumpat, Kanaya tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya. Seo Won, adiknya yang paling kecil ikut terkejut, memberi tepukan keras pada pundaknya. Mata sipitnya membeliak, kesal sekaligus lucu. Entah sejak kapan ia menunggu di tepi pembaringan dengan mata bulatnya. "Sakit!" pekik Kanaya mencubit pipi gendut Seo Won gemas. Baru tiga jam lalu bisa tidur, tapi kemudian untuk alasan tidak jelas, ia malah terbangun. "Kanaya, apa tadi malam kamu mabuk? Kenapa pulang pagi-pagi?" tanya sang ibu menyodorkan tiba-tiba muncul dari balik pintu sembari mengulurkan segelas jus. Dapur yang langsung menuju ruang makan itu terlihat berantakan. Wajar, setelah kepala keluarga tiada, sang ibu ikut bekerja. Kadang Seo Won membantu melipat baju, tapi lebih sering tidak. Selain masih kecil, ia sibuk belajar. Tidak merengek sehari saja, itu sudah anugerah. "Tidak. Aku cuma ketiduran di kantor," sahut Kanaya lesu. Ia benar-benar berharap kepalanya terantuk sesuatu lalu amnesia saja. Tapi sekeras apapun berusaha, ingatan sial itu terus muncul dan menerornya. Kanaya merasa terlalu gila memikirkan kelakuannya sendiri. Bagaimana kalau Jung Man sadar dan menuntutnya karena melakukan pelecehan seksual? Apa ia akan dipenjara nanti? Lebih dari itu, keluarganya pasti sangat kecewa dan malu. "Noona! NOONA!" Teriakan Seo Won nyaris membuat telinga Kanaya berdengung kesakitan. Ia tengah melamun dan tiba-tiba saja dikejutkan dari arah belakang. Untung gelas di tangannya tidak pecah. "Apa!" pekiknya menggerutu kencang. "Ponselmu berbunyi, tauk!" Seo Won melempar benda pipih itu ke atas sofa. Mulutnya mencembik kesal lantaran tidak dihiraukan. Itu panggilan dari Jung Man. Sebanyak lima kali dan tidak diangkat. "Kanaya! Angkat teleponmu atau matikan saja!" Ibu Kanaya ikut mengomel. Rumah mereka sempit dan satu suara bisa mengganggu segalanya. Kanaya tidak punya pilihan lain, toh lebih tidak mungkin kalau terus dihindari. "Kenapa lama sekali?" tanya Jung Man dari seberang. Secara tafsir, suaranya terdengar stabil dan baik-baik saja. Dia pasti tidak ingat, batin Kanaya sedikit lega. Tapi kenapa menelpon? "Ah, ini kan hari libur," sahut Kanaya hati-hati. Ia harus berpura-pura agar tidak dicurigai. "Apartemenku masih kotor." "Besok saya bersihkan." "Tidak sekarang saja. Aku tidak bisa tidur kalau tempatnya berantakan. Aku tunggu setengah jam dari sekarang." Kanaya bengong, mencubit lengannya. Sakit, berarti ia tidak sedang bermimpi. "Nonna, aku belikan hamburger." Seo Won keluar dari tempat persembunyiannya, sepertinya habis menguping. "Aku tidak akan kemana-mana, kok." Kanaya diam-diam menggerutu. Uang sisa gaji part timenya hampir habis. Kenapa malah minta jajan? "Eoma! Noona bolos kerja!" teriak Seo Won kencang. "Hei! Sudah diam, aku pergi!" pekik Kanaya membungkam mulut sang adik kesal. Daripada dimarahi ibunya, Kanaya lebih memilih menghadapi Jung Man. Tapi bagaimana kalau perintah bersih-bersih itu hanya umpan? Jung Man pasti punya alasan kenapa rela terus menghubungi Kanaya meski lama diangkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD