Dua hari berada di Medan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit di sana tidak mengalami kendala, juga hidupnya menjadi tenang karena Saskia tidak mengganggu kehidupannya sama sekali. Sepertinya Sasmita sudah diketemukan, jadi kakak iparnya itu sudah tidak membutuhkannya lagi.
Taxi yang membawanya dari bandara berhenti di bahu jalan depan rumah Pras. Pras turun dari sana setelah membayar ongkos taksi juga memberikan sopir itu tips; dia membuka gerbang lalu melangkah santai bukan ke pintu rumahnya melainkan melangkah menuju pintu rumah kakaknya.
Pras sungguh ingin minta makan karena ia sejak tadi siang belum makan. Lagipula ini masih jam tujuh malam, kemungkinan masih ada makanan di rumah kakaknya.
Tanpa mengetuk pintu, Pras masuk rumah Cipto dan Siska dengan santai. Dia mendapati kakak dan kakak iparnya itu tengah menikmati makan malam berdua di meja makan. “Mbak Sis, aku ikutan makan. Lapar banget perutku,” Ujar Pras santai sembari menarik kursi dan mendudukinya, tanpa mengamati mimik wajah Siska yang berubah ketika menatapnya.
“Waduh, masak enak ini Mbak Siska.” Tatapan mata Pras berbinar menatap makanan yang tersaji di depannya, dia lantai mengambil beberapa centong nasi dan lauk pauk yang di pindahkan ke piringnya.
Sejak awal kedatangan Pras, entah mengapa membuat selera makan Siska mendadak hilang. Siska cukup kecewa akan perlakuan Pras ke Sasmita dan dirinya beberapa hari lalu, dan malam ini pria itu tiba – tiba datang, seolah kemarin lusa tidak terjadi apa – apa.
Siska memilih meletakkan sendok dan memundurkan kursi hingga membuat Cipto dan Pras menatapnya. “Aku nggak selera makan, Mas. Aku ke kamar dulu, jadi aku minta tolong agar kamu yang bereskan makan malam ini.”
Cipto menghela napas lalu mengangguk, dia sudah memahami duduk permasalahan yang terjadi malam ini.
Setelah Siska sudah berada di kamar mereka di lantai atas, barulah Cipto menatap Pras yang tengah memakan makanannya seperti tanpa beban. “Kamu tau apa kesalahan kamu, Pras?” Tanya Cipto pada adiknya.
“Memangnya apa?”
Cipto menggertakkan gigi, ia menatap adik iparnya itu sedikit geram. “Sekarang cepat temui Sasmita di rumahnya dan jangan pulang sebelum kamu menyadari kesalahan kamu.”
Pras menatap kakaknya tidak terima, “Maksudnya gimana? Mas mengusir aku?”
“Ya temui Sasmita, Pras. Minta maaf sama dia!”
“Aku tidak merasa berbuat salah, Mas. Jadi buat apa aku minta maaf ke—PLAK!”
“Mas tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi pecundang, Pras. Sekarang kemasi barang – barang kamu. Sementara kamu akan tinggal di kampung halaman Sasmita, di rumah Mbakmu. Kamu bisa renungkan semua kesalahan kamu selama ini di sana dan kamu bisa membantu bapak Sasmita mengurus perkebunan.”
“Lalu bagaimana dengan perusahaan? Nggak. Aku nggak bisa meninggalkan perusahaan begitu saja!”
“Kamu pikir Mas akan menjadikan kamu ahli waris dengan kelakuan kamu yang seperti ini? Meskipun kamu adik Mas, tapi Mas lebih ridho menyerahkan perusahaan pada orang yang JAUH - JAUH lebih kompeten dari kamu.”
“MAS!”
“Habiskan makanmu, lalu kamu kemasi barang – barangmu. Norman yang nanti akan mengantarkan kamu ke Wonosobo.”
**
“Berapa jam lagi akan sampai?” Tanya Pras entah sudah ke sekian kali. Jujur saja dia amat sangat lelah sekarang; pengusiran kakaknya sendiri; juga perjalanan yang tak kunjung sampai. “Setengah jam lagi, Pak.”
“Setengah jam! Setengah jam aja terus sampai nanti!”
Pras menghempaskan punggungnya di jok belakang mobil, lalu memijat pelipisnya yang sakit.
Keluar dari jalan Tol, mobil yang mereka kendarai melaju membelah tengah kota yang tampak tidak terlalu terang. Mulai memasuki pedesaan yang kanan kiri mereka adalah persawahan, itu pun mereka belum langsung sampai ke rumah Sasmita. Hampir satu jam dari pusat tengah kota, mobil yang Norman kendarai mulai melaju di aspal yang bebatuan. Melewati beberapa rumah warga yang sederhana, sebelum berhenti di pelataran sebuah rumah yang tampak sangat sederhana menurut Pras. Dinding rumah itu masih terbuat dari kayu dan terlihat agak kuno.
Pras turun bersamaan dengan sayup – sayup suara lantunan surat pendek dari Masjid. Pria itu mengetatkan jaketnya, karena hawa dingin seperti menusuk kulit. Dia menatap Norman yang tengah menurunkan koper Pras dari dalam bagasi. “Kamu langsung balik atau istirahat dulu.”
“Saya langsung balik, Pak. Tidak apa – apa kan?” Ujar Norman takut – takut.
“Terserah kamu.” Kata Pras sembari melangkah menuju pintu. Tidak ada salam yang terucap dari bibirnya, pria itu tidak mengetuk pintu seperti adab seorang tamu, melainkan menggedor pintu kayu itu keras – keras.
Sasmita yang tengah berzikir di kamarnya sontak mengelus d**a; dia kaget tentu saja. Dia lantas beranjak keluar kamar; begitu juga Suwandi, Sarti dan Saskia. “Sapa to Pak, bertamu tapi ndak tau aturan?” Keluh Saskia. Wajah adiknya itu benar – benar seperti tengah menahan kantuk.
“Sebentar lagi subuh. Jangan tidur, Kia.” Ujar Sasmita. “Biar Mita saja yang buka, Pak.”
Sedangkan di luar Pras semakin kesal karena tidak segera dibukakan pintu. Padahal Pras ingin mandi lalu tidur.
Semakin tidak sabar. Pras menggedor pintu dengan brutal. “Iya sebentar.” Sahut suara di belakang pintu yang Pras yakini itu suara Sasmita, lalu tak lama suara kunci di putar yang Pras dengar sebelum pintu kayu itu terbuka.
“Pak Pras? Kenapa Bapak ada di sini?”
Untuk sesaat Pras terpaku pada seorang wanita yang tengah memakai mukena di hadapannya. “Pak Pras?”
Pras buru – buru mengenyahkan keterpanaannya itu dan berkata, “Saya minta kunci rumah Mbak Siska.”
“Kunci rumah Bulik?”
“Hmm, masuk saja dulu, Pak.”
Walau masih kesal pada Pras, Sasmita diajarkan Ibu tetap bersikap sopan pada tamu yang datang ke rumah. “Loh Nak, Pras.” Sapa seorang wanita paruh baya yang Pras yakini itu adalah Ibu dari Sasmita.
“Iya.. emm—mbak?”
“Panggil saja Ibu, karena sepertinya usia kamu tidak jauh beda dengan Mita.”
“Ah iya..”
“Ayo silahkan masuk – masuk.” Ujar Bapak Sasmita cukup ramah. “Kok tidak ada kabar dari Siska kalau kamu mau ke sini, Pras?”
“Memang mendadak, Pak.” Jawab Pras kikuk. “Saya mau minta kunci rumah Mbak Siska.”
“Ah kunci rumah? Tapi rumahnya belum Ibu bersihkan, Pras.”
Belum di bersihkan? Oke. Berarti rumah itu mungkin masih sangat berdebu. “Sementara saja kamu bisa istirahat di kamar Kia. Bolehkan Kia?” Tanya Suwandi pada putri bungsunya.
“Nggak bisa! Kia nggak suka kamar Kia di pakai orang asing!”
Apa tadi katanya? Orang asing? Bocah sialan! Umpat Pras dalam hati. “Nak Pras tidak mungkin tidur di kamar Mbak kamu, Kia. Hanya hari ini, Nduk.”
Dengan bibir mengerucut, Saskia mengentak kaki memasuki kamar Sasmita. “Maafkan kelakuan putri bungsu Bapak ya, Nak Pras.”
“Tidak apa – apa, Pak.”
Pras melirik Sasmita yang hanya diam di samping ibunya. “Ternyata sudah adzan subuh. Nak Pras mau salat subuh berjamaah di masjid sama bapak?”
“Hmm..” Pras menjadi salah tingkah. Salat subuh? Bah! Salat subuh saja Pras tidak pernah. “Pak Pras tidak salat subuh, Pak. Sedang halangan.”
“Halangan? Laki – laki tidak datang bulan, Mita.”
Dari tatapan mata putrinya, Suwandi baru menyadari maksud ucapan putrinya. “Ah Nak Pras bisa langsung istirahat di kamar Kia.”
Dan Pras benar – benar kesal pada setiap ucapan yang terlontar dari bibir Sasmita.
Apa katanya tadi? Datang bulan? Sialan! Sasmita sialan!