"Ah elah! Apes banget! Belum juga dapat gajian pertama, udah bokek aja. Dompetku meronta-ronta pengen di isi." Gerutu Kalma sembari berjalan keluar dari lobi.
Ini sudah sore hari, sudah waktunya pulang kerja. Di hari pertama Kalma, sedikit berbeda dari biasanya. Dia harus rela mengeluarkan uangnya, lenyap seketika hanya demi membayarkan makanan yang pada dasarnya bosnya sendiri yang meminta untuk membeli makanan itu.
Namun sayang, Kalma tidak bisa melawan lebih. Dia hanya bisa sekedar menyumpahi dan sedikit menjewer telinga pria itu hingga menjadi merah. Selebihnya, ia tidak berani melakukan hal lebih pada Arka alias si Udin.
"Awas kamu ya, Udin. Baru hari pertama aku masuk, kamu sudah buat aku kesal kayak gini. Aku gak mau kalah, besok-besok kamu yang aku bikin kesal. Gak hanya sekali, tapi berkali-kali sampai rasanya harga diri kamu sebagai pimpinan turun drastis kayak diskonan tahunan. Diskon 75 persen."
Tiiiiiiiittttttt....
"Eh, TITIT!" Latah Kalma, menyebut titit. Ia langsung membungkam mulutnya sendiri yang sudah kurang ajar menyebut hal semacam itu. Ia melihat sekitar, banyak yang melihatnya aneh.
Itu semua karena mobil yang melintas di depan gedung kantor. Pengemudinya seakan tampak sengaja membunyikan klakson dengan suara yang besar di depan Kalma.
Saat kaca mobil terbuka dan memperlihatkan senyum iblis seorang pria, sontak membuat Kalma melepas tas selempangnya, langsung melemparnya menuju mobil itu. Naas, tidak bisa masuk sempurna untuk mengenai wajah yang membuat Kalma kesal itu. Alhasil, semua isi dari tas itu berhamburan ke paving block, termasuk juga HPnya.
"Keluar lo, Udin!" Teriak Kalma.
"Cemen!" Ejek Arka.
Bukannya menuruti apa yang dikatakan Kalma, Arka malah tertawa puas nan jahat, menutup kaca mobilnya dan melaju meninggalkan area kantor.
"Awas lo! Lihat aja, besok lo nemu surat pengunduran gue di atas meja lo. Gak sudi gue punya atasan kayak lo!" Teriak Kalma, berharap Arka mendengarkannya.
Sadar dengan apa yang dikatakannya, langsung menepuk mulutnya sendiri. "Ini mulut kalo ngomong suka kelewatan. Masa iya aku mengundurkan diri, belum juga sebulan apalagi setahun. Baru sehari udah mau nyerah aja!" Gerutunya pelan.
"Tapi itu si Udin emang kayak anj--"
Sontak, Kalma memotong ucapannya sendiri. Mencoba bersabar, sembari tangannya mengelus d**a. Ia kesal, tapi itu tidak bisa memberikan hal yang lebih padanya. Hal yang bisa ia lakukan saat ini hanya satu, bersabar.
Melihat barang-barangnya yang terkapar menyedihkan di paving block. Memasang wajah cemberut, langkah yang tampak malas mendekati benda-benda miliknya. "Anak-anakku sayang. Kalian kenapa, nak? Kesandung, ya? Mabok ya?"
Memang gila! Dia menganggap barang-barang miliknya selayaknya anaknya sendiri. Bukan kesandung ataupun mabuk, tapi kamu yang tega melempar barang-barang mu sendiri dengan dalih kamu ingin membuat Arka jera, Kalma!.
Kalma memasukkan barang-barangnya satu per satu. Ada beberapa yang hancur. Seperti earphone, dimana sebelah telinganya sudah hancur menyisakan kabel di dalamnya, sedangkan sebelahnya lagi masih utuh. Hanya saja yang utuh itu tidak bisa berfungsi. Sama saja bohong, Kalma. Kamu memakainya pun tidak akan terdengar alias budeg.
"Telinga anak gue udah diamputasi dua-duanya!" Ujarnya dengan nada yang sedih pada earphone yang ia pegang kini.
Dia melihat barang-barangnya yang lain, dan ternyata barang paling berharganya juga ikutan rusak. Ponselnya retak, kayak hubungan rumah tangga para artis. Canda, artis!.
"Ya Tuhan, kenapa kamu retak, nak? Sakit hati ya? Kayak mama sama si Udin itu?" Tanya Kalma, seperti orang gila.
Namun sangat disayangkan, saat ia mencoba menghidupkan ponselnya, hanya separuh saja yang terlihat, separuhnya lagi sudah menghitam. Kalma menganga, sampai tidak percaya.
"Si Udin kutu kumpret!" Spontan ia kembali menyebut nama Arka dengan nama yang demikian.
"Padahal baru hari pertama kerja, masa harus ngeluarin banyak uang sih? Apa mungkin aku gak dibiarin pensiun sama travel blogku?"
Kalma memasukkan kembali barang-barangnya meski sudah hancur bertabrakan dengan paving blok yang keras. Beberapa kali dia menggerutu, menyalahkan Arka atas kejadian naas yang menimpanya saat ini.
Dan tiba-tiba saja, ada sebuah tangan yang terulur di depannya. Layaknya sebuah adegan romantis, Kalma menatap uluran tangan itu, kemudian naik perlahan hingga melihat wajah orang di depannya.
Sontak, wajah Kalma langsung terlihat masam.
Bukannya berakhir romantis, malah berakhir miris. Orang yang mengulurkan tangan di depannya kini adalah orang yang sudah membuat barang-barangnya hancur berkeping-keping.
"Ayo beli hp. Ganti hp lo yang jatuh itu." Ucap Arka.
"Ngapain lo sok jagoan mau nolongin gue? Mau jadi pahlawan kesorean, lo?!" Tanya Kalma, langsung nge-gas. Berteriak kencang.
"Kan gue mau tanggung jawab, ganti hp lo, Ndut." Jawab Arka, menutup telinganya akibat teriakan Kalma sebelumnya.
"Gak mau, ah. Nanti gue lagi yang disuruh bayar kayak makanan tadi."
Arka langsung mengangguk dengan cepat. "Iya. Emang bener. Lo yang pake hp, lo juga dong yang bayar. Gue kan cuman anterin sampe depan tokonya doang, gak sampe depan kasir apalagi sampai sodorin kartu gue buat bayarin lo." Jawab Arka santai.
"Tuh, kan! Makanya gue gak mau sama lo. Gue jadi semakin yakin sama keputusan gue."
"Apa?" Tanya Arka, sembari tangannya membantu Kalma memasukkan barang-barang milik si Ndut.
"Gue mau ngundurin diri!" Jawab Kalma dengan cepat.
Arka membungkam. Dia menatap Kalma yang tampak tidak mau melihatnya. Malah Kalma lebih memilih melihat ke arah lain, daripada pria di depannya kini yang notabennya atasannya sendiri.
"Yaudah, gue yang bayarin lo." Putus Arka.
Kalma langsung mendelik curiga. "Kerasukan lo? Tadi nolak, sekarang mau. Aneh banget si Udin kutu kumpret!" Kalma masih bicara dengan nada yang kesal.
Bukannya menjawab, Arka malah mengambil dompetnya di saku belakang celananya dan mengambil sebuah kartu yang kemudian ia sodorkan kembali pada Kalma. Anehnya, tangan Kalma menerima benda tipis itu dengan sangat cepat.
"Kenapa lo ngasih gue kartu?"
"Sebagai bukti gue yang bayarin lo. Dan untuk mengganti tagihan makanan tadi, lo boleh deh beli barang-barang lain." Jawab Arka.
Jackpot!
Kalma merasa menang. Di tangannya kini, ada harta berharga milik pria yang menjadi musuhnya. Ia bisa membeli apapun dengan kartu ini.
"Gue beli cemilan sekotak, bisa?" Tanya Kalma.
"Bisa."
"Beli tas?"
"Boleh."
"Beli sepatu?"
"Asal pas di kaki lo yang gendut itu, boleh aja sih, Ndut."
Kalma terkaget-kaget. Dia tidak menyangka kalau Arka akan seperti ini kepadanya.
"Gue beli rumah, bisa? Lelah gue bayar kontrakan terus."
Arka tidak langsung menjawab. Dia menahan tawanya. "Lo jual diri dulu sama gue, baru gue kasih rumah gue." Jawab Arka.
Kalma sontak menoyor kepala Arka. "Itu mah nikah, bego!"
"Hayuk!" Ajak Arka.
"Apa?" Tanya Kalma.
Arka menjawab, "nikah."
"Dih, amit-amit jabang bayi!"