6. Kencan?

2168 Words
Aku menolak syarat dari Mas Fendi. Yang benar saja! Pergi seharian dengannya? Tidak mungkin aku mau. Perkara maafku belum dia terima, aku akan mencari cara lain. Pagi-pagi, aku sudah pergi ke kamar Vina. Aku mengajaknya keluar, dan ternyata dia sudah ada janji dengan Kak Alan. Segala rayuanku tidak mempan. Dia malah dengan santainya bilang ingin menjalankan misi. Entah misi apa yang sebenarnya dia maksud. Kini, aku masih merebah di kamar. Aku belum mandi, tetapi sudah sarapan. Sejak tadi aku hanya berguling-guling di atas kasur. Aku badmood, karena bisa dipastikan hari ini akan kuhabiskan dengan tidak jelas. “Sisil!” tiba-tiba, terdengar suara laki-laki. Itu jelas suara Mas Fendi. Aku mulai familiar dengan suaranya “Sil! Saya tahu kamu lagi di kamar. Keluar ke belakang sebentar! Cepat!” Ini orang juga mendadak tidak jelas. Dia bilang sudah berkali-kali ke Korea, tetapi kenapa dia justru terlihat sangat excited untuk keluar? Bahkan kurasa dia lebih bersemangat daripada aku yang notabene baru pertama kali. Bukankah ini agak aneh? Untuk orang yang mengaku sudah bosan ke Korea, terutama Seoul, aturan dia habiskan dengan berdiam diri di kamar. Nonton film, misalnya. Atau bermain game. Atau bisa juga tidur dan istirahat sepanjang hari. “Apa, Mas?” tanyaku begitu keluar dan menatap ke arah balkon kamar Mas Fendi. Kini, dia berdiri di dekat pembatas yang menghadap ke kamarku. “Keputusan saya tetap sama. Saya enggak mau! Apalagi seharian penuh. No!” “Kenapa enggak mau?” “Ya kenapa harus mau?” “Kamu bilang, ini pertama kalinya ke Korea. Kemarin kamu juga sempat bilang kalau ingin memanfaatkan waktu selama di sini. Tapi pada kenyataanya, kamu malah lebih memilih hanya berdiam diri di hotel. Kamu yakin menolak ajakan saya?” Mata Mas Fendi menyipit. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Apa kamu memikirkan hal lain?” “Sekarang saya balik. Katanya sudah bosan di Korea? Kenapa semangat sekali pergi keluar? Kenapa sampai memaksa saya harus ikut? Apa Mas Fendi ada maksud lain?” Dia malah tersenyum. “Kalau memang ada, bagaimana?” Mataku mengerjap. “Maksudnya apa?” “Sebenarnya ini bukan saatnya kamu bertanya, Sil. Tapi baiklah, saya akan jawab dulu pertanyaanmu barusan. Saya mengajakmu keluar atas permintaan Alan. Dia berkali-kali menekankan kalau kamu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ini sama dengan apa yang sempat kamu singgung kemarin. Vina juga terus menyalahkannya karena dia membuat Vina tidak bisa menemanimu selama di sini. Selain itu, seperti yang sudah saya bilang, uang ganti rugi dari Alan itu besar. Jangan membuat saya memakan gaji buta.” “Tapi ...” rasanya aku tak kuasa melanjutkan kalimatku. “Kamu beneran masih malu soal kemarin malam?” Aku diam. Diam artinya iya. Harusnya Mas Fendi tahu itu. “Kalau kamu masih malu, itu agak tidak masuk akal. Saya sudah bilang kalau saya maklum. Lalu alasan apa yang membuatmu masih malu?” “Oke, lupakan dulu soal malu. Tapi apa harus ngajak saya keluar seharian? Benar-benar seharian? Itu rawan bikin saya salah paham juga.” Aku melirih di ujung kalimatku. “Ah, kamu mengira saya sedang mendekatimu?” “Enggak! Enggak gitu! Siapa yang bilang?” “Tapi bagaimana kalau ternyata memang iya?” Mataku melebar. “M-mas—“ “Saya bercanda, Sil. Kamu ini terlalu serius dari kemarin.” Mas Fendi menatap jalan raya sebentar, lalu menatapku lagi. “Kalau saya bilang ingin berteman denganmu, apa masih membuatmu salah paham juga?” Kini, suara Mas Fendi merendah. Intonasinya juga terdengar serius. “Kamu tahu sendiri tentang Alan dan Vina. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti akan terus terlibat. Saya hanya merasa, bagus kalau kita berteman. Tapi kalau tiap usaha yang saya lakukan demi bisa dekat denganmu diartikan lebih, ya sudah. Mau gimana lagi—“ “Enggak gitu, ya! Pede amat!” Mas Fendi tersenyum. “Lalu? Kamu masih mau menolak ajakan saya?” “Mau ke mana emang?” tanyaku akhirnya, masih ragu-ragu. “Alan bilang, kamu ingin sekali ke Namsan Tower dengan Vina. Tapi gagal karena Vina sudah dia culik sejak awal. Dia tahu tentang ini karena Vina terus mengomelinya. Kamu yakin tidak mau ke sana? Lalu, kamu tidak mau membeli oleh-oleh untuk keluargamu di rumah? Atau kalau kamu ada keinginan, bilang saja. Saya menawarkan ini karena saya sudah menjelajahi kota Seoul. Saya juga tidak ada kegiatan di hotel. Kamu mau atau tidak, saya tetap keluar. Tapi kalau kamu mau, setidaknya saya ada tujuan yang lebih pasti. Bukan hanya keliling tanpa tujuan yang jelas.” Apa beberapa hari ini aku saja yang terlalu berlebihan? Terlalu merasa canggung dan berpikir yang tidak-tidak, padahal yang sebenarnya terjadi tidak demikian? Apa Mas Fendi benar-benar ingin dekat denganku sebagai teman? Lagi pula, Vina ini aneh. Dia mengomeli Mas Alan karena membuatnya tidak bisa menemaniku, tetapi tadi pagi dia malah menolak ajakanku. Sungguh tak sinkron! “Gimana?” tanya Mas Fendi lagi. “Maafin saya dulu untuk yang kemarin. Saya enggak bisa pergi dengan orang yang bahkan belum maafin saya.” Mas Fendi tertawa pelan, dan demi apa pun, itu menambah kadar ketampanannya. Harus kuakui, dia memang tampan. Aku sudah menyadari ini sejak awal, tepatnya sejak dia membuka masker di pesawat. “Saya sudah maafin kamu, Sil. Kamu tenang saja.” “Terus, mobilnya apa sudah bersih? Biayanya berapa? Saya saja yang bayar. Kan jadi kotor juga karena saya. Sekalian biaya laundry jaket sama sepatu.” “Tidak perlu—“ “Kalau memang mau berteman, harus mau, Mas. Bukankah pertemanan harusnya saling tahu diri?” Mas Fendi menatapku lurus sesaat, lalu mengangguk. “Baiklah. Nanti saya kirim nomor rekening. Saya menolak cash.” “Oke.” “Jadi ... kamu mau, kan?” Kali ini aku langsung tersenyum dan mengangguk tanpa ragu. “Iya. Tapi saya mau mandi dan siap-siap dulu.” Mas Fendi melirik arloji di tangannya. “Ini baru jam setengah sepuluh. Jam sepuluh cukup? Atau jam setengah sebelas?” “Ambil tengah-tengah. Jam sepuluh lima belas. Saya janji jam segitu sudah siap.” Mas Fendi megangguk. “Oke. Saya tunggu.” *** Aku termangu cukup lama ketika Mas Fendi menghentikan mobilnya di area taman hiburan. Kalau tidak salah, namanya Lotte World. Aku sama sekali tidak menyangka kalau lokasi yang pertama kali kami kunjungi adalah tempat ini. Lotte World ini semacam Dufan kalau di Jakarta. Kalau soal kelengkapan wahana, aku kurang tahu. Aku ke Dufan baru sekali, sedangkan ke Lotte World baru kali ini. “Kenapa diam, Sil? Ayo, turun!” suara Mas Fendi memecah keheningan. Sejak di perjalanan tadi, kami banyak diamnya. Kalaupun harus ngobrol, belum terlalu banyak. Sekat di antara kami masih cukup tebal. “Kita akan masuk ke sini beneran?” “Jadi enggak mau? Tadi kamu bilang terserah, yang penting seru.” “B-bukan, bukan gitu. Saya senang aja, cuma ...” aku malu mengatakan kalau budget-ku terbatas. Aku tidak tahu berapa tiketnya, dan aku juga tidak tahu apakah tiap ingin naik wahana tertentu harus bayar lagi atau tidak. Bukan apa-apa, ini akhir bulan. Belum lagi, aku juga sedang menghemat karena aku baru saja mengirim banyak uang ke rumah. Namun, bukan berarti aku tidak mau menghabiskan uang selama di sini. Hanya saja, aku sengaja mencari tempat wisata yang lokasinya tidak akan memakan banyak biaya. “Cuma apa?” Akhirnya aku menggeleng. “Enggak papa. Ayo, masuk!” Aku turun dari mobil, lalu berjalan ke arah loket pertiketan. Namun, Mas Fendi sudah lebih dulu menarik lengan bajuku. “Kenapa, Mas?” tanyaku bingung. “Tidak perlu ke sana. Saya sudah pesan tiket online karena lebih praktis. Kita tinggal registrasi di sana. Online dan offline terpisah.” “A-ah, oke. Biayanya habis berapa, Mas?” “Lupakan itu.” “Enggak bisa gitu, dong!” “Kamu tenang saja. Alan bertanggung jawab atas ini.” “M-mas Alan yang bayar?” Bukannya menjawab, Mas Fendi malah meninggalkanku. Dia benar-benar langsung mengurus registrasi masuk dan mengabaikan pertanyaanku. “Sisil, cepat ke sini!” dia melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku cepat menyusulnya. “Iya, iya!” Sebentar ... masa iya, Kak Alan sampai segininya? Aku tahu, dia memang orangnya bertanggung jawab. Tapi bukannya dia sudah ganti rugi? Kenapa masih membayarkan tiket? Atau aku salah paham dengan kata ‘bertanggung jawab’ yang Mas Fendi sebutkan? Ah, entahlah! “Tiketnya sudah all in, jadi mau naik apa saja sudah gratis.” Aku mengangguk. “Oke.” Begitu masuk, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagiaku. Sejak dulu, aku selalu suka taman hiburan. Aku bisa bermain dan menghilangkan penat di sini. “Wahana apa yang pertama kali mau kamu coba?” “Tunggu dulu.” “Di sini ada yang indoor, ada juga yang outdoor.” “Saya pengen yang outdoor dulu.” “Oke.” Aku jalan mendahului Mas Fendi sembari mengedarkan pandangan. Duh, rasa-rasanya ingin kunaiki semuanya. “Masih bingung juga, Sil?” tanya Mas Fendi karena aku tak kunjung memberi keputusan. “Jujur, saya pengen semuanya!” Mas Fendi tertawa. “Kalau semua tidak akan cukup. Kecuali kamu tidak lapar dan mau stay di sini sampai tutup.” “Benar juga. Lagian saya cuma bercanda.” Aku nyengir. “Saya kayaknya mau coba roller coaster. Mas Fendi mau?” “Oke. Ide bagus. Itu namanya atlantis.” Kami langsung mengantri di area wahana roller coaster. Aku mengeratkan jaket berulang kali karena suhu udara benar-benar dingin. Padahal, bulan Desember jelas belum puncak. Kudengar, tempat ini paling ramai kalau sedang liburan musim panas. Setelah mengantri dan datang giliran kami, kami langsung naik. Mas Fendi naik lebih dulu kemudian menarikku. Belum-belum, aku sudah sangat excited. Jujur saja, ini pertama kalinya aku naik wahana ini. Dulu di Dufan aku tidak naik wahana ini karena Vina memiliki trauma. Sebagai gantinya, kami naik kora-kora. Belum sempat roller coaster mulai jalan, dua orang yang duduk di depanku membuatku speechless. Mereka dengan santainya ngobrol sambil sesekali mengecup bibir satu sama lain. Sepertinya, mereka orang lokal. Percayalah, melihat orang ciuman di TV dan di real life itu raanya sangat berbeda. “Dih! Bukannya berhenti, malah lanjut!” “Ehm!” Mas Fendi akhirnya berdehem keras. Deheman itu sukses membuat sejoli ini menghentikan aksinya. Baiklah, di Korea mungkin sudah biasa, tetapi harusnya tidak begini juga. Mereka bisa mencari tempat yang sedikit lebih sepi, bukannya malah di taman hiburan seperti ini. “Dasar, enggak tahu malu!” aku berani bilang begini karena mereka toh tidak akan paham dengan kalimatku. “Prinsip mereka asal tidak merugikan orang lain, mungkin.” Mas Fendi menyahut. “Tapi kan bukannya orang sini masih kental dengan budaya timur, ya, Mas? Contoh, manggil yang lebih tua ada caranya. Sopan santun masih ditegakkan banget.” “Bagian itu, memang. Bahkan ada beberapa aspek yang mereka lebih strict daripada kita. Cuma bagian pergaulan, di sini jauh lebih bebas. Bahkan kayaknya aborsi dilegalkan. Atau minimal, bukan hal yang tabu lagi.” “Serius? Aborsi? Literally, bunuh bayi?” “Iya, tapi saya kurang yakin. Coba kamu cek google. Tapi yang jelas, di sini pergaulannya mirip orang barat.” “Ah ... gitu.” Aku manggut-manggut. “Pantesan enggak punya malu ciuman di tempat umum gini. Sebenarnya saya cukup tahu lewat drama, tapi saya kira itu hanya keperluan syuting.” “Tergantung orangnya, mungkin. Orang sini juga banyak yang tidak percaya Tuhan, Sil. Alias atheis. Tapi yang taat juga banyak.” “Paling banyak pemeluk agama apa di sini?” “Saya tidak yakin, tapi sepertinya antara Kristen Protestan dan Budha. Lalu dilanjut Katolik.” “Soal kepercayaan memang masing-masing, cuma saya masih enggak habis pikir dengan orang-orang yang enggak percaya adanya Tuhan.” “Biasanya orang-orang itu adalah orang yang terlalu mengangungkan sains dan logika. Bagaimanapun, kadang-kadang kalau bicara Ketuhanan, ada titik-titik tertentu yang tidak bisa dimasukkan ke akal.” “Hm ... betul-betul! Penjelasan yang sangat bisa diterima.” “Ngobrolnya cukup, ya. Sebentar lagi mulai jalan.” Aku nyengir. “Iya, Mas.” Akhirnya, wahana roller coaster mulai jalan. Awalnya pelan, lalu mulai cepat. Masih normal, dan belum memacu adrenalin. Namun, begitu melambat ketika naik ke tanjakan pertama kali, turunnya langsung melesat cepat. Teriakan demi teriakan tak terelakkan lagi. Termasuk aku. Aku pun ikut teriak tiap kali roller coaster menaiki area-area yang agak ekstrem. Di sebelahku Mas Fendi tidak berteriak sama sekali. Antara dia yang sudah terbiasa, atau memang dia orangnya tak terlalu bereaksi pada suatu hal. “Ah ... akhirnya selesai.” Suaraku agak serak dan napasku sedikit terengah-engah begitu wahana berhenti. Aku dan Mas Fendi langsung turun karena harus bergantian dengan yang lain. “Suaramu sampai serak, Sil.” “Banyak banget teriak soalnya.” Aku terkekeh. “Tapi saya masih ingin yang lain.” “Oke. Hari ini saya ikut kamu.” Baru saja aku hendak jalan lebih dulu, aku sudah berhenti. Aku balik badan, lalu menatap turun ke bawah. Tepatnya ke arah tanganku yang menggenggam erat tangan Mas Fendi. Mataku melebar. “M-maaf, Mas, Maaf!” Aku melepaskan tanganku, tetapi oleh Mas Fendi langsung ditahan. Tidak cukup sampai di situ, kini dia bahkan menyela-nyela jemari kami. Harusnya aku menepisnya, tetapi yang ada justru aku membiarkannya. Kenapa, aku ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD