Aku terbangun dengan kepala yang terasa seperti akan meledak. Peningnya bukan main, sampai-sampai d**a rasanya sesak. Badanku juga gerah dan pergerakanku sangat terbatas. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat ini.
“Aduh, kepalaku ...”
Aku mengerjapkan mata. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit-langit warna cream. Itu artinya, saat ini aku sedang berada di kamar. Aku mengedarkan pandangan, dan memang benar, aku berada di kamarku sendiri. Maksudku, kamar hotel yang kuinapi selama di Seoul.
“Aduuuh! Kepalakuuu!” kedua tanganku kutarik dari dalam selimut. Kupijit peilipis dan pangkal hidung bergantian. “Jam berapa sekarang?”
Aku celingukan mencari ponsel. Ternyata, benda itu tergeletak di samping tasku. Keduanya berada di atas nakas. “Jam dua pagi. Masih terlalu dini.”
Aku merebah lagi. Kepalaku masih terasa berputar-putar, perutku juga rasanya diaduk-aduk. Aku seperti ingin muntah, tetapi masih bisa kutahan.
“Kok jadi kaya gini, sih? Kenapa, aku ini?”
Napasku terengah-engah. Aku melepas jaket tebalku, menyisakan kaos panjang yang kupakai di dalam. Aku turun sebentar untuk mengambil air minum.
“Ah! Leganya.” Tenggorokanku juga terasa kering dan sakit. Kondisi tubuhku benar-benar kacau.
Aku duduk termenung. Napasku masih saja terengah-engah. Kepala jangan ditanya, rasa peningnya belum berkurang sedikit pun.
“Ini aku kenapa, sih?” Aku menggumam lagi. “Kok jadi aneh gini?”
Saat ini kepalaku sedang sulit diajak berpikir. Alhasil, aku naik lagi ke atas ranjang dan kembali masuk ke dalam selimut. Aku yang sempat merasa gerah, kini kembali kedinginan.
Sepertinya aku harus tidur lagi. Aku harap, ketika bangun nanti, aku merasa jauh lebih baik. Aku juga berharap, pening di kepalaku lekas pergi. Besok aku masih ada meeting penting. Aku tidak boleh kurang stamina.
Setelah bertengkar dengan pikiran sendiri, aku kembali terlelap. Sayup-sayup, ingatan-ingatan random dan aneh mulai bermunculan di otakku. Semoga, ingatan ini hanya mimpi belaka. Kalau sampai nyata, sepertinya aku harus bersembunyi di ujung dunia.
***
Aku merasa jauh lebih baik setelah muntah-muntah tak keruan. Perutku terasa lebih lega, kepalaku pun jauh lebih enteng. Aku merasa seperti ada berton-ton makanan yang keluar dari perutku. Oke, ini berlebihan, tetapi aku benar-benar merasa telah mengeluarkan segala yang ada di dalamnya.
Bangun kali ini aku masih bingung. Aku belum sempat mencerna lebih banyak karena tiba-tiba mual dan akhirnya muntah-muntah. Sungguh! Berada dalam kebingungan membuatku jengkel pada diri sendiri. Aku seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa.
“Tenangkan diri dulu, Sil. Tenang ...” aku menarik napas panjang berulang kali. “Ingat semuanya pelan-pelan.”
Saat ini aku sedang duduk di sudut ranjang. Napasku sudah mulai teratur. Kesadaranku juga mulai penuh. Aku akan mulai mengingat apa saja yang terjadi padaku semalam.
“Semalam aku pergi keluar sama Mas Fendi. Kami makan samgyetang, aku enggak habis karena nangis. Habis nangis, aku diajak ke stand makanan, terus dibeliin churros. Habis itu, aku haus dan beli minuman. Mas Fendi ngabarin kalau dia ada urusan mendadak dan aku disuruh nunggu. Terus ....”
Di sinilah, aku tiba-tiba tidak mengingat apa pun. Atau lebih tepatnya, ada bayangan-bayangan aneh yang sepertinya tidak mungkin kulakukan. Bayangan-bayangan tumpang tindih yang tak kutahu bagaimana runtutannya.
“Sil! Kamu mabuk?”
“Putra, kenapa kamu di sini?”
“Kamu ambil minum sembarangan? Kan sudah saya bilang, minuman kemasan di sini banyak yang mengandung alkohol! Milihnya harus hati-hati!”
“Jangan marah-marah! Yang sopan sama mbakmu! Nanti enggak kukirim uang lagi!”
“Put, sejak kapan kamu jadi setinggi ini? Terus sejak kapan kamu jadi seganteng ini? Eh, tapi adikku emang ganteng! Aku mengakui itu. Wajar ... kan Mbakmu iki yo cantik!”
“Kamu beneran mabuk berat, Sil.”
“Kok mabuk, sih? Enggak! Aku enggak mabuk!”
“Lain kali lebih berhati-hatilah. Bagaimanapun, saya tetaplah laki-laki ...”
Penggalan-penggalan kalimat itu datang bertabrakan tidak jelas. Kepalaku kini kembali pening.
“Yang itu maksudnya apa? Bentar, bentar ...”
Pelan pelan aku mencoba mengingat urutannya. Semakin ingat, semakin aku menutup mulut. “Hah! Jadi semalam aku mabuk dan ngomong ngaco ke Mas Fendi? Sisiiil! Kamu beneran udah gilaaa! Gila banget!” kini aku mulai memukuli ranjang sekeras yang kubisa. “Mau ditaruh mana mukamu nanti kalau ketemu Mas Fendi!!!”
Satu hal yang aku ingat dengan jelas, aku menyebutnya Putra dan memujinya tampan! Bukan main memalukannya! Aku harap, tidak ada hal yang lebih memalukan lainnya.
“Bodoh banget kamu, Sil! Udah dikasih tahu jangan asal ambil minum, malah enggak didengerin. Ini Korea, bukan Indonesia!” aku masih terus memukul-mukul ranjang karena gemas dengan diri sendiri. Baru kali ini aku merasa sebodoh dan seceroboh ini. Mana sangat fatal!
“Bapak, Ibu, maafin anakmu ini yang udah pernah mabuk. Ya Allah, maafin hamba-Mu yang bodoh dan ceroboh ini. Saya berjanji enggak akan mengulangi lagi!” tak henti-hentinya aku bermonolog minta maaf.
Setidaknya ada sepuluh menit aku hanya meratapi dan merenungi kelalaianku. Air mataku bahkan sampai keluar. Aku sedih, malu, dan merasa bersalah di saat bersamaan.
“Oke, cukup dulu. Aku harus mandi. Nyonyah besar minta jam delapan aku harus udah naik ke kamarnya.”
Hari kedua agaknya lebih santai. Vina tidak lagi memintaku untuk datang jam enam seperti kemarin. Barangkali dia juga pulang malam, jadi dia ingin tidur lebih lama. Yang jelas, aku harus merahasiakan kejadian ini darinya. Dia dan Kak Alan tidak boleh tahu.
***
Hari ini perutku benar-benar tidak enak. Meski sudah diisi makanan, beberapa kali masih bunyi. Untungnya pelan, jadi tidak ada orang lain yang mendengarnya.
Misi di Korea akhirnya selesai sudah. Vina tampaknya sudah pasrah, aku pun lebih lagi. Namun, entah kenapa aku yakin Kak Alan akan mimilih kami. Pasalnya, ini bisa menjadi ajang agar dia lebih dekat dengan Vina. Dia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan. Apalagi, presentasi Vina juga cukup meyakinkan. Bahkan pihak agensi juga beberapa kali sampai memberi tepuk tangan.
“Sil, kayaknya kamu dari tadi bolak-balik megangin perut? Bukannya haidmu udah akhir-akhir, ya?” tanya Vina tepat setelah pihak agensi keluar ruangan.
“Ini hari kelima. Cuma kan aku emang lama haidnya. Sama itu, Nyah, kayaknya aku kembung. Masuk angin, mungkin?” Aku sengaja menjawab pertanyaan Vina dengan jawaban yang aman agar tak menimbulkan pertanyaan baru.
“Udah minum obat, tapi?”
Aku mengangguk. “Udah, kok.”
“Ya udah. Ayo, keluar.”
“Oke.”
Ngomong-ngomong, sejak tadi aku mengindari menatap Mas Fendi. Sudah malu gara-gara di pesawat, masih harus lebih malu lagi gara-gara semalam. Ingin rasanya aku kabur sejauh-jauhnya dan tidak menampakkan wajah lagi di depannya.
Baru saja aku dan Vina keluar, Vina sudah dipanggil seseorang. Ternyata Pak Erik, CEO perusahaan sebelah, yakni Ancala. Dia ke Korea juga untuk mendapatkan proyek ini.
Selama Vina diajak bicara, aku tidak begitu konsen mendengarkan. Perutku benar-benar terasa tidak nyaman. Aku hanya menyenggolnya beberapa kali ketika akhirnya CEO satu ini minta nomornya. Sahabatku ini memang mudah sekali disukai lawan jenis. Aku tidak heran lagi.
Namun, belum sempat Vina memberikan nomor, Kak Alan datang bersama Mas Fendi. Aku langsung memalingkan pandangan. Pokoknya aku enggan menatapnya.
“Ada apa ramai-ramai di sini?” tanya Kak Alan dengan nada yang lantang.
“Tidak ada apa-apa, Pak Alan.” Pak Erik menjawab ramah. Berikutnya, dia malah tersenyum pada Vina, seolah mengode kalau dia masih ingin mendapatkan nomor. Di luar dugaan, Vina lanjut meladeninya.
Duh! Bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat!
Benar saja, setelah Pak Erik pergi, Kak Alan dan Vina langsung berdebat. Kak Alan bahkan langsung menarik Vina menjauh. Cemburunya benar-benar kelihatan.
“Sil ...”
“Hah?” Aku hampir saja melupakan Mas Fendi. “K-kenapa, Mas?” aku tersenyum. Berusaha berakting seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
“Sejak tadi kamu bolak-balik memegangi perutmu.”
“Oh, ini baik-baik saja, kok. Cuma sakit dikit.”
“Perutmu kaget karena kemasukan alkohol.”
Aku memejamkan mata. Aku malu, sangat malu!
“Bisakah jangan bahas yang semalam?” tanyaku pelan. “Saya malu. Malu banget.” Aku menunduk.
“Kenapa malu? Saya maklum karena kamu dalam pengaruh alkohol.”
“Tolong jangan bilang Vina dan Kak Alan, ya, Mas? Please, ini rahasia kita.” Aku menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajah. Aku betul-betul memohon padanya.
“Oke.”
“Terima kasih.”
Tiba-tiba, Mas Fendi tersenyum. Kalau biasa saja, aku akan diam. Masalahnya, senyumnya terlihat aneh. Mungkin setengah meledek.
“Kenapa senyum-senyum gitu?”
“Enggak. Saya hanya ingat apa yang kamu lakukan semalam—“
“Mas, please lupain yang semalam. Itu bukan saya.” Padahal aku hanya ingat sebagian, itu saja sudah membuatku sangat malu. Aku takutnya ada yang lebih memalukan lagi.
“Terus kalau bukan kamu, siapa?”
“Ya intinya bukan saya.”
“Sekarang saya tanya kamu. Memangnya kamu enggak ngerasa aneh dengan minumannya? Kenapa sampai habis dua botol?”
“Rasanya enggak aneh sama sekali. Malah enak, segar juga, macam minuman soda biasa. Cuma agak pait dikit, tapi juga ada manisnya. Saya enggak mikir sedikit pun kalau itu mengandung alkohol.”
“Itu artinya, nasihat saya enggak kamu dengar—“
“Lupa, Mas. Saya keburu haus. Kemasannya juga lucu, jadi saya ambil.”
“Tapi ya sudah, tidak apa-apa. Saya jadi tahu kamu versi berbeda—“
“Mas Fendi! Sudah saya bilang, itu bukan saya.”
“Lalu siapa?”
“Eh, bentar.” Tiba-tiba saja, aku melihat leher kiri Mas Fendi terdapat plaster warna coklat. “Lehernya kenapa?”
“I-ini?” Mas Fendi malah menarik kerahnya ke atas. “Ini cuma koyo. Leher saya pegal karena salah posisi tid—“
“Sil, ayo pulang!” Kalimat Mas Fendi terputus ketika Vina tiba-tiba kembali dan langsung membawaku pergi. Dia kembali dengan mimik muka marah. Bisa dipastikan, dia dan Kak Alan bertengkar. Ya, itu bukan urusanku. Biar mereka selesaikan sendiri. Untuk saat ini, aku sedang tidak ingin peduli dengan mereka. Masalahku justru lebih pelik.
Sebelum lift tertutup, mataku dan Mas Fendi sempat bersitatap. Hanya sepersekian detik, tetapi sukses membuatku melengos karena berdebar.
***
Malam ini Vina mengajakku keluar. Sepertinya dia memang sedang perang dingin dengan Kak Alan. Aku jelas senang saja karena justru inilah yang kuinginkan. Maksudku, aku bisa keluar dengannya. Tidak perlu keluar sendiri, apalagi dengan Mas Fendi.
Aku minta Vina mengajakku ke tempat makan samgyetang. Ini karena kemarin aku tidak jadi menikmati makanan itu. Aku bahkan agak lupa rasa real-nya seperti apa. Saking baru sebentarnya aku makan, lalu ditelepon Ibu, dan berujung seleraku hilang.
Selama di sana, aku hanya meladeni Vina yang menyumpah serapah soal Kak Alan, bahkan sampai mengatainya siluman. Terserah dia sajalah. Sejak awal dia memang sudah memiliki sentimen tersendiri. Justru aku menjadi pihak yang cenderung membela Kak Alan. Tentu saja kubuat dengan nada bercanda karena aku tidak ingin dia tahu tentang kerja samaku.
Setelah selesai makan samgyetang, Vina mengantarku pulang ke hotel. Sepertinya dia sedang ingin sendiri, jadi aku menghargainya. Sesampainya di hotel, aku tidak langsung ke kamar, melainkan pergi ke kafetaria dekat lobi. Dilihat dari harga-harganya, masih masuk akal. Tidak terlalu mahal.
Karena tidak ingin mabuk untuk yang kedua kalinya, aku hanya pesan air mineral untuk minum. Untuk yang lain, aku pesan kentang goreng dan teokbokki. Meski sudah makan, perutku masih cukup untuk menampung semua makanan ini.
“Semalam gimana, ya, ceritanya Mas Fendi bawa aku masuk ke kamar?” aku menggumam sendiri. Aku berusaha mengingat-ingat, tetapi gagal. Aku tidak ingat apa pun lagi selain penggalan-penggalan kalimat yang kuingat tadi pagi.
Tadi saat aku berangkat, cardlock kamarku masih di tas. Besar kemungkinan Mas Fendi mengambilnya sebentar untuk membuka puntu lalu memasukkannya kembali. Sepertinya juga tidak terjadi apa-apa di antara kami karena aku masih berpakaian lengkap. Bahkan jaket tebalku pun masih menempel.
Di sini bukan maksud aku berharap Mas Fendi berbuat macam-macam padaku. Jelas tidak! justru yang kutakutkan adalah diriku sendiri. Aku yang mabuk bisa saja berbuat sembrono dan lepas kendali. Bagaimanapun, kesadaranku hilang total.
“Ck! Ah, bodoamatl-ah!”
Ketika aku sedang meraup wajah berulang kali, tiba-tiba di depanku sudah ada secangkir coklat panas yang masih mengepul. Aku refleks mendongak, ternyata orang yang sedang kupikirkan medadak muncul. Dia berdiri menjulang di sampingku.
“Itu coklat, tidak mengandung alkohol.”
Aku cemberut. Dia mengungkit lagi!
“Bisa atau enggak, jangan bahas yang kemarin malam? Kan tadi udah saya bilang.”
“Bagaimana keadaan perutmu sekarang?” bukannya menjawab, Mas Fendi malah balik bertanya. Dia juga kini duduk di sampingku.
“Membaik.”
Mas Fendi merogoh saku mantelnya, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil seperti sirup. “Itu obat. Kalau perutmu masih belum enak juga, minum itu setelah makan.”
“A-ah, iya ... makasih.” Aku menerima benda itu, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket.
“Tadi bukannya kamu keluar dengan Vina? Kenapa malah di sini sendirian?”
“Dia kayaknya lagi butuh sendiri. Kalau dia badmood, maksa main juga enggak enak. Lebih baik saya balik hotel.”
Mas Fendi manggut-manggut. Malam ini dia tidak mengenakan syal seperti kemarin. Sebagai gantinya, dia mengenakan baju turtleneck.
“Mas Fendi sendiri kenapa malah di sini? Enggak keluar sama Kak Alan?”
“Saya? Menyengaja keluar berdua dengan Alan? Apalagi tanpa alasan yang jelas?” Mas Fendi tiba-tiba bergidik. “Tidak akan pernah.”
Entah kenapa, aku langsung tertawa. “Kenapa, memangnya? Lagian sekarang lagi jamannya bromance. Enggak langsung dikaitkan sama kaum pelangi, kok.”
“Tetap enggak! Laki-laki berbeda dengan perempuan, Sil. Saya ambil contoh. Kamu mau bergandengan tangan, bahkan berpelukan dengan Vina, itu terlihat normal. Coba kalau kamu lihat saya dan Alan bergandengan tangan. Apa kamu masih bisa berpikir kami normal?”
Seketika aku terdiam. “Benar juga. Enggak normal sama sekali.”
Mas Fendi menyeruput coklat panasnya, membuatku refleks mengikutinya. Mumpung masih hangat, belum berubah menjadi dingin.
“Oh, iya. Kentang goreng, Mas. Ini bukan sisa. Saya belum makan sedikit pun.”
Mas Fendi langsung mengambil satu potong dan mengigitnya. “Terima kasih.”
Hening.
Kami diam, kompak menatap pemandangan di luar jendela. Meski kafetaria ada di lantai satu, tetapi lokasinya lebih tinggi dari jalan raya. Jadi, pemandangan di depan sana bisa kami saksikan dengan jelas.
“Ngomong-ngomong, mobil yang semalam apa kabar, Mas?” aku mencoba memecah keheningan, sekaligus mengubah topik obrolan.
“Diganti, daripada kena masalah. Ternyata pajaknya sudah telat.”
“Ah, gitu. Terus sekarang yang baru di mana? Itu sewa, kan?”
“Iya, sewa. Sekarang masih di pencucian mobil.”
“He?” aku menoleh. “Kenapa dicuci? Jangan bilang, saya ...” rasanya aku tak kuat melanjutkan kalimatku. “Saya muntah di mobil?”
“Dan di jaket serta sepatu saya.”
Mataku mendelik sempurna. “Mas Fendiii, saya minta maaf! Saya minta maaf banget. Saya ngaku salah. Saya ceroboh. Saya minta maaf!!!”
“Saya maafkan dengan satu syarat.”
“A-ada syaratnya?”
“Iya, ada.”
“Apa syaratnya?”
Mas Fendi kini duduk menyerong menghadapku. Dia juga kini menatap mataku lurus dan lekat. “Besok temani saya keluar seharian penuh. Bagaimana?”
***