CB 19. Kata Berbahaya — Dangerous Words

1808 Words
“Dua kata saja. Mungkinkah aku salah mendengarnya? Aku tahu, satu hal yang kamu mau, bakal menjungkirbalikkan duniaku. Seharusnya aku tak bertanya. Sekarang harus apa jawabku? Ya? Tidak?” Chana – Adakah yang bisa kulakukan untukmu? ⠀ "Aku minta maaf Dokter Alfa, uhm... maksudku Daniyal. Aku benar-benar menyesal," Chana mengucapkan kata-kata itu lagi untuk kesekian kalinya. Selama di NCM, saat makan malam di restoran, sepanjang jalan di mobil. Daniyal menggelengkan kepala. "Chana," Daniyal mendesah bosan. "Kamu sudah bilang itu ratusan kali." Daniyal menaruh seluruh kantong belanjaan mereka di depan pintu masuk mansion, kemudian menutup pintu dan memasang kode pengaman. Ia harus segera bekerjasama dengan Nates dalam pengamanan mansionnya nanti. Tidak mungkin Daniyal meninggalkan Chana di sini tanpa penjagaan. Ditambah lagi Mbok Sumi dan Pak Mansur sedang pulang kampung. Harus ada maid pula yang bisa dipercaya untuk membantu bersih-bersih juga memasak makanan buat Chana. Ia melirik Chana yang telah membawa beberapa kantong belanjaan ke ruang tamu. Gadis itu tengah menekuri barang-barang belanjaan mereka. Sejak tadi Chana tidak berhenti merasa bersalah karena telah menghamburkan uang Daniyal. "Hey, calm down. Tidak ada yang perlu disesali. Kamu butuh semua barang-barang ini, jadi tidak perlu merasa bersalah," ucap Daniyal lagi sambil mengangkut beberapa kantong belanjaan lainnya. Chana bergerak gelisah mengekori Daniyal ketika pria itu menyortir kantong belanjaannya dengan milik Chana. Memisahkan barang kebutuhan dapur, cemilan, buah, daging, makanan instan dan macam-macam lagi. Chana ikut membantu menaruh semua itu ke kulkas. Namun, gadis itu kembali muram saat menatap belanjaan miliknya. "Demi apa ..., aku menghabiskan uangmu begitu banyak ....!" ucap Chana histeris sambil menunjuk semua kantong belanjaannya. "Lihatlah, sepatu ada tiga kantong. Rasa-rasanya aku cuma pilih 3 jenis, kenapa ... kenapa sekarang jadi banyak?" Ia mengintip isi di dalam kantong. "Ini bukan belanjaanku. Ini pasti kasirnya salah hitung. Ini pasti punya orang lain?!" Daniyal mengulum senyum. Pundaknya sampai bergetar menahan tawa. "Chana ..., itu aku yang tambahkan," ucap Daniyal tenang. "Kenapa ...?" "Karena kamu perlu punya banyak sepatu. Nggak mungkin kamu pakai itu-itu terus. Kalau kotor gimana?" "Kalau kotor 'kan bisa dicuci." Bibir Chana mengerucut. Ia menjangkau kotak sepatu di kantong belanjanya. Mengeluarkan isinya. "Gimana aku memakai ini, Daniyal ...?" Wanita itu mendelik putus asa pada Daniyal. Menggoyang sepatu pesta silver dengan permata-permata berkilau di seluruh permukaannya, seperti sepatu Cinderella. "Lihat, tumitnya runcing dan tinggi ... lima belas senti? Aku bisa jatuh .... Lagipula ke mana aku akan memakai benda mahal ini?" Daniyal mendesah bosan. "Bersyukurlah, wahai wanita Liliput. Sepatu itu akan membuatmu kelihatan jauh lebih tinggi daripada kenyataannya." Daniyal cengengesan. Chana mendesis gemas. Sekejap ia sudah mengambil ancang-ancang ingin melempar sepatu tadi ke kepala Daniyal saking kesalnya. Tapi ia melirik sepatu itu lagi, teringat harganya. Jadi ia mengurungkan niatnya. "Mahal," sungutnya cemberut. Daniyal terbahak. Namun, sesaat kemudian ia tersadar. Benar juga, kenapa ia membelikan Chana sepatu itu? Bukan hanya satu, tapi lebih empat pasang sepatu pesta. Memangnya ia mau mengajak Chana ke mana? Wanita mungil itu berpindah menginspeksi kantong berisi tas. Banyak sekali tas pesta, tas santai dan lainnya. Label harganya membuat Chana meringis. Satu clutch bag seharga lima juta? Memang, sih, tas ini sangat elegan dan mewah, tapi sejak kapan Chana mengambilnya? Apa Daniyal mencaplok tas-tas ini sambil menutup mata? Dari mana uang sebanyak ini? Apa gaji seorang dokter memang sebanyak ini? Berikutnya Chana memeriksa kantong berisi peralatan kosmetik. Lagi-lagi, ia hanya memilih bedak padat, bedak tabur, handbody, parfum, dan lainnya yang sederhana. Tetapi ternyata sudah ada set make up lengkap dengan maskara, bulu mata dan t***k bengek lainnya yang entah buat apa. Chana mendesah berat, menggelengkan kepala dengan sifat boros Daniyal. Lagi ia memeriksa baju-baju. Chana lebih banyak memilih baju casual, kaos rumahan atau baju santai, outfit sport, gaun untuk jalan santai, satu gaun pesta sederhana berwarna biru lembut. Tapi apa-apaan ini ... dari mana datangnya gaun pesta merah yang mewah dengan banyak permata, gaun biru berhias mutiara-mutiara, gaun putih keperakan yang cocok dengan sepatu Cinderella tadi. "Apa ini pilihanmu juga?" Chana mendesah lirih. "Yeah .... Buat apa beli sepatu, kalau tidak ada gaunnya," ucap pria itu cuek seraya beranjak ke meja minum. Membuat espresso untuk dirinya. "Kamu mau?" tawarnya. Chana menggeleng. Masih sibuk memeriksa kantong belanjaannya yang lain. Ada banyak aksesoris kalung, gelang, headpiece, tiara untuk hiasan rambut, topi dan macam-macam lagi. Chana mencari struk belanjaannya, sayangnya semuanya hilang. Sepertinya sudah disembunyikan Daniyal. Label harga juga tidak lengkap. Kebanyakan sudah dicopot, mungkin oleh pelayan toko. Atas perintah Daniyal pastinya. Jadi Chana sama sekali tidak punya gambaran berapa total seluruh belanjaan hari ini. "Aku sama sekali nggak menyangka, bahan craft meskipun kecil-kecil, ternyata kalau jumlahnya banyak, jadi mahal banget, ya. Aku benar-benar menyesal. Aku nyusahin banget," ucap Chana mengintip belanjaannya dari Crafter Palace. "Jangan menyesali sesuatu yang sudah terlanjur di beli. Nggak baik." Chana menghempaskan napasnya. "Tapi aku harusnya nggak sekalap itu ...." Chana menatap Daniyal sedih. Daniyal tersenyum tipis. Ia teringat ketika mereka mentotal belanjaan Chana di Crafter Palace, yang mencapai lebih dari tujuh juta. Gadis itu langsung histeris menarik lengan Daniyal, memohon untuk mengurangi belanjaan mereka. Wajah paniknya benar-benar lucu. Bahu Daniyal terguncang kembali. "Kamu menertawakanku?" "Mana mungkin aku berani, Little Fairy." Daniyal mendehem menyamarkan tawanya. Ia meneguk espressonya dengan santai. Memunggungi Chana. Lalu melanjutkan tawanya kembali. "Ini apa ...?" Suara Chana terdengar lirih. Daniyal memutar bola matanya. Apalagi yang mau di protes Liliput ini, hum? Ia menoleh ke arah Chana. Espresso di mulut Daniyal langsung menyembur. Ia terbatuk-batuk mencari serbet. Wajahnya memerah melihat lingerie berwarna merah berenda hitam transparan di tangan Chana, lengkap dengan underware, g-string dan thong sexy yang senada dengan lingerie. Kenapa bisa jadi begitu? Seingat Daniyal, ia hanya menyuruh pelayan toko untuk mencarikan banyak dalaman untuk Chana, karena ia sendiri merasa malu untuk mengingatkan Chana membeli benda itu. Sementara selama ini Chana hanya memakai dalaman yang Daniyal belikan sewaktu dirawat di Rumah Sakit. Ia tidak menyangka bahwa ternyata mereka berinisiatif menyertakan gaun malam sexy juga dan ... hell! Thong dan g-String??? Pantas saja Chana jadi pucat. “Ini seleramu juga?” ucap Chana bergetar. Daniyal mengusap wajahnya serba salah. Kalau ia bilang 'tidak', apa Chana akan percaya? Apa tidak ada dalaman yang normal di toko tadi? Apa ia terlihat seperti Sugar Daddy yang sedang berusaha menyenangkan Sugar Baby-nya??? Bukan hanya satu paket lingerie, thong dan g-string, Chana juga mengeluarkan beberapa helai lagi dari dalam tote bag dengan corak gaya dan warna berbeda-beda. Oh, gosh! Sangat kreatif imajinasi pelayan toko. "Masukkan lagi ke kantong, Chana," tukas Daniyal malu. Wajahnya bertambah merah padam. Jangan sampai otak mesumnya berfantasi lagi karena melihat lingerie ini. "Kamu bisa memeriksa semua belanjaan di kamarmu. Ayo!" Daniyal memungut semua kantong belanjaan Chana. Gadis itu hanya mengekor pasrah di belakangnya. Apa yang Daniyal ucapkan tadi? Memeriksa semua belanjaan di kamarmu? Kamarmu? Huff ... betapa cepatnya kamar itu berubah menjadi kamar Chana. ⠀ Mereka sampai di dalam kamar. Daniyal menaruh bawaannya ke atas meja rias. Lalu bergerak keluar kamar, tetapi Chana menahannya. Daniyal menaikkan alis. "Sekarang apa lagi?" "Terima kasih untuk hari ini, uhm ... dan semua kebaikan ini." "You’re truly welcome." Namun Chana masih belum juga beranjak dari hadapannya. Gadis itu malah menatapnya cemas, menggigit bibir gelisah, membuat Daniyal semakin berhasrat mengecup bibir mungil itu. Ia mengejap, menoleh ke arah lain. Sebelum otaknya mulai membuat skenario vulgar tentang Chana. "Aku sebenarnya tidak mau merepotkanmu. Aku takut berhutang terlalu banyak. Biaya operasi dan perawatanku selama di rumah sakit sampai saat ini, aku sama sekali tidak tahu jumlahnya berapa. Pastinya itu sangat mahal." "Itu sudah ditanggung donatur," potong Daniyal. "Ya, aku tahu kamu donaturnya. Aku mendengar perawat berbisik-bisik tentang itu." Daniyal menghela napas. "Berapa semua hutangku termasuk ini, Dok ... eh, Daniyal?" Daniyal menyipitkan mata. Menatap mata Chana tajam. "Kamu mau bayar pakai apa?" Ia bersidekap. "Apa pun. Aku bisa membersihkan mansion ini, aku bisa menjadi pelayan di sini jika kamu mau. Aku tidak keberatan pindah ke kamar yang lebih kecil." Daniyal mendengus. "Aku sudah punya asisten rumah tangga, Chana. Dan meskipun mereka sudah cukup tua, aku tahu mereka masih mampu dan telaten dalam bekerja." "Mereka sedang pergi. Aku bisa menggantikan tugas mereka untuk sementara waktu. Sambil aku membuat barang-barang seni, aku juga bisa menjual karyaku di taman komplek. Tadi aku lihat ada yang menggelar jualan mereka di sana. Atau aku juga bisa mencari pekerjaan di toko dan cafè sekitar Puri Nirwana. Percayalah, aku tidak akan kabur lagi." Daniyal mendesah memijat batang hidungnya. Harus berapa kali ia menjelaskan pada Chana, bahwa tubuh gadis itu sangat lemah. Mau bekerja di toko atau cafè, memangnya siapa yang mau menerima orang asing tanpa ijazah dan ingatan di toko mereka? Kalaupun Daniyal punya koneksi, ia tidak akan membiarkan Chana bekerja berat. No way! Ia setuju kalau Chana berkreativitas dengan benda-benda keterampilannya. Tapi kalau harus berjualan di taman ... sendirian, nanti dulu. Itu harus dipikirkan matang-matang. Walaupun sebenarnya Daniyal bisa saja membuatkan stand atau toko untuk jualan Chana dan merekrut karyawan yang bisa membantu gadis itu. Tapi sekali lagi, ia harus menyeleksi mereka sendiri. Itu butuh waktu dan ia super sibuk. Keinginan Chana menjadi maid di mansion ini? Bisa saja. Tapi dibandingkan membuat Chana menjadi pelayan bersih-bersih dengan pekerjaan berat, lebih baik ia menempatkan Chana untuk melayani dirinya secara pribadi. Ck! Kenapa pikirannya ke sana lagi?! Daniyal mengacak rambutnya frustasi. Lagipula besok orang-orang pilihan Nates akan datang ke mansion. Daniyal dan Chana harus menyeleksi mereka. Ia menghempaskan napas berat. Menatap raut teguh di wajah Chana. "Little Fairy ..., kamu tidak perlu melakukan itu semua. Lagi pula, orang yang berniat jahat padamu, masih berkeliaran dan masih belum jelas siapa mereka. Kamu masih dalam bahaya, mengerti?" Chana merengut. Ia sudah sempat mendengar cerita tentang dirinya dari beberapa perawat. Tentang ia yang korban percobaan perkosaan, kecelakaan. Ditambah lagi ucapan Nates waktu itu. "Jadi, itu makanya kamu menyuruhku mengenakan wig ini?" Chana menyentuh wig yang masih menempel di kepalanya. "Supaya orang yang ingin mencelakaiku tidak mengenaliku?" Daniyal terdiam. "Yeah," sahutnya kemudian. Bahu Chana langsung merosot. "Lalu aku harus mengganti semua ini dengan apa?" "Tidak perlu, tidak usah dipikirkan." Daniyal menggeser tubuh Chana menepi dari pintu. "Tunggu," ucap gadis itu lagi sebelum Daniyal beranjak dari sana. Membuat Daniyal kembali menatap Chana. "Kamu yakin tidak ada yang kamu inginkan dariku? Yang bisa kulakukan? Apa pun?" Apa pun? Daniyal menatap Chana intens. Wajahnya yang lugu dan mungil. Badannya yang kecil dan rapuh. Ingatan Daniyal kembali pada kejadian semalam. Hasratnya muncul lagi, lebih kuat dan mendesak. Daniyal menelan ludah, merasakan sesuatu yang menggeliat di dirinya. Sesuatu yang buas dan ingin menguasai Chana. "Apa pun yang aku mau, tidak akan bisa kamu beri, Chana. Jadi sudahlah," desisnya serak. Chana tetap menahan tangan Daniyal. "Please .... Aku tidak mau berhutang padamu. Pada siapa pun. Biarkan aku melakukan sesuatu untukmu." "Mau ganti pakai apa, hum? Uang? Aku tidak akan kehabisan uang bahkan untuk membiayai sepuluh wanita matre sekaligus. Aku jelas tidak butuh uangmu." "Lalu bagaimana caranya aku bisa melunasi hutangku ...?" Daniyal mendengus. "Kamu yakin mau mendengarnya?" Gadis itu mengangguk serius. Daniyal menarik napas berat. Menatap Chana sendu. "Tidurlah denganku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD