“Barang berkualitas tidak selalu mahal.
Tapi kualitas memang punya harga.
Aku menginginkan benda yang bisa bertahan lama ketika dipakai.
Bukan sesuatu yang gampang rusak dan tak bernilai.”
Daniyal – Tentang Kualitas
⠀
Chana terpana menyaksikan pemandangan yang mereka lalui. Di sepanjang jalan begitu ramai, tua muda kanak-kanak. Ada yang berjoging, bersepeda, memakai otopet, melompat lincah dengan skateboard. Apalagi ketika mereka melintasi kawasan taman dan sport center.
Ada beberapa spot yang memiliki rumah pohon dan jembatan gantung buatan. Wahana permainan outbound dan climbing wall terlihat begitu jelas dari jalanan. Begitu banyak jajanan dan stand-stand penjual mainan, dekorasi rumah, kuliner dan lainnya. Mata Chana berbinar-binar menyaksikannya.
"Ramai sekali," desis Chana lebih pada dirinya sendiri.
"Sekarang akhir pekan, makanya ramai," celetuk Daniyal. "Lain kali, uhm … mungkin akhir pekan depan, kita bisa berjoging atau jalan-jalan ke taman dan sport center di sini, kalau kamu mau."
"Mau!" jawab Chana cepat, lalu menunduk dan mendehem gengsi. "Hm ... boleh juga kalau Dokter nggak sibuk."
"Dokter ... again ...? Kamu pikir aku terlahir dengan nama Dokter?"
"Oh ... maaf. Aku harus panggil Alfa saja atau … Mas Alfa?" tanya Chana sedikit malu, karena menyebut 'Mas'.
Daniyal terbatuk, berlagak menoleh ke arah jendela. Aslinya ia kaget sekaligus bingung harus menjawab apa.
"Panggil Daniyal saja," ucapnya menyembunyikan senyum dengan wajah sedikit memerah.
Membayangkan Chana memanggilnya 'Mas' kenapa terasa agak ... intim, ya? Padahal itu panggilan umum. Bahkan tidak kenal pun bisa dipanggil Mas. Cuma ... kalau Chana yang bilang ... dengan nada suara seperti tadi, kenapa Daniyal jadi malu, ya?
"Oke," sahut Chana kembali memandangi jalanan.
Daniyal melirik gadis itu sesekali selagi menyetir. Chana tampak sangat tertarik dengan pemandangan yang mereka lewati. Semoga acara jalan-jalan ini bisa memecah kekakuan di antara mereka.
"Dokter, eh ... Daniyal, apa ini sudah di luar Puri Nirwana?" tanya Chana penasaran. Mereka sedang melewati jejeran ruko, cafè dan bermacam pertokoan.
"Nope. Kita masih di komplek Puri Nirwana."
"Kita masih di dalam Puri Nirwana?!" Chana tercengang dengan mata membelalak lebar. Dari tadi mereka melewati jalanan, pertokoan dan café yang melimpah ruah, gedung olah raga dan taman, tapi mereka masih berada di dalam komplek? Belum lagi jejeran mansion dan gedung apartemen. Berapa luasnya tempat ini?
Wah ... pemilik Puri Nirwana pasti kaya raya, pikir Chana takjub. Ia bisa membayangkan pria tua ubanan dengan perut buncit yang duduk di singgasana di atas gunung emas dan permata.
Daniyal mengulum tawanya, menatap Chana yang masih ternganga. Ia sudah menduga reaksi itu dari Chana. Apa jadinya kalau Daniyal bilang, Puri Nirwana ini milik keluarganya? Akan seperti apa wajah Chana nanti. Pasti bakalan shock. Daniyal mendengus.
⠀
Mobil mereka melambat saat memasuki area parkir basement Nirvana Castle Mall (NCM). Daniyal mengantongi kartu parkir, kemudian menjangkau dashbord mobil. Mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Gulung rambutmu, lalu pakai topi itu."
Perintah pria itu membuat Chana heran. Tapi ia menggulung rambutnya juga tanpa bertanya. Padahal Chana sudah menjalin rambutnya dengan cantik sebelum mereka berangkat tadi. Huh!
Daniyal membukakan pintu mobil untuk Chana. Mereka berjalan menuju pintu masuk NCM.
Chana memperhatikan sekelilingnya. Parkiran ini sangat luas. Ia bisa nyasar kalau Daniyal tidak memandunya. Semua mobil yang terparkir juga tampak begitu mewah dan mahal. Apa pengunjung mall ini semuanya dari kalangan miliarder? batin Chana miris. Kenapa ia terlihat katro sekali? Apa sebelum ingatannya hilang, Chana miskin?
Daniyal sudah berjalan duluan di depan Chana. Siluetnya yang tinggi atletis dengan bahu bidang dan b****g padat yang menggoda terpapar di hadapan Chana.
Pria itu mengenakan blazer hitam, kaos putih, celana chino, sepatu loafers dan weist bag. Sepertinya semua outfit yang Daniyal kenakan, melekat dengan pas di badannya. Pantas saja sejak mereka masuk ke dalam mall, semua orang memandangi Daniyal dengan tatapan lapar. Apalagi dengan wajah blasteran yang tampan itu, semua wanita di sini – sepertinya laki-laki juga – meneteskan liur melihatnya.
⠀
"Chana," panggil Daniyal.
Chana tergagap, mencari dari mana arah suara tadi. Ia melamun lagi.
Daniyal menghampirinya dengan kepala dan alis dimiringkan.
"Kamu mau terus jalan ke mana?" tanyanya dengan senyum dikulum.
Rupanya dari tadi Chana melangkah tanpa tujuan, sementara Daniyal sudah berdiri di depan toko Sparkle Bella Hair.
"Ayo," ajak Daniyal mengulurkan tangan pada Chana.
Chana menangkap raut iri sekaligus kagum dari pelayan di depan pintu toko ketika ia dengan ragu menyambut uluran tangan pria itu.
Mereka memasuki toko dengan pencahayaan terang tadi. Manekin kepala berada di mana-mana dengan beragam jenis rambut.
Wig.
Buat apa Daniyal membawanya ke toko rambut palsu? Apa Daniyal tidak suka dengan rambut Chana yang hitam dan panjang?
"Pilih yang kamu suka," ucap Daniyal santai.
Chana berjengit bingung. Mendekati beberapa jenis wig, ada yang berambut pendek, panjang, warna warni. Yang mana ya? pikirnya. Lalu matanya tertuju pada wig dengan model bob medium sebahu dengan poni. Ia memilih warna cokelat honey brown. Menunjuk pilihannya pada Daniyal.
Pria itu langsung membayarnya ke kasir, kemudian berbisik dengan penjaga toko.
"Langsung pakai wig nya, Chana."
Kenapa jadi semakin aneh saja? pikir Chana ketika pelayan toko membawanya ke kamar pas dan membantu memasang wig tadi.
Wow ... dia jadi kelihatan berbeda. Chana menyentuh helaian rambutnya. Lalu beranjak dengan langkah ragu menuju Daniyal.
"You look good." Pria itu tersenyum kecil padanya.
Mereka lanjut memasuki Fortuna Shoes. Toko itu benar-benar mewah. Sepatu berbagai ragam jenis dan merek di pajang di sana. Mulai dari sepatu olahraga, sepatu pesta dengan hak hingga lima belas sentimeter dengan permata yang berkilauan, sepatu dan sendal santai dan macam-macam lagi. Beberapa pembeli sedang duduk mengepas sepatu, beberapa lainnya masih sibuk memilih-milih.
"Pilih mana pun yang kamu suka Chana," ujar Daniyal lagi.
Chana ternganga tak percaya.
"Maksudnya? Buat siapa?" Ia kira Daniyal yang ingin membeli sepatu.
"Pilih sepatu yang kamu mau, untukmu."
"Tapi ..., aku nggak punya uang ...," bisik Chana pelan.
Daniyal terkekeh. "Pilih saja, Chana," ujarnya mendorong punggung Chana ke arah sepatu sport. "Pertama yang ini dulu."
Chana melihat-lihat beberapa sepatu. Ada yang dia suka warna dan bentuknya, tapi pas dilihat label harga, jantungnya berdegup insyaf, mahal. Lalu ada lagi yang lebih mahal namun kelihatan nyaman dipakai. Pilihan lain terlalu mahal, hampir dua juta rupiah. Mata Chana sampai membelalak berkali-kali.
Ini seriuskah Daniyal menyuruhnya memilih sepatu di sini? Apa tidak lebih baik di pasar tradisional saja?
Akhirnya pilihan Chana jatuh pada sepatu seharga lima ratus ribu rupiah. Sepertinya ini yang paling murah di sini.
"Yang ini saja," Chana menyodorkan sepatu pilihannya.
Daniyal mengangguk menaruhnya ke troli. Tapi mereka belum selesai. Daniyal membawa Chana lagi ke stand sepatu pesta, sendal sampai semua stand mereka hampiri. Chana sampai bingung, apa sebanyak itukah uang Daniyal? Meskipun ... ya ... Chana memilih yang paling murah dari yang mahal-mahal lainnya.
Keluar dari toko itu, mereka mampir ke toko baju, mulai dari pakaian dalam, bermacam piyama dan lingerie, baju olahraga, jaket, baju santai hingga gaun pesta yang mewah dan elegan. Kali ini karena Chana terlalu lama memilih, jadi Daniyal menyindirnya.
"Kubilang pilih yang kamu suka, bukan berarti mencari yang paling murah, Liliput. Jangan lihat label harganya," ucapnya.
Chana berjengit, melirik sebal pada Daniyal. Dia tidak takut bangkrut apa? batin Chana. Harusnya pria itu bersyukur karena Chana menghemat uangnya.
Liliput?
Seenaknya saja dia menyebutku 'Liliput'!
Dasar Raksasa! Dia tidak sadar saja kalau Chana memperhatikan pria itu setiap berjalan. Tingginya hampir mencapai pintu toko!
Kesal, Chana bergerak brutal memilih beberapa baju yang paling mahal, mulai dari baju casual, hingga baju pesta yang luar biasa – susah dicari yang paling murah!
Kalau pria ini jatuh miskin dalam sehari, jangan pernah menyalahkannya!
Daniyal terkekeh menggelengkan kepala di belakangnya. Baru kali ini ada cewek yang di ajak belanja barang-barang mewah tapi jusru menggerutu.
Beberapa toko lagi juga berhasil mereka jarah. Toko kosmetik, toko tas, aksesoris wanita dan lainnya. Tas-tas belanjaan mereka sudah semakin berat, sebagian besar di bawa oleh Daniyal.
Hari sudah menunjukkan lewat jam makan siang. Mereka berhenti di sebuah café dan memesan makanan.
"Cape?" tanya Daniyal.
"Lumayan," jawab Chana praktis, lalu menatap Daniyal dengan raut serius. "Apa Dok ..., kamu ... akan bangkrut setelah ini?"
"Hah? Bangkrut?" Daniyal tergelak, mengucap, oh my God! Tanpa suara. "Jangan khawatirkan uangku, Chana," lalu ia berhenti sejenak. Memandang Chana dengan sarkas. "Biasanya perempuan sangat suka belanja."
Itu bukan pertanyaan tentunya.
"Ya, tapi barang-barang tadi tidak ada yang benar-benar murah," protes Chana. "Kenapa kita harus belanja di sini? Satu baju di sini, aku bisa membeli lima stel pakaian di pasar tradisional. Kita bahkan bisa menawar dengan harga lebih murah lagi."
Daniyal terkekeh. Aneh juga. Orang amnesia tapi masih bisa mengingat harga barang di pasar tradisional.
"Aku berbelanja produk yang berkualitas Chana. Berkualitas belum tentu semua mahal, tapi kualitas memang punya harga. Aku menginginkan benda yang bisa bertahan lama ketika dipakai, bukan hanya style saja, tapi cepat rusak karena nggak mutu. Nggak bernilai lagi. Makanya kita belanja di sini.
Toko-toko yang ada di sini sudah diseleksi originalnya, kualitas barang, pelayanannya juga. Jadi, jangan terlalu dipikirkan."
Jangan terlalu dipikirkan, katanya? Dasar orang kaya!
Otakku sudah ngebul ingin menghitung total belanja hari ini pas sampai di rumah. Awas saja kalau nominalnya bikin aku pingsan! batin Chana.
Ini tidak akan menambah daftar hutang budinya pada Daniyal, bukan?
⠀
"Apa hobimu, Chana?" tanya Daniyal setelah pesanan mereka diantar ke meja. Chana mengucap terima kasih pada waitress yang sibuk memandangi Daniyal sambil tersenyum manis. Dan pria itu mengabaikannya, seakan-akan waitress itu tak ada. Kasihan.
"Aku suka menjahit, membaca, membuat keterampilan. Entahlah, aku suka seni."
"Kamu masih ingat kemampuan itu?"
Chana mengernyit, seakan baru tersadar. "Aku nggak tahu, itu terjadi begitu saja. Saat melihat kain, benang dan gunting, tanganku bergerak sendiri. Menyulam atau memakai mesin jahit. Tapi aku nggak ingat sama sekali, apakah dulu aku memang bisa atau ..., entahlah," Chana menggigit bibir, berusaha berpikir keras. Mengingat-ingat masalalunya.
"Chana," tegur Daniyal mencoba melepaskan jemari Chana yang mengepal kuat, mencengkeram sendok tanpa ia sengaja. "Tidak usah dipaksakan."
Mereka beralih ke topik-topik pembicaraan aman, seperti gimana rasa makanan ini atau suka cuaca dingin atau panas. Lebih senang melihat pegunungan atau pantai, dan lainnya.
Selesai makan, Daniyal membawa Chana ke toko besar bermerek, Crafter Palace.
Mata Chana berbinar-binar begitu sampai di sana. Toko ini luar biasa menabjukkan dibanding semua toko yang ada di mall ini. Ada begitu banyak barang-barang keterampilan handmade yang sudah jadi, ada juga yang masih berupa bahan mentah. Semuanya sangat lengkap.
Beragam jenis bahan kain, benang, pita-pita dan renda hias, aksesoris bunga, mote, buku-buku keterampilan dan lainnya, semuanya membuat Chana seperti berada di surga! Ia melirik Daniyal dengan senyum bahagia.
"Bolehkah?"
"Pandangi saja," Daniyal tersenyum culas.
Chana mengerucutkan bibirnya. Ia tahu Daniyal bercanda. Sementara Daniyal duduk di bangku tunggu, Chana sibuk memilih bahan-bahan keterampilan. Otaknya langsung berfantasi, semua bahan ini akan dibuat jadi apa.
Daniyal menggeleng menatap Chana. Cewek aneh. Diajak shopping baju dan segala macam, ekspresinya seperti disuruh meloncat dari kapal bajak laut. Tapi ketika di sini, tangannya punya kecepatan luar biasa memasukkan barang-barang ke troli. Sungguh cekatan.
Ya ampuuun ....