Tiga

2350 Words
Iringan mobil kerajaan berpengamanan ketat tiba di halaman istana yang di sisi jalan masuknya tertutup hamparan taman hijau dan mawar yang bersemu merah. Dari balik pagar, wartawan dan kamera mereka sudah menunggu momen keluarga kerajaan turun dari mobil yang mereka kendarai. Josephin turun lebih dulu diikuti Rhein. Selang 10 menit kemudian mobil Victor Leopold berhenti di depan undakan tangga kerajaan. Lekas setelah ia turun kilatan lampu kamera segera menyambar ratusan kali. Ia jadi perhatian utama seluruh negara mengingat akan dilantik sebagai raja berikutnya setelah habis masa duka. Melihat antusiasme publik La Vie hanya menyeringai sinis menertawai. Jika mereka tahu bagaimana kejinya Victor Leopold meraih tahta yang ia impikan mereka pasti akan membencinya. Ia menghela napas mulai sedikit menikmati. Rolls-Royce Phantom putih yang membawa La Vie memutar menuju halaman belakang agar tak menarik perhatian. Di tempat yang tergolong tertutup jauh dari perhatian itu, ia turun. Mata hijaunya memandang jauh lahan seluas 300 hektar, tempat danau buatan seluas 10 meter yang biru tempat bunga Bakung tengah bersemi, kandang kuda, tempat berkuda dan lapangan golf yang tengah dibersihkan. Ia terkagum sesaat kemudian menatap kolam air mancur dan kursi taman yang sepertinya nyaman untuk menikmati teh sore. Tempat luar biasa itu membuatnya yakin tengah berada di istana. La Vie melewati pintu belakang, dua penjaga menatapnya heran penuh tanya. Tapi ia tak peduli, terus berjalan makin jauh ke dalam, disertai tatapan puluhan pasang mata pelayan yang lebih penasaran lagi. Mereka belum bahkan tak pernah melihat gadis itu sebelumnya. Memasuki istana tanpa izin dan tanda pengenal bisa membuatnya ditahan, dianggap melakukan pelanggaran dan penyusupan. Tapi La Vie yang tak tahu aturan itu lebih sibuk menatap sekeliling interior Red Castle. Istana luas itu bergaya campuran Renaissance dan unsur Gothic. Langit-langit setengah melengkung dilukis dengan megah di gantungi lampu kristal menyerupai desain istana Versailles. Sementara dindingnya diukir dan ditempeli lapisan emas, dengan lukisan-lukisan besar menggantung yang jika ditatap sekilas orang langsung tahu betapa mahal maha karya di tempat itu. Istana yang luas bukan kepalang dengan puluhan pintu di tiap lorong membuat La Vie bingung mencari ruangan Victor Leopold. Lelaki itu meninggalkannya begitu saja dalam mobil meminta mereka tak terlihat bersama memasuki istana agar tak ada gunjingan lain yang menutup kabar kematian mendiang raja. Ia menyesal mematuhi ucapan pria itu. Di sebuah ruangan besar tertutup karpet merah yang menyerupai aula raksasa. La Vie melihat sebuah tangga batu melingkar. Suasana di tempat itu lebih sepi, tak banyak pelayan maupun penjaga lalu-lalang membuatnya sedikit yakin tempat itu mungkin hunian khusus keluarga kerajaan. Belum sempat menitikkan kaki pada tangga pertama tiba-tiba seseorang mengunci tangan kirinya melipat dengan keras ke belakang punggungnya hingga ia merintih kesakitan. Belum cukup, orang misterius itu mendorong tubuhnya menempel pegangan tangga dengan keras. La Vie makin menderita. "Siapa kau?" suara dalam dan serak dari lelaki di belakangnya membuat La Vie berontak. "Aku tamu istana, lepaskan aku kalau kau tidak mau dapat masalah" "Mana tanda pengenal, bukti kau diberi izin masuk istana?" La Vie kelabakan, ia tak tahu memerlukan semua benda itu untuk masuk istana. Ia pikir karena datang bersama Victor Leopold ia akan diperlakukan sedikit lebih khusus. Sekali lagi ia dibuat jengkel ketika mengingat ucapan pria itu yang memintanya menunggu. "Aku tidak punya" Lelaki itu menarik lengan La Vie makin keras sampai dia merintih kesakitan. "Jika kau tidak punya, sebaiknya kau keluar dari sini" La Vie kesal. Ia berusaha mengintip dari busur matanya lelaki mana yang berani bersikap kasar padanya, tetapi usahanya sia-sia. Ia tak bisa melihat selain sepatu hitam, celana warna senada dan mantel biru navi sepanjang lutut yang di bahunya dipenuhi lambang kemiliteran dan tanda jasa yang berjejer hingga 3 lapis. "Apa begini caramu memperlakukan seorang wanita. Bersikap kasar? Apa kau tidak punya etika dan rasa hormat?" gadis itu membentak sambil sesekali melakukan gerakan memberontak sia-sia. "Tolong lepaskan dia Jenderal Aileen Aldari Carl de Leon" Dari ujung tangga lantai dua terdengar hentak sepatu. Victor Leopold menuju mereka. Sebuah kebetulan yang menyenangkan hati La Vie. Ia ingin mempecundangi pria kasar yang sudah berani bersikap lancang padanya. Begitu pria itu melepasnya, ia segera berpaling dengan selimut keangkuhan penuh kecantikan seperti biasa. Untuk mengejek pria asing itu. Awalnya ia mengira pelakunya lelaki tua berusia paling tidak 50 hingga 60-an. Tapi dugaannya meleset jauh. Pria itu masih cukup muda dan bisa dibilang tampan lebih tampan dibandingkan Victor Leopold. Matanya amber, tembaga kekuningan, dengan alis tebal, hidung mancung ramping, bibir tipis merah muda menyerupai hati, dagu kotak yang gagah dan rambut coklat kemerahan yang tertutup topi militer. La Vie terkesima, sebaliknya pria itu tidak. Ia tak menunjukkan rasa penyesalan bahkan tak sedetikpun menengok membuat ia tercengang. Selama hidup tak seorangpun pria berani mengabaikannya saat ia berada di hadapan mereka, tapi pria satu itu membuatnya merasa terhina seolah kecantikan tiada harga. Tapi entah kenapa keangkuhan yang lebih tinggi darinya membuat ia tertarik di saat yang sama. Perasaan aneh itu seakan sulit ditolak. Victor Leopold menepuk pundak Aileen Aldari. Pria itu tersenyum membuatnya tak sedingin perkiraan La Vie sebelumnya. "Apa yang membawamu kemari?" Cara mereka bercengkrama yang tampak hangat dan akrab di usia yang sepantaran bisa meyakinkan siapa saja jika keduanya cenderung terlihat sebagai teman dibandingkan seorang calon kepala negara dan seorang bawahan. "Saya ingin membicarakan tentang perintah Anda sebelumnya. Jika punya waktu bisakah kita membicarakannya lebih dulu?" La Vie segera mengalunkan lengannya pada Victor Leopold untuk menghalangi lelaki itu pergi sekali lagi dan membuatnya harus berkeliling seperti orang hilang. "Ada yang ingin kukatakan... Hanya sebentar" bujuknya. Lelaki bermata coklat itu mengamatinya dengan kata tertahan di bibir. Ingin menolak ia tahu La Vie takkan senang, tapi membiarkannya berkeliaran di sekitar istana bisa saja mengakibatkan masalah lebih besar apalagi jika sampai bertemu dengan Josephine. Pertengkaran hebat akan jadi bahan gunjingan yang akan dibicarakan berhari-hari para pelayan dan bangsawan. Membuatnya merasa jengkel. Dalam selang waktu singkat terpikir sebuah ide cemerlang di kepala pangeran muda itu untuk memperkecil kemungkinan mereka bertemu. Dengan memisahkan jarak sejauh mungkin dari keduanya. Victor Leopold menurunkan tangan La Vie menjauh, kemudian mengalihkan perhatian pada Aileen Aldari. "Tunggulah di ruang kerjaku, aku akan menyusul sebentar lagi" La Vie dan Victor Leopold perlahan menjauh meninggalkannya. Sebelum benar-benar hilang di balik koridor, La Vie melihat sekilas kemunculan Rhine. Raut muka tajam dan kelam pria itu berubah lembut di barengi senyum yang tiba-tiba saja membuatnya merasa tak senang, tapi ia berusaha tak ambil peduli. Ia kembali merangkul lengan Victor Leopold yang sekali lagi membuat pria itu menjauhkan tangannya dari dia. Membuat gadis itu sontak kecut dan masam. Tiba di sebuah kamar paling ujung dari istana utama, Victor Leopold membuka salah satu pintu kamar menyilahkan La Vie masuk lebih dulu. Kamar itu cukup luas dengan ranjang besar tertutup seprai coklat, sebuah lemari besar dan meja rias. Nuansa ruangan di d******i warna yang sama, coklat tua usang membuatnya tampak kelam dan sedikit kotor. Sekalipun ada jendela kecil menghadap ke arah danau, sinar matahari yang masuk seolah tak pernah cukup menolong. La Vie beranjak menuju ranjang lalu mendekati lemari memeriksa tumpukan debu dengan menyapukan telunjuk jemarinya.  Debu yang terkumpul membuat ia bergidik. Berpaling menunjukkan hal itu pada Victor Leopold dengan muka masam kecewa. "Apa kau pikir ini sungguh layak untukku? Ini lebih mirip tempat pembuangan?" Victor Leopold menutup pintu, wajahnya menunjukkan rasa tertekan tertahan. "Ini satu-satunya tempat yang aman agar kau tidak bertemu Ibuku" La Vie mendekatinya, meraih dagu tegasnya lalu menghimpit tubuh Victor Leopold ke belakang pintu. Mereka berciuman, Victor Leopold menelan bibir La Vie demikian cekatan sementara jari-jarinya leluasa berjalan menyentuh punggung menuruni bokongnya yang ia remas perlahan hingga gadis itu mengerang pelan. Di antara lumatan panas mereka berhenti sesaat lalu saling menatap. La Vie menyentuh bibir tipis pria itu dengan jari kurusnya. Ada keraguan di matanya pada pria itu. "Kau akan menjagaku dari ibumu 'kan?" Victor Leopold tersenyum mengambang. Ia tahu belum bisa menjanjikan apapun selama belum menduduki takhta secara resmi. Saat ini tampuk kekuasaan secara konstitusi darurat dipegang perdana mentri dibantu putra mahkota hingga pelantikan resmi setelah masa duka. Namun menjelaskan hal itu tanpa berusaha meyakinkan keraguan La Vie mungkin membuatnya gusar. Ia ingin setidaknya membuat gadis itu merasa aman di sana dan memastikan ia tidak bertindak gegabah lagi seperti yang dilakukannya saat ini. "Jika kau tidak melakukan konfrontasi pada ibuku sampai pelantikan, aku akan punya  kekuasaan seperti ibuku. Yang perlu kulakukan sekarang memastikan proses suksesi berlangsung dengan baik" La Vie membelai wajah pria itu, setidaknya untuk kali ini ia percaya padanya. "Kapan pelantikanmu akan dilakukan?" "Setelah masa duka selama seminggu dan persiapan selama 3-4 minggu... Aku tau itu cukup lama, kau harus bersabar" La Vie berdecak mencoba mengerti. Ia beranjak menjauh memandang jendela yang buram tertutup debu basah, hanya nampak bias hijau pemandangan taman belakang. Selama sebulan ia harus bertahan seperti orang buangan karena datang lebih cepat dari yang semestinya. Ia tak bisa menyalahkan kakak tirinya, ia sudah melakukan semua yang ia biasa. Ganjalan terbesar hanya hukum kerajaan yang tak bisa dibantah. Ketokan dari arah pintu mengakhiri percakapan siang mereka. Victor Leopold membuka pintu. Tampak pria tua bersahaja dengan wajah keras yang kaku tak menyenangkan memberi hormat begitu melihatnya. "Maafkan saya mengganggu Anda Yang Mulia" "Ada apa Jhon Pato?" "Saya datang membawa tas Nona La Vie" Gadis itu menghampiri lalu menarik kopernya masuk, kemudian mengucapkan terima kasih yang tak ditanggapi membuatnya menyesal menunjukkan keramahan. Ia mulai berpikir hampir semua orang-orang istana berdarah dingin. "Aku pergi dulu kalau begitu, nikmati waktumu" Sebelum menutup pintu sekali lagi gadis jelita itu menarik lengan Victor Leopold untuk minta bantuan. "Bisa kau memberiku pelayan. Kau tau tempat ini perlu dibersihkan bukan?" Victor Leopold beralih perhatian pada lelaki tua di sampingnya, "Panggilkan pelayan untuk La Vie" Jhon Pato mengangguk patuh. Setelah pintu menutup ketika pria itu hendak pergi dari sana Victor Leopold menahannya. Ia menghampiri Pato memintanya ikut bersamanya. Pria itu patuh saja. Mereka menyingkir menuju beranda taman belakang istana, tempat lengang dan sepi, hanya tampak kesibukan tukang kebun yang jauh dari pandang mata takkan mendengar apa yang mereka bincangkan. Victor Leopold tenggelam dalam hening sesaat. Ia tampak hanyut dalam keindahan musim semi sebelum kemudian membuka percakapan itu dengan sikap serius layaknya seorang calon raja. "Mendiang ayahku menyukaimu. Kau orang yang sangat cekatan sebagai sekertaris istana dan sangat bisa diandalkan. Tapi ada satu hal yang baik aku ataupun ayahku membuat kami merasa terganggu," Victor Leopold berbalik punggung sementara Pato mendengarkan penuh patuh. "Kesetiaanmu pada ibuku. Aku tau kalian berasal dari klan keluarga yang sama, penghasil banyak politisi yang bekerja pada istana. Keluarga kalian mengirim orang-orang terbaik untuk mengikuti ujian negara, ditempatkan di posisi-posisi penting. Aku sangat menghargai keluarga kalian, tapi bisakah kau menjadi lebih loyal hanya pada negara dan bukan klan keluargamu?" Pato menunduk dalam, "Apa yang Anda khawatirkan?" Sikap pura-pura Pato membuat Victor Leopold tahu sekedar omongan manis tak berpengaruh sementara ia perlu menutup rahasia, kalau-kalau Pato tahu dia punya hubungan khusus dengan La Vie. Selain memalukan ada hal lebih ngeri yang ia pikirkan. Jika ibunya tahu, ia menerka salah satu diantara mereka mungkin akan dibunuh untuk mencegah skandal memalukan lain dalam keluarga. Dan yang berpeluang paling besar disingkirkan adalah La Vie. Membayangkannya ia sedikit tak tega. "Jika kau masih ingin bekerja sebagai sekertaris istana, pastikan tidak terlibat jauh dengan urusanku ataupun ibuku" Victor Leopold menutup peringatan itu dan pergi begitu saja. Ia tak yakin peringatan akan berarti tapi baginya lebih baik melakukan sesuatu dibandingkan pura-pura tak tahu. Sementara untuk Pato peringatan itu lebih seperti sebuah tamparan kecil. Tak cukup jadi badai besar yang bisa menghempasnya jika bukan Josephine yang bertindak. ** Pintu diketuk pelan. Seorang wanita muda yang sepantaran usia La Vie muncul dengan senyum ramah. Wajahnya cantik, dominan Asia. Seorang pendatang yang tentu tak perlu merasakan pahitnya pembagian sistem ras dan kasta Flander-Belgium, meski mungkin sekali dalam hidupnya pernah merasakan diskriminasi kejam kaum elit. Gadis pendatang sepertinya yang tak terikat aturan penting, kemungkinan mendapat jaminan naik jabatan di usia tertentu. Keistimewaan yang tak didapat kelompok yang dianggap lahir dari ras b***k dan gelandangan. "Selamat siang Nona" ucapnya dengan nada pelan dan sopan. "Kau datang membersihkan ruangan ini?" gadis itu mengangguk dalam. "Siapa namamu?" "Esme Liu, Nona" "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" "Tiga tahun, Nona" La Vie berdiri. Ia membuka kopernya mengambil gelang emas putih dari kotak aksesoris dan menyerahkannya pada gadis itu. "Aku harap kau suka. Ini hadiah dariku" La Vie yakin, jika gadis itu cukup pintar umpan itu akan termakan dengan mudah. Esme tersenyum malu-malu. Untuk orang yang bekerja dalam lingkup istana pemberian hadiah sudah jadi suatu pertanda yang bisa ditangkap gadis muda itu baik-baik, ketika menyimpan gelang itu dengan segera ke dalam saku jas hitam yang ia kenakan supaya tak dilihat siapapun. La Vie menatap jauh dari balik jendela buram, menyiapkan pertanyaan yang jawabannya paling ingin ia dengar. "Kau tau tentang Jenderal Aileen Aldari Carl de Leon?" Esme tertawa malu-malu dengan rona genit, "Semua orang dalam istana mengenalnya. Dia populer di kalangan para gadis" La Vie duduk di atas ranjang menyilangkan kaki panjangnya, "Apa dia punya kekasih?" Muka Esme berganti kecut, "Dia sangat dingin pada semua wanita yang mendekatinya. Banyak orang bahkan meragukan dia masih pria atau bukan" "Bagaimana hubungannya dengan putri Rhein?" "Pangeran Victor dan Jenderal Aileen Aldari, mereka teman sejak kecil. Putri Rhein juga dekat dengannya karena sering diajak bermain bersama. Kecuali pada Putri Rhein sepertinya Jenderal Aileen bersikap kasar pada semua wanita. Ada desas-desus mengatakan Jenderal Aileen menyukai Putri Rhein, tapi tidak ada bukti mengarah ke sana" La Vie menggangguk pelan, "Apakah keluarga inti istana punya anggota keluarga lain? Selain Ratu Josephine, Putri Rhein dan Pangeran Victor?" "Ada, Putri Mahkota Madeline. Dia istri Pangeran Victor, tapi dia sering sakit-sakitan. Mereka menikah karena perjodohan 2 tahun yang lalu dan belum bisa memberikan pewaris tahta bagi istana . Putri Made adalah anak perdana menteri saat ini yang memimpin partai para bangsawan. Perdana menteri sangat dekat dengan Ratu Josephine" La Vie berbalik dengan senyum puas, namun menakutkan. "Siapa anjing ratu?" Esme pura-pura tak mengerti, "Anjing ratu, maksud Anda?" La Vie meraih kopernya sekali lagi memberi Esme bros emas. Seketika mulut gadis itu seolah terbuka lebar. Ia mendekati La Vie lalu berbisik di telinganya. "Kepala Pelayan Nyonya Aida, Sekretaris Istana John Pato. Mereka berdua terkenal sebagai mata-mata ratu, tapi ada yang menyebut jumlah mereka sebenarnya lebih banyak tapi tidak diketahui siapa saja" La Vie tampak puas dengan semua informasi kecil yang ia dapat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD