Dua

1675 Words
Makam khusus keluarga kerajaan seluas hampir 600 hektar itu lebih mirip hutan savana hijau di atas perbukitan dibandingkan area pemakaman. Pohon-pohon Birch tumbuh menaungi tiap nisan batu yang ditata demikian rupa, hingga pada musim gugur, pemandangan pemakaman akan berbeda, tertutup dedaunan kuning kemerahan yang indah. Rerumputan tumbuh tak lebih dari 1 cm, dipotong berkala tiap minggu. Tukang kebun terbaik berjumlah 20 orang dipekerjakan khusus merawat taman mawar merah yang memisahkan tiap blok pemakaman yang disusun berdasarkan tahun berkuasa. Sejak dinasti Navarra didirikan 1603, sudah ada 18 penguasa di makamkan di sana. Hari ini makam luas itu tak sunyi seperti biasanya, di mana tiap hari hanya terdengar decit mockingbird yang sering meniru lagu burung lain dan suara angin bertiup dari laut yang jauh, tapi aroma garam tercium samar. Tenda merah didirikan di atas bukit, dipenuhi kursi memanjang rapi tertutup kain putih yang diisi barisan tamu kehormatan. Di sepanjang jalan setapak menuju area makam, berderet barisan tentara dari berbagai spesimen dalam satu warna seragam, hitam. Di bahu mereka tersemat selempang merah, bentuk penghargaan atas mantan penguasa yang berpulang. Di topi yang mereka kenakan tersemat pin emas yang menunjukkan asal cabang militer masing-masing. Suara tangis terdengar di kejauhan tapi tertutup bunyi ledakan senapan yang ditembakkan ke atas langit 3 kali. Setelah bunyi senapan reda, musik militer mengalun, seraya peti mati putih tertutup bendera hijau berlambang bintang dibawa 6 orang prajurit. Langit yang sudah sejak pagi mendung perlahan menurunkan gerimis. Tak satupun yang bergeming, upacara pemakaman tetap dilanjutkan. Peti mati diturunkan perlahan ke liang lahat. Para anggota inti keluarga kerajaan berdiri dari kursi mereka membawa kuntum bunga lili yang akan dijatuhkan sebagai tanda perpisahan terakhir. Tak ada doa, tak ada ritual. Flander-Belgium tak mengenal agama, hanya sistem militer. Meski tak beragama mereka menghargai siapapun yang ingin memeluk agama apapun. Ratu Josephin Julia Ane Hasburgh, wanita 40 tahunan dengan rambut hitam dan mata coklat terang yang masih tampak cantik berdiri di barisan paling depan. Ia menangis tersedu, mengusap air mata berulang dengan sapu tangan. Setelah melepas bunga tulip ke dalam makam, kesedihannya makin dalam. Ia nyaris saja jatuh di atas tanah jika tak ditahan putrinya, Rhein. Putri Rhein gadis yang cantik jelita mewarisi paras ibunya daripada ayahnya. Itu terbukti dari rona mata mereka yang sama. Tapi bibirnya yang tipis merah muda dan mata besarnya dengan bulu mata panjang yang indah merupakan warisan ayahnya. Tak ada seorangpun memungkiri seluruh anggota keluarga kerajaan yang lahir dari Hasburgh dianugerahi paras rupawan. Victor Leopold yang hari itu memimpin upacara berdiri di samping makam, menarik bendera dari peti mati lalu menyerahkannya pada para tentara. Setelahnya ia melempar kelopak mawar dari keranjang yang diserahkan seorang lelaki setengah baya padanya. Menandai ritual pemakaman memasuki tahap terakhir, lalu liang lahat akan ditutup tanah. Wartawan media cetak dan televisi yang sudah menyiarkan sejak pagi, menunggu momen sakral itu dari jarak 10 meter memasang lensa kamera mereka. Bersiap menangkap momen terbaik dan terakhir keberadaan sang raja di muka bumi. Saat semua orang hanyut dalam kesedihan, dari jalan setapak di belakang bukit terdengar langkah sepatu meletup tajam kian dekat. Semua terdiam, saling menatap siapa yang mengganggu ritual penguburan. Sekian detik kemudian dari belakang tenda muncul payung merah dan seorang wanita bergaun midi dress hitam yang membalut tubuhnya demikian ketat hingga lekuk tubuhnya yang indah sempurna tampak demikian jelas. Para lelaki melongo menatap tiap inci bagian tubuhnya ketika wanita itu melenggokkan pinggangnya. Mereka yang telah beristri, membuat pasangan mereka cemburu bukan main. Tapi tak seorang pun berani menghalanginya, sekalipun menyadari ia bukan bagian dari keluarga kerajaan inti, tamu kehormatan, anggota dewan, politisi, maupun bangsawan. Di depan Victor Leopold ia menyeringai tipis lalu membuang kuntum mawar merah yang ia genggam. Puluhan kilatan lampu kamera berlomba seperti petir menyambar, berusaha mengabadikan momen terbaik. Bukan lagi momen terakhir mendiang Raja Cos Valentine II yang ingin mereka abadikan, tapi kehadiran wanita cantik misterius yang tiba-tiba muncul di tengah prosesi yang akan dijadikan berita menggemparkan koran-koran besar, untuk dinikmati rakyat yang haus ingin tahu kehidupan keluarga kerajaan yang terselubung tembok tebal dan misteri. Setelah tanah pemakaman habis ditimbun dan semua peristiwa singkat kemunculan gadis itu terasa seperti sihir, Josephine mendekati La Vie. Ia menatapnya penasaran sekaligus sinis, mengira wanita itu selingkuhan lain suaminya. Raja Cos Valentine II dikenal kalangan dalam istana amat lihai menggoda wanita karena parasnya yang tampan dan mata hijaunya yang indah, di tambah gelarnya sebagai raja membuat semua wanita takluk dengan mudah. Josephine yang tabah untuk memperjuangkan posisinya tetap sabagai ratu utama dan satu-satunya harus mengurus semua simpanannya, yang masih ia cintai atau sekedar penghibur. Entah menyingkirkan mereka dengan cara halus atau menghilangkannya dari dunia bila membahayakan posisinya. Tiap kali Josephine menyingkirkan para wanita itu ia akan bertengkar hebat dengan Cos Valentine II. Pria itu tak pernah mencintainya, mereka menikah sekedar untuk memperoleh sokongan keluarga bangsawan yang dipimpin ayah Josephine, ketika hukum kuno kerjaan masih berlaku di mana pemilihan raja masih dipengaruhi suara bangsawan. Ketika para bangsawan lengah ditandai dengan meninggalnya ayah Josephine, ia membalik hukum kerajaan dan berlindung dibalik partai untuk meluluskan ambisinya. Sayang saja partai bentukan para bangsawan tetap masih yang paling berkuasa, dibanding partai bentukan rakyat yang membuat niatnya menyingkirkan Josephine hilang di awang-awang. Cos Valentine II tak ingin kehilangan takhta yang bisa saja jatuh pada saudara kembarnya. Hidup dan keberadaan Josephine selanjutnya tak lebih hanya rahim berjalan untuk melahirkan keturunan. Setelah Victor Leopold lahir dan Rhine Julia Leopold Hasburg hadir sebagai bentuk kecelakaan, ia tak pernah disentuh lagi. Usang disudut istana bagai pajangan tua. Hampir semua wanita bangsawan yang punya akses khusus keluar masuk istana mengetahui kisah hidupnya. Sebagian menyebutnya wanita malang, sebagian menganggap ia bodoh dan terlalu ambisius. Bertahan hanya untuk tahta dan menderita hampir sepanjang masa mudanya hingga kecantikannya yang legendaris menua termakan kesedihan. Tangis Josephine hari ini tak lebih hanya kelakar. Ia sudah sering berakting menangis di depan cermin ketika melihat wajahnya sendiri. Kematian Cos Valentine II adalah sebuah hadiah paling besar yang berani ia harap dari kehidupan. Josephine menatap liang lahat sekilas begitu merana dan dengki, "Apa kau simpanannya yang lain?" La Vie menyeringai angkuh, "Simpanan? Kau ingin tahu siapa aku?" Ia mendekatkan bibirnya yang terpulas lipstik merah ke telinga wanita itu sambil berbisik lirih, "La Vie En Rose" La Vie mengamati Josephine ingin melihat ekspresi kejut di wajahnya. Tak seperti yang ia duga,  wanita itu tiba-tiba tertawa nyaring dan tajam. Saat itu semua wartawan sudah pergi, hingga topeng dukanya bisa ia lepas sesuka hati. "Oh... Kau kembali?" tukasnya setelah menenangkan diri. "Ras b***k" Mendengar penghinaan pertama kali, wajah La Vie merah padam. Tangannya sudah mengepal berharap bisa menamparnya dengan keras tapi ia tahu tak bisa melakukannya. Mencederai keluarga kerajaan akan membuatnya dihukum berat dan perjuangannya kembali hanya sia-sia. Ia memilih membalas hinaan itu dengan senyum tanpa beban. Ia mengedarkan pandangan jauh seolah sedang mencari sesuatu, "Mungkin aku perlu berbicara dengan para wartawan, mereka begitu bersemangat melihatku muncul" Josephine mengerutkan bibir, "Kau menggertak?" La Vie tersenyum polos memprovokasi, "Apa aku terlihat seperti itu?" Melihat situasi yang memanas dan tatap penasaran para bangsawan pencari bahan gosip ke arah mereka, membuat Victor Leopold tak bisa diam saja. Ia mengajak Rhine bersamanya membujuk Josephine karena ia yang paling dekat dengan ibunya. Sementara ia sendiri berniat mengurus La Vie. Kemunculan gadis itu di tengah pemakaman cukup membuatnya tercengang. Berbeda dengan kesepakatan mereka sebelumnya. "Yang Mulia, sebaiknya ini diakhiri" kata Victor Leopold berbisik. "Mama, sebaiknya kita pulang" bujuk Rhine. Melihat anak-anaknya membujuk dan tatapan para bangsawan yang seperti harimau lapar berusaha memangsa sisi buruk mereka, Josephine memilih mundur. "Kita akan bicarakan ini lagi nanti... Itu jika... kau masih punya ijin tinggal sampai besok" Rhine memegang lengan Josephine menuntunnya pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum jauh, ia berpaling sepintas ke belakang menatap La Vie lalu kembali pada wajah ibunya. Belum pernah ia melihatnya sampai semarah itu. Rhine yang tergolong masih muda tak begitu tahu banyak rahasia gelap istana bahkan ketidak akraban orangtuanya. Josephine begitu mengontrol dan menjaga  apa yang bisa dan tidak bisa didengar putrinya. Sikapnya berbeda pada Victor Leopold, lebih keras bertangan dingin membuat mereka tak cukup akrab, tapi Victor Leopold cukup patuh karena tahu kuasa dan kekejaman ibunya seolah jadi legenda istana. Dalam perjalanan kembali menuju istana, untuk menenangkan Josephine yang wajahnya masih tegang, Rhine menggenggam tangannya. Wanita itu tersenyum. "Mama baik-baik saja?" Josephine menepuk punggung tangan gadis itu, "Semua baik-baik saja" Dengan hati-hati tapi ingin tahu, Rhine memberanikan diri bertanya tentang gadis asing itu. "Siapa wanita yang tadi muncul sampai membuat Mama sangat marah?" "Marah?" Josephine tersenyum seolah tak berbeban, "Dia hanya... Pengganggu yang akan hilang kalau diinjak dengan keras seperti kecoa" Mendengar ucapan dan wajah ibunya, Rhine tahu tak perlu melanjutkan pertanyaannya lagi. Victor Leopold melangkah cepat meninggalkan La Vie di belakang. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan membuatnya kesulitan melangkah di atas rumput dan gundukan tanah tak rata. Sesekali ia hampir terjatuh, membuat kesabaran yang ia bangun untuk memahami Victor Leopold hilang. La Vie melepas sepatunya dan membantingnya keras untuk menarik perhatian pria itu. Victor Leopold berpaling dengan rona masam. Ia meminta pengawal di sekitarnya menjauh menyisakan mereka berdua di kelilingi hampar mawar merah yang indah. "Aku sudah memintamu untuk menahan diri. Kau bisa datang setelah penobatan. Apa susahnya menunggu?" Victor setengah berteriak. "Aku sudah menunggu selama 23 tahun dan kau masih memintaku menunggu lagi? Keluargamu yang terhormat itu bahkan memasukkan aku dalam daftar hitam sampai aku tidak bisa masuk ke tanah airku sendiri. Hari ini setelah kematian Ayahmu untuk pertama kalinya aku bisa merasakan menginjak tanah ini. Pernahkah kau pikirkan menjadi aku? Di Rusia aku hidup jadi orang asing dan di sini juga tetap dianggap asing... Lalu ke mana aku harus pergi?" La Vie meluapkan emosinya. Victor Leopold melihat dari jauh dengan muka kecut. Tersadar sudah membuat pria itu tersinggung, ia mendekatinya kemudian memeluknya. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud berteriak padamu, aku hanya tidak bisa menahan emosi... Bisakah kau memaafkanku?" Suara La Vie yang lembut seperti racun bereaksi dengan cepat dalam tubuhnya. Victor Leopold pada akhirnya memikirkan ulang pendapatnya. "Sudahlah, lupakan saja. Jika kau memelukku seperti ini orang yang melihat akan salah paham" La Vie melepas pelukannya lalu memungut sepatunya. Mereka berdua tak menyadari jika dari jauh seorang lelaki berseragam tentara militer melihat apa yang mereka lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD