3. Wedding

1561 Words
Bagas’s POV Aku nggak bisa mendeskripsikan secara pasti apa yang tengah berkecamuk di hati. Yang jelas aku lega, bahagia, meski aku tahu ini adalah langkah awal untukku dan Derra membina rumahtangga dan menaiki kapal bersama menuju dermaga ridho Illahi. Aku tahu, perjuangan seseungguhnya akan dimulai setelah aku dan Derra resmi menjadi sepasang suami istri yang sah di mata agama dan negara. Namun setidaknya pernikahan adalah tonggak sejarah kehidupan baru kami, di mana sebagian nyawaku menjadi nyawanya. Sebagian duniaku menjadi dunianya. Air mataku menjadi kesedihan untuknya dan tawa senyumnya menjadi kebahagiaan untukku. Perasaanku deg-degan tak menentu kala pak Angkasa mengulurkan tangannya menjabatku. “Saudara Bagas Pradhipta bin Rahmat Susanto saya nikahkan dan kawinkan anak kandung saya Derra Azalia binti Angkasa Wijaya kepada engkau dengan mas kawin hafalan surat Ar Rahman dan seperangkat alat sholat, tunai.” Aku menghela napas sejenak. Bismillah.. “Saya terima nikah dan kawinnya Derra Azalia binti Angkasa Wijaya dengan mas kawin tersebut tunai.” Selanjutnya kupejamkan mataku dan kufokuskan pikiranku untuk melantunkan surat Ar Rahman sebagai mahar pernikahan kami atas permintaan ayah mertua. Aku lafalkan dengan mata terpejam agar lebih khusyu dan fokus. Perasaanku begitu gugup di awal, namun setelah melantunkan beberapa ayat, aku sudah dapat mengontrol perasaanku untuk menjadi lebih tenang. Seusai melantunkan surat Ar Rahman ada perasaan lega dan syukur yang teramat besar, rasanya tak bisa diungkapkan, apalagi setelah mendengar kata “sah” membahana di seantero ruangan. Tak terasa air mataku menetes. Tidak mudah untuk bisa berada di titik ini. Rasanya perjuangan kami yang dipenuhi drama air mata dan sempat menemui jalan buntu terbayar semua hari ini. Derra keluar ruangan diapit oleh ibunya dan kakak iparnya, ibu dari Raynald, salah satu muridku. Aku terkesima menatap wajahnya yang terlihat begitu cantik, memukau seperti bidadari. Wedding dressnya yang bernuansa putih dengan asesoris bunga-bunga dan mutiara membuat penampilannya terlihat semakin elegan. Sungguh aku seperti melihat bidadari menjelma padanya, atau bahkan dia jauh lebih menawan dibanding bidadari sekalipun. Aku teringat bagaimana kami bermusuhan dulu. Aku pernah menyebutnya artis yang tidak elegan karena sembarangan menerima tawaran undangan ke acara tertentu. Aku dulu memang begitu jahat padanya, memandangnya sebelah mata dan selalu menganggapnya anak kecil karena waktu itu dia masih 19 tahun. Dia menikah tepat di ulangtahunnya yang ke-20. Mungkin pernikahan ini akan menjadi kado terindah dalam hidupnya. Gaya hidup kami memang berbeda. Dia terbiasa hidup mewah sedang aku terbiasa hidup sederhana. Namun itu tak menjadi kendala karena aku lihat dia berusaha untuk mengurangi sikap borosnya dan menyesuaikan life style-ku yang sederhana. Derra duduk di sebelahku. Dia menjabat tanganku dan menciumnya. Kutatap wajahnya sedemikian lekat. Aku tak perlu lagi takut berdosa karena zina mata di saat aku menatapnya begitu tajam, seakan menelusuri setiap detail wajahnya. Di mataku dia begitu sempurna, tak peduli apapun kekurangannya. Wanita ini yang akan mengisi celah kosong diantara jari-jariku dengan jari-jarinya. Wanita ini yang akan menjadi tempat berbagi dan selalu mendampingiku dalam susah maupun senang. Wanita ini yang mengisi hatiku, entah saat ini, esok, nanti dan selamanya..kuharap hanya namanya yang selalu bertahta di hati hingga ajal memisahkan. Wanita ini, yang akan membuatku mampu berdiri tegak dan menantang dunia. Sebesar apapun rintangan yang menghadang, kami akan saling menguatkan. Wanita ini yang akan menyempurnakan hidupku hingga aku berpikir aku tak butuh apa-apa lagi asal ada dia bersamaku. Dia adalah duniaku dan dia separuh nyawaku. Kukecup keningnya begitu lembut. Kecupan kening pertama untuk kami. aku tak tahu apa yang dia rasakan. Tapi aku bisa melihat keharuan yang menyeruak dari sorot matanya yang berkaca. Titik bening itu akhirnya menetes. Kuusap ubun-ubunnya dan aku berdoa memohon kebaikan untuk kami. Kami saling menatap dengan cinta yang membara. Rasanya ingin kuhentikan waktu sejenak dan menatapnya lebih lama. Kukecup keningnya sekali lagi. Kami saling menatap dan melempar senyum. ***** Malam ini kami begitu kelelahan dan menginap semalam di rumah mertua. Seharian tadi rasanya begitu melelahkan karena banyaknya tamu undangan yang harus kami salami, seolah tak ada hentinya. Bapak ibu, adikku Asti dan kerabatku yang hadir menginap di rumahku. Besok mereka akan bertolak kembali ke Purwokerto. Ayah dan ibu mertua sempat menawari bapak ibu untuk tinggal lebih lama barang sehari dua hari karena mereka ingin mengajak bapak ibu liburan, tapi sayangnya bapak ibu ada kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Ibu masih mengajar di SMP sedang bapak mengurusi sawahnya yang sedang musim tanam, di tempat tinggalku menyebutnya musim tandur, di mana para petani mulai menyemai kembali benih di sawah. Aku menghargai bagaimana cara ayah dan ibu mertua menyambut keluargaku. Ayah mertua meminta asistennya untuk mengantar makanan ke rumahku. Sudah dipastikan segala kebutuhan keluarga selama berada di Jakarta dipenuhi dengan baik. Background keluargaku dan Derra memang begitu jauh berbeda, namun aku sudah berkomitmen dengan Derra bahwa segala perbedaan diantara kami tidak akan menjauhkan kami, justru semua itu akan menjadi pelengkap dan pemanis hubungan kami. Aku terbaring di kamar pengantin yang dihiasi dengan bunga-bunga asli dari mawar dan kenanga. Aromanya begitu harum dan menenangkan. Kulihat Derra sudah berganti gaun tidur terusan yang panjang roknya di atas lutut. Kerah gaunnya lebar hingga menampakkan daerah di bawah lehernya terekspos. Rasanya napasku jadi naik turun begini. Aku belum pernah melihat Derra mengenakan gaun yang terbuka bagian bawah lehernya. Selama ini dia selalu mengenakan gaun dengan kerah model biasa, tidak melebar. Dia memang menghindari itu. Mungkin prinsipnya untuk tidak mengenakan pakaian terbuka menjadi alasan banyak orang menyukainya. Kendati video tangisnya sempat viral, itu sama sekali tidak bepengaruh pada pandangan netizen terhadapnya. Derra memiliki banyak penggemar bahkan banyak yang begitu fanatik menyukainya. Aku harap suatu saat dia akan mengenakan hijab namun aku tak akan memaksanya. Keinginan berhijab harus datang dari hatinya sendiri, sedang tugasku sebagai imamnya adalah mengarahkan dan membimbingnya. Derra duduk di sebelahku. Dia melirikku sejenak lalu merebahkan badannya. Kami saling menatap. Sebelumnya kami sudah menjalankan sholat sunah dua rekaat. Kugeser badanku untuk bisa lebih dekat dengannya. Kudaratkan kecupanku di keningnya, lalu menurun ke mata dan pipinya. Menatapnya sedemikian dekat membuat dadaku berdebar-debar. Sepertinya dia juga merasa gugup. Kuusap bibir Derra. Dulu aku selalu mengenyahkan pikiranku jauh-jauh saat membayangkan kami b******u begitu mesra, dan sekarang aku sudah memiliki hak untuk melakukannya. Kudekatkan wajahku padanya. Namun aku berhenti. Aku belum pernah berciuman dengan siapapun, Derra juga begitu. Kini aku bingung bagaimana harus memulai. “Mas..” Ujar Derra lirih. “Kok berhenti?” Tanyanya dengan sorot mata sebening kristal. “Ehmm.. gimana caranya ciuman Der? Mas kan belum pernah ciuman.” Derra tersenyum dan tertawa kecil, “emang mas pikir Derra pernah ciuman? Ya niru yang ada di film mas. Derra punya drama Korea yang ada kissingnya, mau lihat nggak?” Aku mengangguk, “boleh deh.” Satu hal kenapa aku mempertahankan Derra dan mati-matian berjuang untuknya adalah, Derra tidak terbawa arus untuk berpacaran. Ini sangat langka, apalagi pekerjaannya mengharuskannya bergaul dengan banyak kalangan dengan beragam latar belakang. Banyak sekali kesenangan duniawi yang semu menjadi godaan berat untuknya, namun dia tidak terpengaruh. Dulu dia memang pernah clubbing, tapi itu sebatas menghadiri undangan teman dan dia tak meminum alkohol. Derra menunjukkan satu adegan kissing yang dilakoni dua pemain drama Korea. “Lihat mas, ciumannya lembut dan romantis. Mungkin kita bisa belajar mulai dari ini.” Derra tersenyum menatapku. “Matanya sambil terpejam ya?” Tanyaku. Derra tertawa sekali lagi, “nggak harus terpejam. Cuma kan aneh ciuman sambil melotot. Kalau terpejam lebih bisa menghayati.” Kami saling menatap sekali lagi. Rasanya jadi deg-degan begini. Kuberanikan untuk mendekatkan wajahku. Kukecup bibirnya. Kami sempat bertahan di posisi ini satu dua menit untuk saling mengecup, sampai akhirnya entah siapa yang memulai, kami memainkan insting. Bibir kami saling memagut dan berciuman begitu dalam hingga mengarah ke ciuman panas. Deru napas kami tak stabil dan terengah-engah semantara debaran di dadaku semakin menguat. Sumpah deg-degan banget. Tapi memang namanya ciuman itu benar-benar memabukkan. Manusia itu terlahir dengan dibekali insting. Insting property yaitu insting untuk mendapat materi kekayaan dan kedudukan, insting religion yang artinya insting untuk mendapatkan kesucian dan ketenangan hidup, sedang yang ketiga insting s*x yang berarti insting untuk mencari kenikmatan hidup. Aku sudah bisa membayangkan gimana rasanya s**s itu dari mimpi basah. Ciuman saja rasanya deg-deg seerrr begini apalagi lebih dari itu. Meski aku dan Derra belum berpengalaman sebelumnya, namun dengan bermodalkan insting s*x tadi aku yakin kami bisa melakukannya dan tidak akan salah sasaran karena dalam surat Al-Baqarah ayat 223 pun sudah dijelaskan bahwa suami bisa mendatangi istri dari arah manapun, selama tidak melakukan s**s anal, karena hukumnya haram. Jujur aku menginginkan keintiman lebih dengan Derra malam ini juga, namun melihat wajah Derra yang terlihat kelelahan rasanya tak tega juga. Aku mencium bibirnya sekali lagi. Derra membalasnya dengan gairah yang sama hebatnya dengan gairahku. Agak ragu juga untuk meneruskan atau tidak. “Der...” “Ya mas..” “Gimana rasanya ciuman?” Derra tersipu. Dia tak menjawab. Namun dari senyumnya aku sudah tahu jawabannya. “Mas bisa ngrasain sendiri.” Ucapnya. “Mas lihat kamu kayak kecapaian ya? Mungkin sebaiknya kita istirahat aja. Masih banyak waktu. Besok mungkin akan lebih maksimal saat kita dalam keadaan fresh.” Kuusap pipinya lembut. Derra mengangguk, “iya mas. Derra capek banget dan pingin tidur awal. Emang nggak apa-apa mas kalau kita lanjut besok?” Kuulas senyum, “nggak apa-apa sayang. Mas juga capek banget. Ya udah mending kita tidur, terus Derra mas kelonin ya.” Derra tersenyum dan lagi-lagi pipinya merona. Kami tidur bersebelahan. Kudekap istriku dalam pekukanku. Sebelum mata ini benar-benar terpejam, kukecup keningnya sekali lagi dan aku berbisik di telinganya, “I love you my wife.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD