2. Menaklukkan Bapak Mertua

2064 Words
Bagas mematung di depan cermin. Pakaian yang digunakan sudah rapi, kelihatan licin habis disetrika, bahkan kalau dilewati nyamuk juga rasa-rasanya nyamuk itu bakal terpeleset. Bagas mungkin tidak begitu ahli memasak, tapi urusan menyetrika pakaian dia jagonya. Dia pernah berpikir, membangun usaha laundry mungkin bisa jadi alternatif usaha di masa depan saat dia pensiun. Bagas itu emang unik, menarik dan rada antik. Julukan “suamiable banget” seringkali disematkan padanya. Nggak cuma suamiable tapi juga “available”, ini yang penting. Sayangnya sejak Bagas digosipkan dengan artis muda bertalenta Derra Azalia, cewek-cewek yang pernah mengharapkan cinta Bagas, pelan-pelan mundur. Iyalah, siapa yang sanggup bersaing dengan Derra? Yang cantiknya melebihi Cleopatra, masuk dalam jajaran artis papan atas berpenghasilan fantastis dan anak dari pengusaha terkenal Angkasa Wijaya. Banyak cewek maupun cowok yang patah hati dan merana melihat kedekatan Bagas dan Derra. Bersyukur Bagas memiliki Adi sebagai sahabat terbaik dan soulmate dalam suka dan duka. Karena Adi pula, Bagas sekarang dekat juga dengan Andra, cowok yang sebelumnya dojodohkan dengan Derra. Bagas merasa berhutang budi padanya karena dialah yang berinisiatif mengantar Derra ke Baturaden. Malam ini Andra akan turut serta ke rumah orangtua Derra untuk berbicara pada pak Angkasa bahwa dia menolak dijodohkan dengan Derra. Bagas tak begitu tahu cara berpenampilan ala anak muda zaman sekarang. Dia merasa di usianya yang 27 tahun sudah bisa dibilang matang untuk menikah. Dulu targetnya menikah umur 25, tapi apa daya di umur sekaranglah dia baru bertemu seseorang yang membuatnya mantap ingin mengajak naik pelaminan. Berkat sentuhan Adi dan Andra, penampilan Bagas saat ini terlihat modis namun tetap rapi dan sopan. Oleh-oleh khas Purwokerto sudah ia siapkan. Ada mendoan sawangan, nopia, jenang jaket dan gethuk goreng. “Oleh-oleh buat nyuap camer ini ya...” Adi mengamati oleh-oleh itu satu per satu. “Bukan untuk menyuap tapi untuk sedikit mengambil hatinya.” Balas Bagas sambil menyisir rambutnya. “Sama aja keles. Mudah-mudahan misi malam ini berhasil. Kalau pak Angkasa masih belum juga mau ngasih restu mah kebangetan banget. Gue yakin beliau udah lihat video tangisan Derra di instagram.” Balas Andra. “Aamiin. Yang pasti aku bakal usaha yang terbaik.” Tukas Bagas mantap. Bagas melaju menuju rumah orangtua Derra bersama Andra. Sepanjang perjalanan bibirnya berkomat-kamit untuk dzikir dan doa. Menghadapi pak Angkasa itu rasanya seperti akan menghadapi dosen pembimbing yang rada killer. Skripsi yang sudah disusun sedemikian sempurna pada akhirnya bakal penuh coretan belum lagi diiringi omelan karena datanya kurang ini itu. Berkali-kali Bagas menghembuskan napas untuk menetralisir rasa gugup. “Dibawa santai aja Gas. Jangan terlalu gugup.” Andra yang tengah menyetir sesekali melirik Bagas. “Sumpah rasanya lebih deg-degan dibanding saat sidang skripsi.” Andra tertawa, “santai aja Gas. Menghadapi om Angkasa itu kuncinya lo mesti percaya diri. Jangan sekali-kali nunjukin kalau lo ragu, nggak yakin. Termasuk saat om Angkasa nanyain soal bisnis, jawaban lo mesti meyakinkan. Yang jadi masalah utama kan beliau meragukan kemampuan lo kan?” Bagas mengangguk, “Iya Ndra kayaknya aku mesti meyakinkan diri aku sendiri. Aku bakal berusaha untuk terlihat meyakinkan.” “Bagus.. Eh gue ngomongnya pakai gue-lo nggak papa kan? Soalnya kan untuk yang bukan asli Jakarta kadang kurang sreg denger gue-lo atau ngucapin gue-lo. Sementara gue kalau udah akrab ama orang, kebiasaan ngomongnya gue-lo.” Andra terkekeh. Bagas tertawa kecil, “santai aja Ndra. Aku udah lama tinggal di sini. Aku paham banget ama bahasa gaul dan non baku di sini. Kalaupun aku lebih seneng ngomong aku-kamu itu kerena soal kebiasaan aja. Dari kecil aku ngomongnya aku-kamu, bahkan biasanya pakai bahasa jawa Ndra, aku, inyong, kowe, sampeyan, kalau bahasa halusnya aku itu kulo, kamu itu panjenengan.” Andra tersenyum lebar, “menarik juga ya bahasa Jawa, ada tingkatannya juga ya bahasa Jawa, ada yang kasar ada yang halus.” “Iya. Sama kayak bahasa Sunda juga gitu. Di bahasa Indonesia juga ada kan tingkatan kata yang sopan, formal, yang nggak baku dan gaul. Tergantung situasi aja makainya.” Andra mengangguk, “iya benar.” Tak lama kemudian mereka tiba di rumah orangtua Derra. Bagas menghembuskan napas sekali lagi berharap pak Angkasa akan luluh melihat perjuangan cintanya dan Derra. Ayah dan ibu Derra menyambut kedatangannya dan Andra dengan sikap yang lebih bersahabat. Bagas berpikir, mungkin karena ada Andra karena itu mereka bersikap lebih ramah. Bagas terpana melihat penampilan Derra yang agak formil dengan dressnya. Rasanya dia sudah tak sabar ingin cepat-cepat menikahi Derra agar matanya terselematkan dari yang namanya zina mata. Bagas menyerahkan oleh-oleh khas Purwokerto pada calon bumernya. Wida mengucap terimakasih. “Om tante sebelum Bagas menyampaikan tujuannya datang ke sini, Andra ingin membicarakan sesuatu.” Ucap Andra sesopan mungkin. “Silakan nak.” Angkasa menatap Andra yang terlihat meremas jari-jari tangannya. “Sebelumnya Andra mohon maaf ya tante dan om, Andra tidak bisa melanjutkan perjodohan Andra dan Derra. Derra mencintai Bagas. Mungkin om dan tante sudah lihat sendiri bagaimana perjuangan mereka. Jadi Andra mendukung mereka dan mendoakan yang terbaik untuk mereka.” Sebenarnya Angkasa sudah menduga bahwa Andra akan menolak perjodohan ini. Kemarin dia dan istrinya melihat video Derra menangis meraung-raung seperti anak kecil di **. Giandra yang memberi tahu. Wida tersentuh dan ikut menitikkan air mata melihat putrinya begitu terluka. Angkasa teringat akan perkataan Giandra, “ayah laki-laki seperti Bagas itu jarang. Agamanya baik, dia juga bisa menjaga Derra dengan baik. Soal penghasilan, Gian yakin akan ada masanya Bagas bisa meningkatkan kondisi finansial dia. Lagipula pekerjaan dia bagus kan? Dia seorang guru. Setahu Gian, kesejahteraan guru di SMA swasta dan elit macam SMA Flamboyan itu terjamin. Ada Allah yang menjamin rizqi. Namanya harta dan kedudukan, itu hanya titipan. Kalau Allah berkehendak, titipan itu bisa hilang dalam waktu sekejap. Jadi untuk apa kita berpikir bahwa uang akan menjamin masa depan kita? Mungkin banyak pria mapan yang tertarik pada Derra, tapi pria yang rajin ibadah, sederhana, nggak neko-neko seperti Bagas itu sudah sangat langka yah.” Angkasa mengulas senyum, “tidak apa-apa nak Andra. Nak Andra punya hak untuk memutuskan segala sesuatu, apalagi terkait urusan besar seperti ini. Om menghargai keputusan nak Andra.” Andra tersenyum, “makasih banyak om.” “Oya sekarang giliran Bagas. Apa yang ingin kamu sampaikan?” Angkasa beralih menatap Bagas yang tampak lebih rapi dari biasanya. Bagas mengucap basmalah. “Begini om dan tante, kedatangan saya ke sini untuk kembali meminta restu dari om dan tante. Bagas sudah sangat yakin ingin melanjutkan hubungan Bagas dan Derra menuju jenjang yang lebih serius.” Bagas sesekali melirik Derra yang duduk di sebelah ibunya. “Ya, om sudah bisa menabaknya. Kamu benar-benar serius ingin menikahi Derra? Apa kamu yakin bisa membahagiakannya?” Bagas mengangguk, “insya Allah. Saya serius ingin menikahi Derra dan saya akan berusaha yang terbaik untuk membahagiakannya.” Angkasa mengangguk, “okey, tapi saya minta satu syarat.” Bagas membelalak, “syarat apa om?” “Saya ingin kamu masak untuk kami.” Bagas dan Andra berpandangan. Derra melongo tak mengerti kenapa ayahnya meminta Bagas untuk memasak. “Maksud saya memintamu masak adalah karena syarat untuk menjadi suami Derra, dia harus terampil di dapur dan membantu pekerjaan rumahtangga. Kenapa? Karena saat nanti istri berhalangan, misal karena hamil dan melahirkan, suami harus bisa terampil menggantikan tugas istri. Saya tidak suka laki-laki yang mengandalkan asisten untuk membantu segala sesuatu di saat istri berhalangan.” Jelas Angkasa. Bagas bisa memahami maksud calon mertuanya. “Silakan kamu ke dapur. Di kulkas sudah ada cumi-cumi yang udah dipotong-potong, tinggal dimasak aja. Saya ingin kamu masak cumi-cumi sekarang juga.” Modyaarr... Seumur-umur Bagas belum pernah masak cumi-cumi. Jam terbang memasaknya hanya seputar masak nasi goreng, mie instant, tumis kangkung dan bikin telur dadar saja. Untuk urusan masak mah Andra jagonya. Bagas berdiri di dapur dan manatap bahan cumi-cumi yang sudah tersedia di meja. Untuk bumbu-bumbu maupun cara mengolahnya, dia sama sekali nggak memiliki gambaran. Rasanya semakin deg-degan, takut kalau misi ini gagal. Andra yang tengah duduk di ruang tengah bersama Derra berpikir keras bagaimana membantu Bagas untuk memberitahu bumbu-bumbunya. Mengirim WA rasanya tidak mungkin karena sesekali pak Angkasa bolak-balik ke dapur untuk mengawasi. Kalau ketahuan nyontek resep dari WA, Bagas bakal didiskualifikasi jadi calon mantu. Dia dan Derra menatap layar televisi namun pikirannya melayang pada Bagas yang tengah berjuang di dapur. Bagas masih bingung bagaimana memulainya. Tinggal bilang ya aja susah amat, pakai nyuruh masak segala, pekiknya dalam hati. Andra menatap Derra lalu melirik-lirik pak Angkasa yang sedang menerima telpon di samping rumah. “Der, tadi siang aku belanja bawang merah, bawang putih, bawang bombay...”Andra sengaja menaikkan intonasi suaranya dan menyebutkan bumbu itu pelan-pelan agar Bagas bisa mempersiapkannya. Bagas yang mendengar ucapan Andra mengerti bahwa Andra sedang memberi tahu tentang bumbu-bumbu yang ia perlukan untuk mengolah cumi-cumi. “Alhamdulillah ada diskon gitu Der. Terus aku juga beli paprika merah, jahe, kalau jahe sih nggak usah banyak-banyak ya, cukup seujung kuku aja, kalau kebanyakan ntar ada rasa getir gitu kan?” Derra senyum-senyum mendengar cara Andra memberi tahu Bagas tentang bumbu-bumbu masak. Gimana caranya beli jahe di swalayan cuma seujung kuku. Derra menahan tawanya. Derra berharap Bagas bisa memahami maksud Andra. “Terus aku juga beli daun jeruk, tiga atau lima lembar cukup lah. Beli asam jawa juga biar ada rasa asemmya, maizena buat ngentelin paling dua sendok aja, terus aku beli juga tuh cabai rawit, cabai merah, gula ama garam juga nggak ketinggalan. Itu bumbu-bumbu kalau dihalusin bisa buat masak macam-macam Der. Oya ada lagi yang aku beli, saos tiram, kecap manis, jeruk nipis ama daun bawang.” Bagas begitu gesit memanfaatkan kesempatan untuk mencatat bumbu-bumbu yang disebutkan Andra di smartphonenya. Soal takaran, insya Allah dia bisa menggunakan feeling karena pengetahuan masaknya nggak nol-nol amat. Dia terbiasa tinggal sendiri di Jakarta karena itu dia terbiasa memasak. Bagas menghaluskan bumbu-bumbu itu dengan food chopper. Sekalipun Bagas tidak memiliki alat itu namun dia pernah melihat chef menggunakan alat itu untuk menggiling bumbu di acara demo masak di salah satu mall. Bagas mengolah cumi-cumi seperti saat sedang menumis sayuran, hanya bumbunya lebih lengkap. Bagas bisa bernapas lega saat masakannya sudah matang. Dia menghidangkannya di meja makan. Angkasa dan Wida bersiap untuk mencicipi masakan Bagas. Bagas deg-degan menunggu penilaian dari calon mertuanya. Jantungnya terasa berpacu lebih cepat. Derra tersenyum untuk memberi Bagas dukungan. “Hmm... masakannya lumayan ya. Nggak enak-enak banget, tapi juga nggak ancur juga sih.” Ujar Angkasa. “Ya lumayanlah untuk ukuran cowok.” Wida menatap suaminya. Bagas menghela napas. Ia harap bisa lulus di tantangan kali ini. “Baiklah kalau gitu, kami merestui kalian. Segera beritahu orangtuamu, saya ingin pernikahan ini segera dilaksanakan. Kemarin ayah lihat kalian peluk-pelukan di **, ayah khawatir nanti malah jadi kebablasan.” Kata-kata Angkasa meluncur lugas. Bagas menganga sekian detik, memastikan apa didengarnya barusan benar-benar nyata atau hanya di mimpi? Derra tersenyum lebar. Dia memeluk ayah dan ibunya bergantian. “Makasih banyak ayah. Ibu...” Derra mendekat ke arah Bagas, “mas alhamdulillah perjuangan kita berbuah manis. Mas harus segara memberi tahu bapak dan ibu.” Bagas tersenyum. Dia bahkan belum berterimakasih pada calon mertuanya. “Om dan tante makasih banyak atas restu yang diberikan untuk Derra dan Bagas. Insya Allah saya akan secepatnya memberitahu bapak dan ibu saya di kampung.” Angkasa dan Wida mengangguk dan mengulas senyum. Derra mengantar Bagas dan Andra sampai pelataran. “Makasih banyak ya Ndra, kalau kamu nggak bantuin, aku nggak tahu deh bisa masak apa nggak. Mungkin rasanya bakal ancur banget.” Bagas tersenyum lega. Saat ini ada buncahan kebahagiaan yang melompat-lompat di hatinya. “Santai aja Gas. Namanya teman udah seharusnya saling bantu kan?” Andra tersenyum menatap Bagas dan Derra bergantian. “Der, mas pulang dulu ya. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Kamu jangan lupa istirahat. Besok kamu bakal ngisi acara di tv swasta kan?” Bagas berkata lembut dan menatap Derra dengan tatapan penuh cinta. “Ya mas, mas Bagas juga istirahat yang cukup.” Mereka saling melempar senyum. “Udah cepet masuk. Ntar kalau udah halal dipuas-puasin deh saling menatap. Awas zina mata.” Tukas Andra dari dalam mobil. Ia menirukan ucapan teman SMAnya yang aktif dalam ekstrakurikuler Rohis. Tiap Andra menatap lekat ke cewek yang dia suka, temannya ini akan mengingatkannya untuk tidak berzina mata. Derra dan Bagas tertawa kecil. “Iya ustadz.” Balas Bagas sambil masuk ke dalam mobil. “Kita pulang dulu ya Der.” Ujar Andra sambil melajukan mobilnya keluar pintu gerbang. Derra melambaikan tangannya dan mengucapkan terimakasih sekali lagi pada Andra yang telah membantu kelancaran malam ini. Derra tersenyum dan hatinya berbunga-bunga membayangkan indahnya pernikahannya dengan Bagas kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD