Mikha merasa terjebak sekarang, semakin hari melihat Dominic, semakin besar kekagumannya, jantungnya bahkan berdebar tak karuan saat pria itu tersenyum ke arahnya, ya ... entah itu memang benar atau hanya perasaannya saja, Mikha merasa pria itu hanya tersenyum padanya, sebab dia selalu menunjukkan wajah datarnya pada orang lain, bahkan meski itu seperti seringaian namun Dominic selalu menunjukkannya padanya.
Pria itu melewatinya, keluar dari ruang rapat diikuti para karyawan, namun saat melewati mejanya dia menyempatkan untuk tersenyum.
Lihatlah, entah kenapa wajah Mikha terasa panas sekarang, pipinya pasti merona, entah kenapa semakin Mikha mengelak, perasaannya justru semakin besar.
Kenapa harus dia?
Kenapa harus pria tua itu, yang usianya bahkan 20 tahun di atasnya?
Kenapa harus pria beristri itu?
Mikha mengacak rambutnya frustasi. Dia bahkan telah tidur dengannya.
Di jam pulang kerja Mikha menunggu Mich menjemputnya, sebab tadi pagi pria itu mengantarnya dan berjanji akan menjemputnya, namun hingga kini dia tak juga datang "Kemana sih, tau begini aku bawa mobil sendiri," gumamnya kesal.
Mikha mendongakan wajahnya dan menemukan awan mendung di atas sana "Akan hujan," gumamnya lagi. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di depannya, dan tentu saja dia tahu mobil siapa itu.
"Mikha, masuklah!" titahnya tegas pada Mikha.
"Tidak Tuan, aku menunggu Mich." mana mungkin dia menerima ajakan CEO-nya itu, bisa- bisa akan menjadi gosip nanti, dia diam saja banyak yang tidak suka padanya, dan entah kenapa Mikha sangat tak nyaman dengan tatapan tak suka dari karyawan lain, apalagi sekarang jika dia ikut dengan Dominic, akan di sebut apa dia nanti,
terlebih lagi dia kini sedang menghindari pria itu.
"Hari sudah malam dan akan hujan, kamu tidak lihat," tunjuknya ada awan gelap di atas sana, dan benar saja hujan turun tanpa aba- aba dan sangat deras.
"Tidak perlu khawatir, Tuan. Aku baik- baik saja, eh-" Mikha terperanjat saat Dominic justru keluar dan langsung menariknya untuk masuk.
"Kenapa keras kepala sekali." Dominic mengibas pakaiannya yang terkena hujan. "Lihat kamu jadi basah." Dominic meraih tisu yang dengan sigap di berikan supir padanya, lalu mengusap rambut Mikha yang sedikit basah.
Mikha tertegun dengan mata yang tak lepas dari Dominic yang dengan telaten mengeringkan rambutnya.
"Bi- biar aku sendiri, Tuan."
Dominic mencebik "Tak ada siapapun, tak perlu memanggil 'Tuan'."
Mikha menipiskan bibirnya padahal dia hanya sedang berusaha membentengi hatinya agar tak jatuh semakin dalam, bagaimana pun detak jantungnya sangat kencang saat ini membuatnya frustasi. "Tidak bisa, nanti kebiasaan di depan orang lain, bagaimana?"
"Tidak masalah," ucap Dominic dengan enteng.
"Tidak masalah untukmu, tapi untukku? mereka akan mengira aku masuk karena koneksimu." bibir Mikha cemberut lalu memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela, bukan apa- apa setiap dia melihat wajah tampan dan matang itu jantungnya terus berdegup dengan kencang.
Dominic terkekeh lalu mengusak rambut Mikha, membuat Mikha lagi- lagi mengeluh dalam hati kenapa pria itu terus saja melakukan itu.
"Unc, maksudku Tuan, turunkan saja aku disini," tunjuk Mikha pada sebuah halte bis.
Dominic mengerutkan keningnya "Kau akan naik bis?" tanyanya tak percaya.
"Ya, memang kenapa?" lihat saja dia akan menghajar Mich karena ingkar dalam menjemputnya, dan gara- garanya dia harus satu mobil dengan Dominic.
"Putri keluarga Abraham naik bis? tidak aku akan mengantarmu." dan halte bis terlewat begitu saja.
"Kau!" Mikha semakin kesal sekarang, padahal dia berniat menghindari Dominic selama bekerja tapi pria itu terus saja mendekat padanya.
Dominic membuka ponselnya dan dahinya berkerut dengan serius, sepertinya ada masalah pekerjaan, Mikha mendengus sambil menyandarkan punggungnya pasrah, sebab dia tak bisa menembus pintu yang terkunci untuk bisa keluar, jika pun iya mungkin dia akan segera mati terhantam mobil saat dia melompat keluar, pemikiran konyol itu terhenti saat mobil Dominic berhenti.
"Kenapa berhenti?" Mikha melihat sekitarnya, mereka belum tiba di rumahnya dan justru berada di depan sebuah restoran.
"Kita makan malam dulu," ucap Dominic.
"Oh, kau akan makan malam, kalau begitu aku turun disini dan akan naik taksi." Mikha tersenyum cerah secerah mentari, akhirnya dia bisa segera menghindar dari Dominic.
Baru saja akan keluar Mikha merasakan tarikan di kerahnya hingga dia tertarik ke belakang.
"Ayo ikut denganku!"
Mikha memberontak "Kau ini apa- apaan sih uncle, mau makan, makan saja sendiri, kenapa harus mengajakku , kenapa tidak makan dengan istrimu sana, makan dirumah!" Mikha berteriak hingga tarikan di kerahnya terlepas dan membuatnya hampir terjatuh andai tak berpegangan pada badan mobil.
"Kau, sangat menyebalka-" perkataan Mikha terhenti saat melihat wajah datar Dominic, lalu pria itu memberikan sebuah berkas padanya.
"Aku harus menemui rekan bisnisku dengan segera, apa aku harus pulang dulu dan memanggil istriku?!" Mikha menelan ludahnya kasar, "Kebetulan kau juga yang selalu membantu Hellen bukan?" Hellen adalah sekretaris Dominic di kantor.
Wajah Mikha memerah, kenapa tidak bilang sejak awal kalau urusan pekerjaan, dia kan tak harus salah paham.
Mikha berdehem lalu melangkahkan kakinya mengikuti Dominic masuk ke dalam resto setelah sekilas merapikan pakaiannya.
Saat masuk mereka disambut dengan suasana romantis dan sepertinya restoran ini mengusung tema pasangan hingga di setiap meja dia melihat sepasang pria dan wanita.
Mereka terus berjalan hingga menemukan sebuah pintu. Sebelum masuk Dominic menoleh dan menatap Mikha dengan serius "Pelajari berkasnya dalam sepuluh menit, dan jangan melakukan kesalahan!" Mikha mengerutkan keningnya lalu melihat berkas di tangannya.
Apa- apaan pria itu, sepuluh menit mana cukup untuk menghapal isi dari berkas ini tanpa melakukan kesalahan.
Dominic menarik satu kursi lalu mengedikkan kepalanya ke arah Mikha.
Mikha mengerutkan keningnya, tak menyangka jika Dominic akan melakukan itu, lalu dengan menipiskan bibirnya dia menghampiri dan duduk di kursi tersebut, meski wajah Dominic masih kehilangan senyumnya entah kenapa, Mikha tetap saja berdebar saat mendapat perlakuan spesial itu.
Mereka menunggu klien penting yang di bilang Dominic, dan seperti katanya Mikha membaca berkas dengan singkat, yang dikatakan sepuluh menit nyatanya tak sampai sepuluh menit klien itu sudah datang, sekarang bagaimana? dia tak mungkin terlihat bodoh di depan mereka bukan?
"Kamu ingin memesan apa?" tanya Dom, saat dia baru saja menunduk membuka berkasnya, Mikha mendongak dan melihat wajah tampan itu menatapnya lembut, membuatnya kembali berdebar, untuk sesaat Mikha terpaku pada rahang tegas itu yang nampak fokus pada buku menu yang baru mereka terima dari seorang pelayan yang datang menghampiri.
"Mikha?" Dominic mengerutkan kening saat menemukan Mikha justru tengah menatapnya.
Mikha menelan ludahnya, saat dia baru saja ketahuan memperhatikan Dominic. "Y-ya,"
Mikha nampak berpikir, dia lapar, tapi tak mungkin di saat seperti ini dia makan kan?
"Aku ingin latte saja." Mikha kembali menunduk untuk membaca, namun pikirannya justru kabur dan hanya memikirkan pria di depannya.
Seorang pria dan wanita menarik perhatian Mikha dan Dominic, mereka langsung menghampiri, terutama si pria yang langsung menjabat tangan Dominic.
"Maafkan aku memberitahumu dengan mendadak, sebab besok pagi istriku ingin segera pergi ke Moskow."
"Tidak masalah tuan Steven, silahkan ... oh iya, ini Mikha sekretarisku." Mikha tersenyum, lalu mengangguk hormat.
"Hallo, Tuan, Nyonya," ucapnya dengan sopan.
"Baiklah, kita mulai saja, kau tahu istriku yang masih berjiwa muda ini nampak tak sabaran, dia bahkan marah aku masih bekerja di hari pernikahan kami," ucapnya dengan penuh canda membuat wanita di sebelahnya berdecak.
"Dasar tua bangka." dan bukannya marah, Tuan Steven justru tertawa. Dan saat itulah Mikha menyadari jika Tuan Steven dan Istrinya seperti memiliki kesenjangan usai, meski tak terlalu nampak karena Tuan Steven yang masih terlihat segar meski banyak keriput di wajahnya yang sudah tak bisa di samarkan, namun itu begitu kontras dengan wajah halus istrinya yang nampak masih muda.
"Baiklah Mirandaku, aku akan menyelesaikannya dengan segera agar semua perhatianku jatuh padamu." Tuan Steven lagi- lagi tertawa. Meski terdengar seperti ejekan, namun cinta yang begitu besar begitu nampak untuk istrinya, membuat Miranda merona.
"Maafkan aku, Nyonya, aku meminjam suamimu sebentar," ucap Dominic dengan mengulurkan tangannya pada Mikha, meminta berkas yang tadi dia pelajari, yang entah mengapa justru serasa tak masuk di otaknya, yang justru lebih banyak memikirkan Dominic sendiri.