Prinsip

2540 Words
Mentari merangkak naik dengan hangat sinar yang tak jua membuat Neva bergerak dari kasur lipat yang tak seberapa tebal. Gadis itu kembali melamun, memikirkan pekerjaan apa lagi yang bisa lakukan untuk mencukupi kebutuhannya. Ia memutuskan berhenti menjadi admin online shop karena pekerjaan itu begitu menyita waktu. Seharian rasanya tak bisa lepas dari ponsel karena banyaknya pesan dari customer. Neva mengerang frustrasi. Baru kali ini ia benar-benar galau tak menentu, serasa berada di persimpangan. Tak ada kabar baik dari perusahaan-perusahaan tempat ia melamar kerja. Ia pikir mungkin ijasah S1 tak akan cukup. Neva bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Royalti menulis juga tak sebanyak bayangannya. Ia penasaran bagaimana penulis lain bisa mendapatkan royalti besar hingga mampu beli barang sesukanya. Ia tahu, dia memang penulis pemula, tapi ia merasa tulisannya tak begitu jelek karena selalu mematuhi peraturan yang ada di platform. Sempat terpikir olehnya untuk kembali mengaktifkan akun media sosial demi membangun kembali citra positif dirinya, tapi ia masih trauma. Ia tak siap mental menghadapi cyber bullying, terlebih jika banyak cibiran tertuju pada ayah dan ibunya. Ia merasa sakit. Belum lagi Andreas yang memfitnahnya telah berselingkuh lebih dulu dengan menyebarkan fotonya yang sedang duduk bersebelahan dengan Chandra, salah satu temannya. Di pose itu Chandra memang tampak merangkul bahunya. Itu hanya cara Andreas membersihkan namanya dan membuat netizen berpikir jika Andreas berselingkuh karena dikhianati terlebih dahulu oleh Neva. Rasa sakitnya kian perih. Neva merasa sendiri. Orang-orang yang ia anggap baik pun nyatanya tak ada yang merangkul ketika didera masalah besar. Otak Neva terus berpikir tentang pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhannya. Ada pekerjaan lain yang lebih mudah menerimanya tanpa memandang gelar dan atribut persyaratan yang kompleks, menjaga toko atau menjadi pelayan di restoran. Namun, ia membayangkan jika dirinya tak akan sanggup melakukan pekerjaan itu. Semenjak tinggal di kontrakan dan harus mencuci piring sendiri, tangannya tak lagi halus. Ia merasa sabun cuci piring sebagai biang keladi tangannya yang perlahan kasar dan kadang gatal-gatal ketika tengah mencuci piring. Neva beranjak menuju kamar mandi yang berada tak jauh dari ranjang. Ia lirik pakaian-pakaian kotornya menumpuk di keranjang. Mesin cuci bekas yang ia beli dengan sisa tabungan sedang rusak, dan ia belum sempat memanggil tukang reparasi. Ia takut uangnya tak akan cukup membayar jasa tukang tersebut. Terpaksa, Neva harus mencuci pakaiannya dengan tenaga manual. Mencuci pakaian yang dapat menjadi hal mudah bagi orang lain, nyatanya bagi Neva menjadi sesuatu yang sangat sulit. Ia tak tahu bagaimana caranya mengucek baju. Kuku-kukunya yang indah dan panjang pun harus dikorbankan. Ia sedih melihat kukunya patah. Belum lagi rasa gatal di telapak tangannya karena rendaman air deterjen. Ingin Neva berteriak kencang dan bertanya, kenapa hidupnya harus berubah drastis. Kenapa ia harus mengalami semua ini? Untuk kesekian kali, Neva membendung laju air mata yang hampir lolos. Gara, satu nama itu menari-nari di pikirannya. Hari Minggu ini, Gara libur bekerja. Ia beranjak dan membuka pintu depan. Neva melirik kontrakan sebelah yang hanya dibatasi dinding dengan tinggi satu meter di teras sebagai sekat. "Garaaa ...." Tak lama kemudian sosok pria berpenampilan santai itu membuka pintu. Ia melirik Neva yang tampak berantakan dengan rambut dikucir sekenanya. Kaos oblong sepanjang paha yang menutupi celana super pendek yang ia pakai. Ujian tersendiri bagi pria dewasa sepertinya. Sering ia menunduk, menjaga pandangannya dari sosok Neva yang seolah tak memahami jika celana-celana pendek itu bisa menjadi petaka jika Sang Pria tak bisa mengendalikan diri. "Ada apa?" tanya Gara datar. Ia hanya melirik Neva sekilas. "Apa kamu mau ngasih tahu aku cara mencuci pakaian?" Gara menoleh Neva yang serius menatapnya. Ia yakinkan sekali lagi, apa dia tidak salah mendengar? "Mesin cucinya rusak," balas Neva datar. Gara melirik tangan Neva yang diselimuti busa sabun. Gadis itu tampak kelelahan. Sebenarnya Gara cukup kagum dengan Neva, terlepas dari sikap manja gadis 22 tahun itu dan kesulitannya beradaptasi. Meski dulu pergaulan Neva luas dan ia punya uang, tapi Neva tidak terpengaruh dengan life style teman-temannya yang banyak menyukai aktivitas malam seperti dugem atau hang out hingga larut malam. Cara bicara gadis itu pun cukup teratur dengan bahasa yang terkadang terlalu formal karena kebiasaan berkomunikasi dengan orang tuanya. Ada satu kebiasaan buruk Neva yang saat itu sulit dihilangkan. Ia senang menghamburkan uang untuk membeli barang-barang branded dengan tujuan koleksi. Gara memaklumi jika Neva tak tahu caranya mencuci pakaian. Saat masih tinggal di rumahnya yang megah, tak pernah sekali pun ia mencuci. Ada asisten rumah tangga yang punya tugas khusus mencuci pakaian. Gara mengangguk. "Okay." ****** Neva memerhatikan gerak terampil jari-jari tangan Gara ketika mengucek salah satu bajunya. "Di bagian kerah ini biasanya lebih kotor karena noda keringat. Kamu bisa mengucek lebih kuat atau mengoles dengan sabun colek, lalu dikucek sampai nodanya hilang." Gara mengucek baju Neva berulang sembari melirik Neva beberapa kali. "Menguceknya harus keras, ya? Kukuku tadi patah." Neva mengerucutkan bibirnya sembari membentangkan telapak tangannya. Ia amati dua kukunya yang patah. "Kenapa harus memanjangkan kuku jika itu bisa menghambat pekerjaan?" Gara bicara penuh penekanan. Tatapannya tak lepas menyasar pada Neva yang tampak begitu berduka karena kukunya yang patah. Neva balik menatap Gara tajam. "Kuku-kukuku begitu terawat. Dulu aku biasa merawat kukuku di salon. Biaya treatment-nya jutaan. Bagaimana bisa aku membiarkan kuku-kukuku patah?" "Kalau tidak mau kukunya patah, tidak usah mencuci. Gampang, 'kan?" sahut Gara sedikit ketus. Ia gemas dengan sikap Neva yang juga tak berubah. Manja, kolokan, dan sering kali lupa siapa sosok dirinya sekarang. "Bajuku sudah mau habis. Mesin cucinya rusak," ucap Neva kesal. "Lalu mau kamu apa? Aku yang nyuciin baju-baju kamu?" Gara menatap Neva lebih tajam. Sulit rasanya membiasakan Neva untuk menerima kehidupannya yang sekarang." Neva membisu. Ia tak mungkin meminta Gara mencuci pakaiannya. Gara kembali mengucek baju. Selanjutnya ia memeras baju itu dan meletakkan di ember lain yang kosong. Ia mengambil kembali kain serampangan. Betapa terkejut dirinya saat tak sengaja mengambil bra milik mantan majikannya itu. Neva pun mendelik. Ia mengira Gara sengaja mengambil bra miliknya. "Kenapa kamu ambil bra punyaku?" mata Neva membulat. "Aku nggak sengaja. Maaf ...." Gara kembali mencemplungkan bra itu ke dalam air rendaman. Jari-jarinya agak gemetar. Ini pertama kali ia memegang pakaian dalam perempuan. "Kamu sengaja, 'kan?" Neva kesal jika ada seseorang menyentuh barang pribadi tanpa seizinnya. Dia meminta Gara mengajarinya mencuci baju, bukan mencuri bra. "Sengaja gimana? Orang tadi nggak kelihatan. Pas diambil ternyata bra." Gara tak terima Neva menuduhnya sengaja mengambil bra. "Barang kali kamu ini fetis. Amit-amit, dah." Neva menatap Gara dengan tatapan menuduh. Gara membelalakkan matanya. "Astaga, ngapain aku fetis sama barang gituan? Kayak nggak ada kerjaan aja. Bra nggak bakalan bikin aku kenapa-kenapa, kalau isinya sih mungkin iya." Neva bertambah kesal. Ia tak menyangka di balik pembawaan Gara yang kalem dan sering kali galak, ia punya watak m***m juga. "Dasar, cowok semua saja aja. Karena bra aku udah disentuh kamu, aku nggak mau pakai lagi. Padahal bra ini bra branded, harganya jutaan. Kamu mau ganti juga susah. Gaji kamu dari bengkel juga nggak banyak," celoteh Neva tanpa henti. "Okay, okay, sebut saja harganya. Nanti aku ganti." Gara tak ingin ribut lebih lama. Tanpa Neva tahu, Gara punya toko sembako di kampung yang dikelola adik laki-lakinya yang hanya dua tahun lebih muda darinya. Gajinya sebagai supir dulu cukup besar dibandingkan semua pekerjaan yang pernah dilakoni Gara. Tabungannya ia sisihkan untuk membangun toko sembako. Penghasilan dari toko sembako dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung. Ayah Gara sudah meninggal lima tahun yang lalu. "Kamu mau ganti pakai apa? Hari ini begitu menyebalkan. Ini semua gara-gara kamu." Neva menyemprotkan air ke tubuh Gara hingga membuat wajah Gara basah. Gara kaget dengan ulah Neva yang tiba-tiba. Ia melakukan tindakan yang sama. Baju Neva agak basah karena ulah Gara. "Kok malah nyipratin balik?" Neva mengambil gayung dan menciduk air di bak. Ia siram air itu pada tubuh Gara hingga baju Gara basah. Gara tak mau kalah. Ia merebut gayung yang ada dalam genggaman Neva lalu menyiramkan air itu pada tubuh Neva. Sontak, Neva pun kaget dibuatnya. Mereka saling menyiram satu sama lain. Tawa pun meledak. Untuk sejenak Neva lupa akan beban masalah yang begitu pelik. Keduanya bermain-main saling menyiram air dan lupa pada baju-baju yang sudah direndam dan siap untuk dicuci. "Nevaaaa ...." Panggilan seseorang mengagetkan keduanya. Pintu memang sengaja dibuka. Seorang perempuan melangkah masuk ke dalam. "Siapa ...." Teriak Neva. Ia keluar dari kamar mandi dengan baju yang sudah basah. Perempuan itu terkejut melihat Neva yang berantakan dan basah, terlebih ketika ia melihat Gara melangkah di belakang Neva. "Ya ampuuunnnnn, kalian habis ngapain? Basah-basahan gitu." Mela, salah satu teman Neva yang masih peduli pada gadis itu hanya melongo melihat adegan langka pagi itu. "Aku tadi nyuci baju dibantu Gara. Eh, malah jadi main siram-siraman air." Neva menggerutu dan melirik Gara yang berdiri di sebelahnya. "Gue nggak tepat waktu kayaknya, ya. Kalau gue nggak datang, mungkin udah terjadi sesuatu tadi, ya." Mela tertawa renyah dan dibalas satu cubitan dari Neva di tangannya. "Gara, nyucinya lanjut nanti aja. Aku mau ngobrol dulu sama Mela." Neva menoleh ke arah Gara yang masih mematung. "Biar aku yang nyuciin. Nanti pakaian dalamnya kamu yang nyuci sendiri. Kamu temani Mela aja, dulu." Mela memerhatikan Gara lekat-lekat. Kaus basah yang menempel di tubuh Gara menjadi daya tarik bagi seorang Mela. Dia baru menyadari jika mantan driver keluarga Wijaya ini memiliki tubuh yang atletis dipadu dengan wajah gagah dan penampilan yang manly. "Aduh, baik banget sih kamu. Udah ganteng, baik pula." Mela memuji tanpa sungkan. "Udah-udah, ayo duduk di depan. Aku ganti baju dulu." Neva mendorong Mela ke ruang depan. Gara melanjutkan pekerjaannya. Neva dan Mela berbincang di ruang depan. "Gimana kerjaan lo? Lo masih jadi admin online shop?" Mela menyeruput teh buatan sahabatnya. Sejak mengontrak, di mata Mela, sudah banyak hal-hal baru yang dikerjakan Neva. Ia salut, gadis manja di hadapannya ini sanggup bertahan setelah prahara besar menimpanya dan keluarganya. Neva menggeleng. "Nggak, aku cuma nulis doang. Capek cari kerja, Mel. Nggak ada yang nyangkut. Bantu aku cariin kerjaan, dong!" "Waduh, kalau lo nanya kerjaan ke gue, gue cuma tahu kerjaan-kerjaan yang gampang. Asal lo mau mah, hayuk. Cuma ya gue tahu lo bukan tipikal cewek yang mau kerja kayak begini." Neva mengernyitkan alis. "Emang kerjaan apa?" "Deketin cowok kaya, mapan, dan bahkan mau jadi selingkuhan atau istri simpanan, atau jadi sugar baby. Ini udah paling gampang. Lo kan cantik, body lo bagus. Tinggal kasih servis memuaskan buat si cowok, kebutuhan hidup lo bisa dipenuhi." Neva segera melempar bantal ke muka sahabatnya. "Astaga naga, kirain kerjaan apa yang halal. Ogah lah aku." "Ya, gue nggak muna, Nev. Jujur gue pernah jadi simpanan Om-om. Yang namanya duit itu kayak air mengalir, nggak berhenti-henti. Gue pakai produk skincare yang mahal-mahal, barang-barang gue branded, makan enak juga sering, kalau Om liburan ke mana, gue diajak. Dia pamit ke istrinya ada kerjaan di luar kota, padahal lagi seneng-seneng sama gue. Hidup enak pokoknya gue. Sayang, akhirnya ketahuan istrinya, ya udah bubar." Gara yang tengah mencuci, menguping pembicaraan Neva dan Mela. Ia tahu, Mela bisa menjadi pengaruh buruk untuk Neva. Dia tak akan membiarkan Neva terjebak di jalan yang salah. Neva menatap Mela dengan lebih serius. "Dan kamu bahagia? Kamu nggak pernah bayangin gimana hancurnya perasaan istri dan anak-anak si Om itu?" "Mana gue pikirin. Kita hidup di zaman di mana orang nggak ada yang peduli sama kita, Nev. Orang-orang pada egois. Kenapa kita harus mikirin mereka?" "Ya, nggak gitu juga, Mel. Kamu lihat dong aku sebagai orang yang masih kamu anggap teman. Kamu tahu apa yang terjadi sama keluargaku. Ibuku selingkuh. Dan itu bikin aku down. Sakit banget, Mel. Anak selalu jadi korban dari keegoisan orang tua. Kamu emang belum jadi orang tua. Suatu saat kamu akan menikah, menjadi seorang ibu. Tentu kamu nggak mau kan kalau anak-anak kamu nanti terluka karena keegoisan orang tuanya." Mela terdiam sejenak. Ia balik menatap Neva. "Gue bukannya nggak berempati sama lo, Nev. Setiap orang punya pilihan. Gue sadar, gue udah salah melangkah. Cuma gue kadang mikir, gua basah kena hujan, ya udah sekalian aja gue hujan-hujanan. Orang-orang di sekitar gue juga banyakan milih jalan begitu. Sekarang gue juga udah nggak jadi simpanan lagi, sih. Cuma gue masih suka nemeni Om-om yang butuh hiburan." Neva menepuk dahinya. Menyadarkan orang seperti Mela itu sangat sulit. Mereka masih berteman hingga kini karena Mela masih punya kepedulian padanya dan dia bukan orang yang munafik, bermuka dua, atau tipikal teman yang menikam dari belakang. Setelah ujian besar menimpa dirinya dan keluarganya, mata Neva seolah dibuka dan ditunjukkan siapa yang bermuka dua, siapa yang benar-benar peduli padanya. "Kalau lo mau kerja ringan, artinya lo ga perlu tidur sama klien, ya lo mending nemeni Om-om karaoke. Kerjaan lo ya cuma nemeni, nuangin minum, nggak sampai ranjang. Kecuali kalau ada yang minat bawa ke ranjang, dia harus bayar lebih." Mela bicara dengan santainya dan tanpa beban. Neva menghela napas. "Aku nggak bisa kerja kayak begitu, Mel. Kamu tahu sendiri, aku nggak pernah dugem. Aku bayangin kalau aku nemeni Om-om karaoke, minum, itu artinya aku bisa aja digrepe-grepe, 'kan? Ih, enak aja. Andreas aja nggak pernah nyentuh aku." Neva mengerucutkan bibirnya. Mela menawarkan sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip hidupnya. "Sumpah lo? Lo nggak pernah ngapa-ngapain sama Andreas? Tapi kalau ciuman udah, 'kan?" Mela menaikkan kedua alisnya dengan senyum meledek. "Nggak, lah. Kalau aku kasih first kiss aku ke Andreas, aku dong yang rugi. Toh, ujung-ujungnya kita putus. Itu udah jadi prinsip hidup aku." Mela geleng-geleng. Neva itu cewek super langka yang pernah ia temui. "Hebat deh, lo. Si Andreas selingkuh barang kali karena nggak tercukupi kebutuhan ranjangnya kali, ya." Mela tertawa menggelegar hingga membuat Gara yang masih mencuci terkejut. Gadis satu itu selain nyablak juga senang tertawa terpingkal-pingkal. "Lo bener-bener cewek limited edition yang pernah gue temui. Sekarang udah zaman di mana virginity bukan sesuatu yang krusial karena cowok juga banyak yang b******k. Mereka juga sadar diri, gimana dapetin virgin kalau mereka hobi berpetualang di sana sini? Cowok-cowok yang hobi celup sana sini tapi ujung-ujungnya dapetin cewek virgin itu cuma di cerita fiksi." "Terus, aku harus berpandangan sama kayak kamu?" Neva memilin rambutnya. "Ya, bukan begitu, Nev. Gue lihat kan lo lagi kesulitan dan butuh uang dengan cara yang gampang. Gak pakai capek dan cepet. Makanya gue kasih pandangan lain, siapa tahu lo pingin nyoba." "Kamu rusak mah rusak sendiri aja, jangan ngajak-ngajak orang, dong. Hargai prinsip orang." Mela tersenyum. "Iya, iya, gue minta maaf. Ntar gue coba bantu cari kerjaan yang halal buat lo dan nggak gitu menyita energi." Mela berpamitan tak lama setelah itu. Ketika Neva kembali ke kamar mandi, dia tertegun melihat Gara yang sudah menyelesaikan pekerjaan. Yang membuatnya kaget, Gara melepas kausnya dan menyadarkan Neva jika pria itu memiliki perut sixpack, kriteria idamannya. Buru-buru Neva memalingkan wajahnya, salah tingkah. "Kamu kok buka baju, sih?" ketus Neva. "Tadi kausku basah, makanya aku buka. Ini cuciannya udah aku cuci semua kecuali pakian dalam." Neva melirik pada baju-baju yang sudah diperas dan siap untuk dijemur. "Makasih, ya." Segaris senyum melengkung. "Kamu laper, nggak?" tanya Gara pelan. "Laper, sih." "Ya, udah buruan kamu cuci pakaian dalam kamu, terus mandi, ganti baju, kita makan di luar." Gara mengerlingkan satu senyum yang menambah pesona driver satu itu. "Emang kamu punya uang?" "Ada, lah, nggak usah takut. Aku balik ke kontrakan dulu, ya. Mau mandi dan siap-siap." Gara tersenyum lagi dan berlalu dari hadapan Neva. Neva tersenyum. Satu hal yang ia syukuri, ia masih memiliki Gara, yang tulus menerimanya meski dia tak lagi punya apa-apa. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD