Everyone Has Wounds

1767 Words
Gara membuka pintu mobil dan mempersilakan Neva masuk. Mobil yang masih dipertahankan Neva sebagai kenangan dari Sang Ayah yang masih tersisa. Mungkin banyak orang yang ingin menghapus kenangan buruk, tak terkecuali bagi seorang Neva. Namun, tidak dengan kenangannya bersama Sang Ayah. Tak peduli hujatan masih deras mengalir untuk ayahnya. Tak peduli dengan kesalahan Sang Ayah di masa lampau, Neva tetap menghormati dan menyayanginya. Baginya seorang ayah itu seperti pahlawan dan seseorang yang masih dengan tulus melafalkan namanya dalam setiap doa. Hanya Ayahnya yang Neva miliki di saat semua orang menjauh, bahkan ibunya sendiri. Ketika Neva menatap Gara, ia tahu ia masih memiliki sandaran yang lain. Meski terkadang ia tak enak sendiri jika sering merepotkan mantan driver keluarga itu. Gara masuk ke dalam dan melirik Neva yang diam terpaku. Dulu, gadis di sebelahnya selalu duduk di belakang. Interaksi mereka benar-benar minim. Hubungan antara atasan dan bawahan serasa kental. Kini gadis itu terasa begitu dekat. Perlahan Gara seakan mampu memasuki dunia Neva dan mengenal gadis itu lebih dekat. Neva yang manja, Neva yang terkadang polos, Neva yang memiliki prinsip dan cara pandang sendiri, Neva yang punya rules sendiri dan tak peduli apa yang dikatakan orang tentangnya, Neva yang tak bisa makan di pinggir jalan, Neva yang takut kuku-kukunya rusak, Neva yang terpaksa harus beradaptasi dengan kesulitan hidup. Terkadang ada rasa empati yang memenuhi hati Gara, membuatnya iba melihat kehidupan Neva yang berbanding terbalik dengan kejayaannya di masa lalu. Gadis itu terbiasa dilayani, terbiasa sarapan dengan smoothies yang ia racik sendiri, ada strawberry, blueberry, pisang, oatmeal, dan buah lainnya. Kini ia terbiasa mengantri di warung rames yang bersih demi satu bungkus rames. Sering pula Gara memasak sarapan untuknya. Neva lebih senang makanan yang dimasak sendiri karena lebih terjamin kebersihannya. Neva yang terbiasa dicukupi segala kebutuhannya, kini untuk membeli produk skincare saja harus menunggu royalti menulisnya cair dan banting setir membeli produk yang lebih terjangkau. Bahkan kuotanya sering kali tak terisi. Gara tahu, gadis itu terkadang tertekan. Mata sembabnya di pagi hari seolah memberikan tanda akan linangan air mata yang mungkin turun semalaman. Hari ini Gara ingin kembali menghidupkan kenangan lama yang sudah lama terkubur. Sengaja ia memilih rumah makan langganan keluarga Neva. Baginya harga makanannya tidak terlalu mahal. Sebenarnya keluarga Neva juga menyukai menu-menu ala kampung yang dijual di rumah makan yang tak begitu mewah. Gara ingin menyenangkan Neva meski hanya mentraktirnya makan di rumah makan langganan keluarganya. Sepanjang jalan Neva memandang ke arah luar jendela, menikmati pemandangan di tepian jalan. Segala sudut di kota seolah mengingatkannya akan kehidupannya di masa lalu. Ia dan orang tuanya kerap menikmati weekend dengan berjalan-jalan atau makan bersama di restoran. Kini, ia hanya mampu meratapi kisahnya yang telah mati. Semua tak akan terulang. Gara sesekali melirik Neva sembari terus mengemudi. Gadis itu bisa menjadi pemurung di satu waktu, lalu di waktu lainnya bisa berubah menjadi sedemikian cerewet, apalagi jika tengah menggerutu. Ketika Gara memasuki area parkir, Neva membelalakkan matanya. Ia tak menyangka Gara akan membawanya ke rumah makan langganan keluarganya. "Kita akan makan di sini?" Neva memastikan apakah Gara benar-benar mengajaknya makan di rumah makan itu. Gara tersenyum dan mengangguk. Ia membuka seat belt-nya. Lalu beralih membuka seat-belt yang mengunci tubuh Neva. Tiba-tiba Neva merasa canggung, terlebih embusan napas Gara terasa benar menyapu wajahnya. Keduanya saling menatap. Ada desiran yang tiba-tiba menjalar. Neva baru menyadari jika wajah yang terpampang di hadapannya ini begitu tampan dengan senyum manis yang seakan mampu menundukkan siapa saja. Gara segera menjauh. Bagaimana bisa ia melepas seat belt tiba-tiba. Ia menyadari jika ia telah bertindak kurang sopan. "Maaf, aku refleks membuka seat belt." Neva tersenyum tipis. Ia canggung sendiri. "Nggak apa-apa." "Yuk, kita masuk ke dalam. Kamu bebas mau makan apa saja." Gara mengerlingkan satu senyum lagi. Keduanya berjalan menuju ke dalam. Untuk sesaat memori kenangan lama kembali hadir. Ada rasa sedih kala teringat bahwa momen kebersamaannya dengan orang tuanya tinggal cerita. Namun, ada juga rasa bahagia tatkala merasakan kembali atmosfer yang telah lama tak hadir. Neva memesan menu favoritnya, sayur asam, pepes ayam, dan perkedel. Sedangkan Gara memesan ayam goreng, sambal cabai hijau, dan lalapan. Keduanya duduk bersebelahan dan melahap menu masing-masing. Gara tak henti-hentinya tersenyum mengamati Neva yang tampak sumringah dengan menu favorit di hadapannya. "Rasanya udah lama banget nggak makan di sini. Makanannya tambah enak." Neva tersenyum ceria dengan mata yang berbinar. Gara tersenyum. Sudah lama ia tak melihat wajah bahagia Neva yang lepas tanpa beban. Kebahagiaan Neva terganggu ketika sapaan seseorang mengagetkannya. "Wow, lama nggak ketemu, kamu sudah punya penggantiku rupanya." Andreas tersenyum sinis. Sementara di sebelahnya mematung perempuan mengenakan pakaian kasual yang juga tersenyum sinis. Neva mengenal perempuan itu. Hati Neva meradang seketika. Rasa sakit yang belum sembuh semakin perih kala teringat kenangannya bersama Andreas di masa silam. Kini laki-laki itu berdiri di hadapannya dengan arogansi yang semakin menjadi. Ada tatapan meremehkan dan senyum yang seolah menertawakan kejatuhannya. Neva menggenggam tangan Gara, membuat Gara tersentak. Ada debaran yang tiba-tiba bertalu ketika tangan gadis itu ada di atas punggung tangannya. "Ya, dan penggantimu jauh lebih baik dari kamu," cetus Neva sewot. Andreas tertawa pendek. "Tunggu ... tunggu ... sepertinya wajahnya tak asing. Dia ini supir keluarga kamu, 'kan?" Andreas tertawa renyah, memandang sebelah mata pria pilihan Neva yang ia pandang levelnya jauh di bawahnya. "Kenapa emangnya? Yang pasti dia jauh lebih keren dari kamu. Attitude-nya jauh lebih bagus dari kamu." Neva menahan emosinya. Hal yang tersakit yang ia rasakan adalah ketika Sang Mantan bisa tertawa lepas di atas penderitaannya. Namun, ia bersyukur karena selama menjalin hubungan dengan Andreas, ia tetap menjaga jarak dan tak membiarkan laki-laki itu menyentuhnya. "Attitude? Orang yang korupsi dan seorang istri yang berselingkuh serta menggugat cerai suaminya saat si suami dipenjara, itu juga attitude-nya bagus, ya?" Amarah Neva naik ke ubun-ubun. Ia tak suka Andreas mengolok-olok orang tuanya. Ia beranjak. Tangannya mengepal. Ia mengangkat tangannya dan hendak meninju Andreas, tapi Gara buru-buru menahannya. Neva melirik Gara yang menatap tajam Andreas "Kamu laki-laki kan, bro? Kenapa seperti perempuan? Berani sekali mengolok perempuan. Asal kamu tahu, ya. Kamu akan menyesal meninggalkan Neva. Dia perempuan terbaik dan aku beruntung mendapatkannya." Kata-kata Gara penuh penegasan. Dia sama sekali tak gentar. Tampangnya cool dengan tatapan elang yang mematikan. Andreas terkekeh. Ia balik menatap Gara tajam. "Dia cewek konservatif dan menyebalkan. Gue nggak pernah cinta sama dia jadi gue nggak pernah nyesel ninggalin dia. Dan lo, cuma jadi mainan dia!" Andreas tersenyum sinis. Ia menggandeng Kania lalu berjalan keluar dari rumah makan. Neva menghempaskan tubuhnya di kursi dengan perasaan kesal. Ia tak lagi berselera meneruskan makannya. "Kenapa sih mesti ketemu dia di sini? Bikin bad mood. Sebel banget, ih." Neva menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang tengah merajuk. Gara terdiam. Tentu tak mudah bagi Neva menyembuhkan sakit hatinya. Ia berinisiatif memesan makanan untuk dibungkus agar nanti bisa dimakan bersama di kontrakan. ****** Sepulang dari rumah makan, Neva masih menekuk wajahnya. Gara meletakkan makanan yang dibungkus di atas meja. Ia memerhatikan raut wajah Neva yang mendung. "Kamu masih kepikiran Andreas?" Gara memberanikan diri untuk bertanya. Terkadang ia takut jika terlalu dalam masuk ke urusan pribadi Neva. Neva mengangguk. "Bukan cuma Andreas, tapi kisah hidupku. Sampai detik ini aku masih bertanya-tanya, kenapa aku harus mengalami ini?" Gara menghela napas. Ia menatap Neva lembut. "Itu hal yang sangat normal. Aku juga pernah mempertanyakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupanku." Neva memicingkan matanya. Ia penasaran juga ingin mengetahui bagaimana bisa Gara yang begitu optimis di matanya mempertanyakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya. "Apa yang kamu tanyakan?" tanya Neva. Gara mengembuskan napas. Ia tak pernah bercerita pada siapa pun akan kisah hidupnya. Di hadapan Neva, ia terdorong untuk menceritakan semuanya. "Aku mempertanyakan kenapa setelah sekian tahun bernapas, aku baru tahu fakta bahwa almarhum ayahku bukan ayah kandungku setelah beliau meninggal." Neva mengerjap. Ia mendengarkan lebih seksama. "Aku belum pernah bercerita hal ini pada siapa pun. Kamu orang yang pertama," lanjut Gara. Neva terdiam. Ia masih menunggu Gara selesai bicara. "Dulu ibuku bekerja di kota, menjadi asisten rumah tangga di rumah seorang yang kaya. Majikan prianya menjebak ibu, memberinya minuman hingga ibu tak sadarkan diri. Saat Ibu bangun, dia sudah ada di kamar pria yang melakukan perbuatan b***t itu tanpa pakaian. Waktu itu istri dan anaknya sedang tak ada di rumah. Kamu mungkin bisa membayangkan apa yang terjadi. Ibuku hamil setelah kejadian itu dan ia justru diusir karena dituduh sengaja memfitnah majikannya." Gara menunduk lalu kembali melirik Neva. Gadis itu tak mampu berkata-kata. Ia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Gara. "Ibu pulang kampung dengan kondisi berbadan dua. Semua orang menghujat, menuduh ibu menjadi wanita perusak rumah tangga majikannya. Aku dengar ini dari Uwaku. Uwa yang cerita. Ibu hanya perempuan desa yang bahkan tak tahu cara melaporkan tindak kejahatan majikannya." Entah kenapa, hati Neva ikut retak. "Setelah aku lahir, ada laki-laki baik yang mau menikahi ibu. Laki-laki yang aku panggil Ayah. Laki-laki terhebat yang pernah aku kenal." Gara tersenyum dengan sorot mata yang sudah berembun. Neva ikut tersenyum tipis, senyum yang mengisyaratkan rasa empati. Hatinya ikut teriris. Mantan driver keluarganya ternyata menyimpan kisah pahit. "Aku punya dua adik dan karena ayah sakit-sakitan, sejak kecil aku sudah terbiasa bekerja. Karena itu pendidikanku cuma sampai SMK, karena aku ingin bekerja dan membantu Ibu. Ada adik-adik juga yang harus aku biayai." Gara mengembuskan napas sekali lagi. Ia menatap Neva tajam. "Aku bertanya untuk semua yang terjadi pada ibuku, kenapa wanita sebaik ibuku harus mengalami hal pahit? Tapi aku tak berani bertanya siapa ayahku sebenarnya." Neva balik menatap Gara lebih tajam. "Kamu tidak ingin tahu?" "Uwa menceritakan semuanya. Aku tahu siapa namanya. Tapi kata Uwa dia dan keluarganya pindah ke luar negeri." "Kamu tidak ingin mencari tahu keberadaannya?" Neva menatap Gara penuh selidik. "Untuk apa? Aku tak akan pernah mengharap belas kasihnya, Neva. Justru aku ingin membuktikan bahwa anak yang terbuang ini bisa berdiri dengan kakinya sendiri." Gara melirik Neva dengan tatapan yang melembut. "Aku percaya kamu juga bisa bangkit." Tatapan itu menghunus, tepat membidik bagian terdalam hati Neva. Neva memandang Gara dengan sorot mata yang berkaca. "Apa aku bisa?" Gara mengangguk. "Aku sudah berjanji pada ayahmu untuk menjagamu. Kamu bisa bersandar padaku kapan pun kamu mau." Neva menunduk. Ada semburat merah melintang di pipinya. "Oya, tiga hari ke depan aku akan pulang kampung. Jadi tiga hari ke depan, aku nggak bisa masak buat kamu dan nggak bisa nemeni kamu." Sulit untuk Neva membayangkan menjalani hari tanpa Gara. "Aku ikut, boleh, ya? Kita pulang ke kampungmu pakai mobilku, gimana?" Gara membelalakkan matanya. "Boleh ya, Gara, aku nggak mau sendirian di sini." Neva merajuk manja. Senjata terbesarnya untuk membuat Gara menuruti permintaannya adalah dengan memasang tampang manjanya yang seperti bayi. Gara pun tak bisa menolak. Ia mengangguk, lalu disambut suka cita oleh Neva yang berteriak, "Horeeee kita ke kampung besok". ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD