Day 3.1

1642 Words
[Assalamu'alaikum, selamat pagi, Mahes.] [Lagi apa?] [Hari ini bisa ketemu? Nanti sore di warung tenda.] [Jangan lupa sholat, ya. Jangan lupa makan.] [Vitaminnya di minum. Biar nggak gampang drop.] [Aku sayang kamu.] Begitu bangun tidur, hal yang pertama diingatnya adalah mengirim pesan kepada Mahes. Vara tahu tidak ada gunanya. Akan tetapi, jika dia tidak membuat komunikasi dengan Mahes, lelaki itu akan menjauhinya dengan cepat. Jika sampai hubungan mereka berakhir, Vara tidak ingin mereka saling bermusuhan. Setidaknya, mereka masih bisa bertegur sapa sebagai seorang teman. Tidak ada blokir-blokiran nomor telepon atau akun medsos. Tidak juga saling menjelekkan di belakang. Sebelum tubuhnya beranjak dari atas kasur dan pergi ke kamar mandi, Vara memastikan memang tidak ada balasan dari mantan kekasihnya itu. Biasanya centang dua, kali ini masih centang satu. Mungkin Mahes belum bangun, mungkin ponselnya mati kehabisan daya, mungkin juga memang Mahes sengaja abai. Berbagai alasan berkecamuk di kepala Vara. Membuat dirinya tidak tahan untuk tidak berpendapat. Dituliskannya apa yang mengganggu pikirannya itu di room chat di mana ada dia dan kakak-kakaknya. [Ka, Mahes nggak baca chat aku. Kenapa, ya?] [Jangan-jangan HP-nya dipegang Ibu.] Tidak ada balasan. Terang saja karena pada jam segini, Kak Mery pasti belum bangun. Kakak keduanya itu punya kebiasaan bangun sebelum Subuh dan tidur lagi setelah salat Subuh. Sedangkan kakak pertamanya pasti sibuk mengurusi putri-putrinya yang bawel dan banyak maunya. [Ka, kalau bener HP-nya dipegang Ibu, terus aku gimana, ya?] Masih belum ada tanggapan. Dilihatnya status, masih terkirim belum dibaca oleh dua orang kakaknya itu. Ya, sudah, Vara memutuskan mandi terlebih dahulu dan mendinginkan kepalanya. _*_ Sebagai seorang perempuan 27 tahun, sebenarnya paras Vara terbilang imut. Hidung yang mungil, alis mata tebal dengan bulu mata lentik melingkari bola mata bulatnya, dan bibir tipis yang berwarna kemerahan. Semua terlihat kontras dengan kulit wajahnya yang putih bersih. Jika Vara mengenakan hijab, keayuan parasnya semakin menonjol. Namun sekarang paras ayu itu terlihat kusam. Lingkaran hitam seperti mendung yang menggelayuti dua mata cantiknya. Kulit pipinya juga sedikit turun, mungkin karena terlalu seringnya dia menangis. Dipandanginya perubahan drastis pada wajahnya itu. Patah hati membuatnya lupa merawat diri, pantas saja Mahes seolah jijik berada di dekatnya. Beda dengan Hanindita yang pasti terlihat selalu semringah jika sedang bersama Mahes. Memang cinta membuat seorang perempuan biasa bisa terlihat lebih cantik dan berbeda. Ditepuk-tepuknya kedua pipinya dengan telapak tangannya yang basah. Dia mencoba menarik urat-urat bibir sehingga membentuk lengkungan di wajahnya, tapi terlihat aneh. Sepertinya Vara yang lama telah hilang ditelan patah hatinya. Sinar matanya terlihat seperti bola lampu yang hampir putus dan kehilangan pijarnya. Setelah beberapa menit berlatih di depan cermin untuk mengembalikan wajah cerianya, Vara menyerah. Tidak mudah membuat cahaya kembali hadir jika hati sedang gelap gulita. Dia mendesah lelah, diselesaikannya cepat-cepat ritual bersoleknya dan terakhir ... dia menyemprotkan parfum white musk The Body Shop favoritnya. Aroma lily, iris, rose, vanila dan white musknya yang lembut tapi segar selalu berhasil membuat hari-harinya lebih bersemangat. Sebelum menyandang tas kerjanya, Vara meraih ponsel di depat televisi dan membukanya. Puluhan balasan dari kakak-kakaknya dan yang mengejutkan, Mahes membalas chatnya! Vara gemetar ketika membuka chat dari Mahes. [Waalaikum salam. Nanti sore aku jemput, ya. Ibu nanyain kamu.] Oh, Tuhan! 'Ibu nanyain kamu.' Itu artinya Mahes akan mengajaknya menemui ibunya? Seolah tidak pernah terjadi apa-apa saja pada mereka. Bukankah Mahes bilang kalau dia tidak mau menemui Vara jika perempuan itu main ke rumahnya? Apa kata Mahes dulu ... tidak mau terlihat pura-pura mesra di depan Ibu. Oh, Tuhan ... entah Vara harus berduka atau bersuka cita dengan berita yang dia dengar pagi ini. Lalu chat dari kakak-kakaknya ... Ah, nanti saja dibuka jika sudah sampai di kubikel. Saat ini Vara lebih ingin cepat sampai ke kantor dan bertemu dengan sahabat-sahabat baiknya. Kalau masih pagi begini, Vicky dan Jo pasti belum beredar menemui klien. _*_ "Ra, tolong bikinkan paket untuk Sampoerna, ya. Sama satu lagi, untuk home shopping yang baru berdiri itu. Mereka gila-gilaan promonya. Kayaknya bagi-bagi kue sama semua media. Kamu bikin sebaik-baiknya, ya. Tahu, kan kalau untuk produk kayak home shopping gitu bagusnya apa? Tawarin banner di halaman utama." Mas Eka memberi perintah sebelum Vara masuk ke dalam ruangannya. Tanpa membantah, Vara mengangguk sebelum masuk ke ruangannya langsung menuju kubikelnya yang terletak menempel ke dinding. Setelah mengempaskan tubuhnya di atas kursi dia mulai menghubungi teman-temannya agar datang ke kubikelnya segera. Masih ada lima belas menit sebelum bel berbunyi dan dia harus segera membuat penawaran. Kantornya memang seperti sekolahan saja, ada bel yang berbunyi menandakan dimulainya jam kerja, jam istirahat, dan jam pulang kerja. Tidak lama setelah pesan terkirim, Vicky muncul di pintu ruangan Vara. "Lu bakal ketemu sama mamanya Mas Mahes? Seriusan, lu?" tanyanya langsung. Kanaya yang baru datang langsung menuju kubikel Vara tanpa meletakkan tasnya dulu. "Terus gimana, Ra? Lu nggak papa pergi sama Mas Mahes?" "Kalian kenapa, sih? Gue, kan cuma mau pergi sama Mahes ketemu ibunya bukan mau diajak nyulik anak orang." Vara memandang teman-temannya heran sambil membuka chat dari kakak-kakaknya. Seperti dugaannya, isinya petuah-petuah yang bilang kalau Vara tidak boleh berprasangka. Kak Andara bertanya kenapa Vara mengira kalau ponsel Mahes ada pada ibunya. Vara menjelaskan, kalau saking dekatnya mereka, Mahes sampai berbagi ponsel dengan ibunya. Tidak ada rahasia di antara mereka berdua. "Mas Mahes bukannya nggak mau, ya ketemuan sama elu di depan mamanya?" "Emang. Tapi dia juga nggak mau sampai ibunya tahu." "Egois. Dia ngerasa salah pasti, tuh." "Tapi gue aneh, ini beneran Mas Mahes bilang mamanya nggak boleh tahu kalian putus? Kok janggal, ya?" "Janggal gimana?" Jo yang baru datang menyeruak di antara Kanaya dan Vicky. Dia menempelkan tubuhnya pada dinding kubikel. "Katanya Mas Mahes itu deket banget sama mamanya, sampai ponsel aja barengan. Apa mamanya nggak pernah baca chat kalian?" Vara mengernyitkan kening. Pertanyaan yang sama dengan Kak Andara. Pertanyaan itu juga pernah terlintas di benaknya. Ibu dan anak itu memang sedikit aneh, padahal ibunya sudah dibelikan ponsel sendiri oleh Mahes, tapi entah kenapa ibunya itu suka sekali meminjam ponsel Mahes bahkan tukeran. "Gue ... nggak tahu. Kata Mahes, sih ibunya nggak pernah kepo. Tapi Mahes selalu bilang kalau dia lagi tukeran HP sama ibunya. Nah, semalem itu chat gue nggak dibaca samsek, gue pikir mungkin lagi dipake ibunya kali, ya?" "Makanya Mahes ngajak lu ketemu mamanya hari ini," ujar Jo menyimpulkan. Keempat sahabat itu saling berpandangan. Masuk akal juga. Mereka semua tidak sabar menantikan sore hari ketika Mahes menjemput Vara. Mereka ingin melihat bagaimana sikap Mahes mengingat saat ini sudah banyak orang tahu kalau Mahes idola mereka ternyata tega berbuat curang di belakang Vara. Hari ini, waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Vara tidak fokus mengerjakan tugas-tugas hariannya. Beberapa kali dia salah membuat paketan yang diminta Mas Eka. Ketika Vara menyodorkan revisi untuk ketiga kalinya, Mas Eka memanggilnya datan ke ruangannya. Vara berjalan gontai dan meninggalkan kubikelnya. Tiba di ruangan Mas Eka, Vara melihat sudah ada print-an paketan yang tadi dia kerjakan dan dikirim ke Mas Eka melalui link internal. Mas Eka menyuruhnya duduk dan dimulailah sesi ceramah ala Mas Eka. "Mas bukannya nggak tahu soal kamu sama Mahes. Jujur Mas kecewa sama dia. Mahes itu udah kayak adek Mas sendiri." Mas Eka memulai sesi ceramahnya. Vara tidak terkejut mendengarnya. Berita putusnya dia dan Mahes memang sudah menjadi konsumsi publik. Mengingat dulu di perusahaan ini, Mahes dan Vara adalah pasangan terfavorit karena selalu akur dan bisa menjalani masa kebersamaan sampai empat tahun tanpa ada konflik yang parah. "Tapi kamu juga harus tahu kalau ada kehidupan yang harus kamu jalani. Bukan berarti putus dari Mahes lalu kehidupanmu juga ikut putus. Mas paham kalau sekarang kamu lagi patah hati berat. Mas juga nggak akan marah-marah soal kesalahan kamu hari ini. Cuma Mas minta kamu cepetan move on jangan bersedih terlalu lama. Jangan sampai kejadian hari ini terulang lagi. Kamu paham, kan gimana berartinya dua klien ini untuk kita? Kontrak mereka ratusan bahkan bisa milyaran. Dan Mas nggak mau gagal di kontrak pertama." Petuah Mas Eka hanya bisa disahuti Vara dengan anggukan kepala. Dia ingin meneteskan air mata tapi tidak enak dengan Mas Eka. "Ini ...." Mas Eka menyodorkan selembar kertas pada Vara. Dibacanya kertas tersebut. "Voucher perawatan wajah?" tanya Vara. Dipandangnya Mas Eka setengah tak percaya. Istri Mas Eka seorang dokter kecantikan dan dia punya klinik sendiri. Pelanggannya lumayan banyak dari kalangan elit dan selebriti. Harga perawatannya jangan ditanya, satu kali perawatan bisa menghabiskan gaji satu bulan Vara. "Satu kali perawatan nggak akan cukup, tapi seenggaknya muka tegang kamu itu bisa sedikit relaks. Jangan lupa bikin janji dulu sebelum ke klinik, ya." Vara mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Mas Eka sebelum meninggalkan ruangannya. Voucher ini memberikan sedikit kesegaran pada hari-hari Vara yang kering. "Ra ...," panggil Mas Eka sebelum Vara benar-benar pergi dari ruangannya. "Jangan lupa kirim e-mail penawaran tadi ke alamat yang saya kasih ke kamu, ya," perintahnya. Vara mengangguk lalu meninggalkan ruangan Mas Eka sambil memeluk voucher itu dan tersenyum-senyum sendiri. Vara masih tersenyum ketika dia duduk di balik mejanya. Dilihatnya sekali lagi voucher tersebut dan dia membayangkan dirinya duduk di ruang perawatan klinik seperti para selebritis itu. Setelah menyimpan voucher tersebut di laci meja kerjanya, Vara membuka e-mail hendak mengirimkan penawaran ke Homie Home Shopping. Namun ketika dia sedang memilah file penawaran yang akan dikirimkannya, Kanaya menepuk bahunya. "Sorry, tapi gue pikir lu harus lihat ini." Disodorkannya ponsel Kanaya yang terbuka, memperlihatkan satu halaman di i********:. Foto tangan seorang perempuan dengan jam tangan yang melingkar di pergelangannya. 'Time will never run out if you are by my side. Thanks for the watch, Baby.' Vara melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dan memandang foto di layar ponsel Kanaya. "b*****t! Tega banget Mahes," desisnya. Tanpa sengaja tangannya menyentuh mouse yang langsung meng-klik file yang akan dikirim ke Homie Home Shopping. Terupload. Rasa sesak mulai memenuhi ruang dadanya, matanya panas dan rahangnya mengeras. Dia bergeser hendak mengambil tisu di sisi kiri komputernya. Siku tangannya menyentuh lagi mouse tanpa sengaja. Sent. File yang salah terkirim ke Direktur Pemasaran Homie Home Shopping tanpa Vara sadari.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD