bc

14 Hari Sebelum Putus

book_age12+
177
FOLLOW
1K
READ
billionaire
second chance
friends to lovers
manipulative
sweet
bxg
office/work place
friends
like
intro-logo
Blurb

BASED ON TRUE STORY

====================

Mahesa Prakasa yang ketahuan selingkuh, memutuskan Varanty Adisti tanpa alasan yang jelas. Merasa tidak siap karena harus melepas Mahes tiba-tiba, Vara minta waktu dua minggu untuk tetap memiliki Mahes.

Dua minggu, waktu yang Vara miliki untuk mencari tahu apa kesalahannya hingga Mahes tega menduakannya. Vara juga mencari tahu seperti apa kekasih baru Mahes itu. Dua minggu mungkin cukup untuk mengembalikan Mahes ke sisinya. Bagaimanapun juga, mereka punya empat tahun yang tidak bisa terhapus begitu saja.

Namun, setelah gelas dipecahkan, apa bisa dia direkatkan dan sempurna kembali?

chap-preview
Free preview
Prolog
Ransel itu bergoyang pelan ketika pemiliknya mengedikkan bahu untuk membenarkan posisinya yang sedikit turun. Tawanya terlihat lepas saat lelaki pemilik ransel hitam keluaran Eiger itu mengucek pelan rambut perempuan yang melingkarkan tangan di pinggangnya. Didekatkannya bibirnya ke telinga perempuan berambut pendek yang berjalan di sebelahnya. Bisikannya membuat perempuan itu menunduk dan memukul d**a lelakinya pelan. Mereka tertawa lepas, berjalan membaur dengan orang-orang yang baru saja keluar dari auditorium CGV Central Park. Malam itu Zombieland: Double Tap, baru saja selesai diputar. Seharusnya bayangan akting Emma Stone dan Zoey Deutch masih membekas dalam ingatan ketika keluar dari ruangan dan berjalan di sepanjang lobby CGV dengan atapnya yang tinggi. Namun bagi dua sejoli dimabuk cinta, interior CGV yang mengusung konsep vintage dan didominasi warna coklat itu tidak menarik untuk dinikmati. Mereka terlalu sibuk saling merayu dan saling mengusap sepanjang kulit tubuh mereka yang terbuka. Entah sudah berapa kali Vara menatap adegan mesra itu dalam layar ponsel miliknya. Ketika Amalia Jo menunjukkan rekaman itu pertama kali, Vara menangis di dalam kubikelnya. Sahabatnya sibuk mengusap punggung Vara dan memberikan kata-kata penghiburan. "Gue harus tanya sama Mahes. Gue, tu nggak bisa diginiin. Ini sakit. Sakit banget, tahu, Jo?" "Iya, iya. Gue ngerti banget, Ra. Tapi lo musti janji nanyanya pelan-pelan, ya? Jangan bawa nama gue dulu, takut salah. Tapi gue yakin kalau itu Mahes. Gue hapal banget sama tasnya. Itu tas yang lo beliin buat hadiah ulang tahun dia, kan?" Vara mengangguk dan menyusut hidungnya yang basah. "Gue mau hubungin Mahes. Minta ketemuan. Gue nggak mau dilama-lamain. Ini sakitttt. Sakit banget!" Rasa sakit itu masih ada ketika dia duduk di kamarnya sore ini sepulang kerja. Tadinya dia ingin mengajak Mahes ketemuan di warung steak atau seafood tempat mereka biasa makan. Namun Vara takut, takut kalau apa yang dilihatnya seperti dugaannya. Dia takut tidak bisa menguasai diri dan berbuat hal yang memalukan. "Ra?" Panggilan lembut Mahes di depan pintu kamar membuatnya cepat-cepat menghapus air mata yang tadi menetes. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cepat. Dikerjapkannya matanya beberapa kali untuk menghilangkan sisa air mata. "Masuk, Hes! Nggak dikunci!" Vara berusaha bersikap santai dan memainkan ponselnya untuk menyamarkan gugup. Telapak tangannya mulai dingin dan berkeringat. Pintu dibuka dan raut wajah Mahes yang segar terlihat di sana. Vara mengangkat wajah dan mendesah tak kentara. Ahh ..., betapa wajah itu sudah menemani hari-harinya selama empat tahun ini dan dia belum sanggup untuk kehilangan wajah yang seperti m****n baginya. "Kamu sakit? Kok, nggak mau diajak makan di luar?" tanya Mahes. Dia meletakkan tas plastik di ujung kasur dan meraba kening Vara. Perempuan berhijab pastel itu mengelak sedikit. Dia tak ingin perasaannya pecah begitu saja karena perhatian kecil Mahes. Setidaknya jangan pecah saat ini. Mahes baru datang dan dia membawa makanan, pasti Mahes lapar. Tadi dia mengajak makan di luar tapi Vara tolak. "Aku siapin piring." Vara bangkit dan mengambil perkakas di bawah meja TV. "Kamu bawa apa?" tanyanya sembari meletakkan sendok, piring, dan gelas di hadapan mereka. "Nasi goreng. Nggak apa, ya? Nanti kalau aku gajian, aku ajak kamu makan di warung steak kesukaan kita." Mahes membuka bungkusan dan meletakkannya di piring. Dada Vara mencelos. Mahes baru saja diterima bekerja di sebuah perusahan digital advertising agency setelah tiga bulan menganggur. Dia rela mengundurkan diri dari perusahaan tempat mereka bekerja karena peraturan yang tidak memperbolehkan suami istri bekerja dalam satu perusahaan. Ya, Mahes sudah berniat untuk serius dengan Vara. Setidaknya itu yang pernah dikatakannya. Namun setelah melihat rekaman itu, masa depan yang mereka rencanakan seolah sedang menghancurkan dirinya pelan-pelan. "Hes ..., ada yang mau aku omongin sama kamu." Vara membuka percakapan setelah mereka selesai makan dan terdiam beberapa saat untuk menurunkan makanan dalam perut. "Pantesan makanmu dikit. Mau ngomong apa?" tanyanya sambil meletakkan ponsel di atas kasur. Matanya menatap Vara lembut dan seperti biasa, senyumnya selalu terkembang. Vara berusaha mencari sesuatu di mata dan wajah Mahes, tapi apa yang dia cari tidak ditemukan. "Hes ..., kita nikah, yuk! Nggak usah rame-rame. Sederhana saja. Mbak Mery udah setuju, kok kalau dilangkahin. Kita bilang Mama sama Papa, juga Ibu kamu kalau kita mau memulai semuanya dari nol." Suara Vara bergetar ketika mengucapkan kata demi kata yang sudah dia susun sedari sore. Matanya tak pernah lepas menatap Mahes. Tak berapa lama, air mata turun segaris demi segaris di pipinya. Dia bisa melihat jawaban Mahes dari sorot matanya yang berubah. "Ra ..., aku nggak bisa," katanya lirih. Mahes membuang pandang. Tak sanggup menatap wajah Vara lebih lama. "Kenapa? Apa karena perempuan yang kamu ajak nonton kemarin sore?" "Ra? Kok kamu ...." "Di Central Park. Jumat malam pas kamu bilang mau basket, ternyata kamu nonton?" Vara menyodorkan ponselnya dan memutar rekaman yang menunjukkan kemesraan Mahes dengan seseorang. "Ra ...." Bahu Mahes melorot. Lemah. Dia terlihat lelah entah karena apa. "Kenapa, Hes? Kenapa kamu tega selingkuhin aku?" tanya Vara lirih. Air mata sudah tak terbendung lagi menuruni pipinya. Menganak sungai. "Kita putus, ya, Ra? Aku udah nggak bisa sayang lagi sama kamu." Sedemikian lancarnya kata-kata itu keluar dari mulut Mahes dan tanpa ada penyesalan terdengar di setiap napasnya. "Semudah itu?" Desahan halus terdengar dari mulut Vara. "Sejak kapan?" Vara memberi jeda, membiarkan dua bola matanya bertemu dengan bola mata Mahes yang sekarang dingin. "Kamu nggak perlu tahu. Kita putus saja, ya?" Kenapa harus meminta izin jika dia sudah memutuskan? "Kalau aku nggak mau?" "Aku udah enggak bisa sayang kamu lagi, Ra. Aku bisa nemenin kamu jalan, datang ke kosan kamu, tapi aku udah enggak bisa punya perasaan sayang lagi sama kamu." Apa maksudnya Mahes? Vara tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Mahes minta putus tapi kalau dia tidak mau Mahes tidak akan pergi dari sisinya? Begitu? "Aku nggak mau kamu pergi, Hes. Enggak secepat dan tiba-tiba kayak gini." "Mau kamu apa?" Nada bicara Mahes mulai naik. Tidak selembut ketika pertama kali datang. Rasanya Mahes sudah langsung memberi jarak bagi mereka berdua. "Kasih aku waktu buat ngelepas kamu pelan-pelan. Kasih aku waktu, Hes. Jangan tinggalin aku tiba-tiba kayak gini." Vara benci pada dirinya sendiri. Dia seperti sedang mengemis perasaan pada Mahes. Namun dia juga tidak bisa membohongi perasaannya yang pasti akan langsung hancur setelah ditinggalkan Mahes. Dia butuh waktu untuk melepas Mahesa Prakarsa. "Berapa lama?" tanya Mahes cepat. "Entahlah ..., sebulan mungkin?" katanya sambil menundukkan kepala. Air matanya begitu deras mengalir dan Mahes tak sedikit pun menunjukkan simpati. Dia terlihat begitu berengsek saat ini dan Vara masih saja mengemis waktu pada mantan kekasihnya itu. Bukankah seharusnya dia marah karena pengkhianatan Mahes? Vara mendengar desahan sinis dari mulut Mahes. Seharusnya dia menampar wajah tampan kekasihnya itu, bukan malah menunduk dan terisak. "Dua minggu. Sebulan terlalu lama. Dua minggu dan setelah itu tidak ada apa-apa lagi di antara kita." Mahes menatap Vara dingin dan tanpa harus mengangkat wajah, Vara sudah merasakan hawa beku yang perlahan merayapi dadanya. Dia berusaha menghentikan tangisnya dan menarik napas kemudian menahannya sebentar. Diangkatnya kepalanya yang terasa pengar. "Baiklah. Dua minggu dan selama itu, kamu nggak boleh menemui dia." Ada keraguan di mata Mahes ketika Vara mengungkapkan syaratnya. Namun dia juga tidak tega menyakiti hati perempuan yang sudah menemaninya selama empat tahun ini. Banyak hal manis yang tidak bisa mereka lupakan begitu saja. Banyak pengorbanan yang sudah dilakukan perempuan cantik berhijab ini padanya. Mahes tidak mungkin bisa membuang semua kebaikan-kebaikan itu dan bagaimana pun juga, karena perempuan bermata bulat inilah dirinya bisa bekerja di tempat yang baru sekarang. "Deal," jawab Mahes seraya mengulurkan tangan untuk menghapus sisa air mata milik Vara. "Two weeks and i am yours."[]

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kubalas Hinaan Kalian! (Rahasia Menantu Miskin yang Dituduh Mandul)

read
4.3K
bc

23 VS 38

read
294.5K
bc

Akhir Pertama (Bahasa Indonesia) (TAMAT)

read
29.5K
bc

Istri yang Kutemukan

read
79.3K
bc

Sweetest Pain || Indonesia

read
75.4K
bc

Azela

read
19.3K
bc

Growing Pains || Indonesia

read
34.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook