4. Tuduhan Mandul

1366 Words
Kedua tangan Saka tak hanya mendekap pinggang ramping milik sang istri. Karena kedua tangannya juga jadi kerap mengelus perut Tia yang masih rata. Sementara yang di dekap dan ada di hadapannya, tengah memasukan test pack ke dalam tabung kecil berisi urine. Pasutri baru itu tengah berada di dalam kamar mandi. Lebih tepatnya, mereka tengah berdiri di depan wastafel. Keduanya tak menutup pintu dengan rapat karena merasa tak perlu melakukannya. Awalnya, keceriaan sekaligus senyum lepas terus menghiasi wajah Saka maupun Tia. Keduanya tampak begitu bahagia sekaligus gugup. Saking gugupnya, Saka yang awalnya menciumi pundak kanan Tia, sampai menggigit gemas di bagian sana. Namun Tia yang tahu suaminya terlalu gugup, menanggapinya dengan tawa. Akan tetapi seiring berlalu, bukan lagi hitungan detik, melainkan sudah sampai lima menit, test pack tetap hanya satu garis merah. Yang dengan kata lain, hasilnya masih negatif. “Tetap segaris. Garis yang satu enggak nyala. Berarti negatif?” lirih Tia lemas sekaligus kecewa. Padahal, Tia sudah sangat berharap. Ia sudah sampai panas dingin deg-degan. Seolah dirinya akan menerima hadiah undian yang nominalnya sangat besar. Tia tak sabar untuk mengetahui kebenaran kehamilannya. “Bentar, ... bentar aku aku baca instruksi-nya lagi. Takutnya aku salah. Bener enggak sih, stepnya hanya ini?” ucap Tia. Selain sudah menghadap sang suami, ia juga jadi menatap bungkus alat kehamilannya dengan saksama. “Gimana? Eh Sayang ... bentar, setelah aku ingat-ingat, ternyata kita belum genap satu bulan. Beneran belum genap satu bulan. Andai belum positif ya wajar,” lembut Saka tak mau membuat sang istri kena mental. Apalagi dari ekspresi sang istri saja, terlihat begitu kacau. Tia sampai menangis menatapnya penuh kesedihan. “Aku beneran minta maaf,” isak Tia menatap penuh sesal sang suami. Tubuhnya terguncang pelan akibat tangis yang ditahan. “Heiii, ... enggak boleh bilang gitu,” lembut Saka yang kemudian memeluk Tia. Sesekali, ia juga akan mengelap air mata Tia menggunakan tangan kanannya yang tak mendekap punggung Tia. “Harusnya kalau mau jadi ya jadi, kan? Coba nanti aku cari tahu lagi,” rengek Tia sambil terus menatap sedih suaminya. Saka masih bisa ceria karena memang mereka belum ada satu bulan menikah. Saka merasa wajar terlebih memang masih banyak kesempatan. Justru Tia yang mulai ketar-ketir. Lebih-lebih ibu Santi langsung nyinyir. Kebetulan, kamar mandi di kediaman ibu Santi bukan yang ada di dalam kamar layaknya kamar mandi orang kaya pada kebanyakan. Kamar mandi di sana ada di depan kamar mereka yang bersebelahan. Di rumah mereka ada dua kamar mandi. Satu ada di depan kamar mereka. Satu lagi ada di dekat dapur. Yang mana, sedari awal akan melakukan melakukan tes kehamilan, sebenarnya ibu Santi sengaja mengintip. Karena meski tahu hasilnya pasti akan negatif dan itu efek IUD darinya. Tentu ibu Santi ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk nyinyir ke Tia. Andaipun Tia masih bisa bertahan, minimal Tia bisa kena mental. “Lukai mentalnya, dan biarkan dia depresi. Itu jauh lebih membunuh ketimbang melukai sampai berdarah-darah!” batin ibu Santi dengan tekad yang begitu bulat. “Dulu, saat hamil Saka, dua minggu sudah cukup buat Mama buat bisa hamil Saka!” ucap ibu Santi. Seperti yang ibu Santi yakini, Tia yang sedang kecewa pada dirinya sendiri karena ternyata dirinya belum hamil. Jadi makin terpuruk gara-gara ucapan ibu Santi. “Jangan-jangan, ... ini tanda kalau kamu mandul?” lirih ibu Santi mendadak dengan nada takut. “M—Ma!” tegur Saka, tapi tak sampai membentak. Apalagi setelah tuduhan mandul dari ibu Santi, Tia langsung pergi. “Sayang ... Sayang tunggu. Jangan diambil hati. Jangan dipikirin dong Sayang,” lembut Saka berusaha merengkuh hatinya. *** Sampai akhirnya pemeriksaan bulan berikutnya dan berikutnya lagi, hasil test pack tetap negatif. Ibu Santi makin sibuk nyinyir. Sementara Tia yang sadar diri, dirinya yang salah, hanya pasrah dinyinyiri. Tia tak kuasa membalas, membela diri, apalagi mengamuk. “Sudah jalan empat bulan ya. Berarti tinggal dua puluh hari lagi!” berisik ibu Santi tepat di depan pintu kamar Saka dan Tia. Saka dan Tia yang duduk bersebelahan di pinggir tempat tidur, kompak diam. Saka dapati melalui lirikan, istrinya makin tersedu-sedu. Karenanya, Saka kembali lanjut ikhtiar. Ia meraih satu kotak tauge mentah yang sebelumnya sudah dibersihkan. Tia menyiapkan itu untuknya. “Uuugh ...!” Saka nyaris muntah. Ia sungguh tidak tahan dan buru-buru membuka jendela kemudian memuntahkannya. Tia menatap Saka dengan tatapan putus asa. “Sayang, ... biar jelas sejelas-jelasnya. Ayo kita konsultasi ke dokter.” Mendengar ajakan sang istri, Saka langsung diam. Terlebih meski sudah punya istri, uang hasil kerja Saka tetap dipegang ibu Santi. “Uang buat konsultasi gitu, ... biasanya enggak murah, Sayang.” “Biar jelas, Mas. Biar ada solusi. Biar sama-sama plong. Gaji kamu cukup kok. Apalagi selain kamu yang larang aku kerja sejak kita nikah, ... uang tabunganku beneran sudah habis buat biaya hidup sehari-hari kita. Enggak mungkin juga kan, aku minta uang ke mama kamu cuma buat beli sabun apa sampo! Apalagi kalau lagi pengin jajan. Beli paket data,” ucap Tia sambil menghampiri sang suami. “Lagian kamu, sudah punya istri. Sudah nikah, masa gaji masih dipegang mama kamu. Sementara kalian kompak minta aku buat enggak kerja.” Tia masih susah payah menahan tangis. “I—iya, ... masalahnya aku enggak berani minta uang buat konsultasi kehamilan ke mama. Apalagi kamu tahu sendiri, keadaan kamu yang enggak hamil juga, bikin mama makin sibuk nyinyir. Yang ada pasti makin ribut,” ucap Saka. “Kadang aku mikir, ... sori ya aku harus bilang gini. Namun, cara mama kamu terus nyinyir ke aku. Bahkan dia panggil aku, Si Mandul. Dia beneran enggak punya hati.” Disinggung mengenai kehamilan dan juga tuduhan mandul, memang selalu membuat Tia rapuh. Hatinya remuk redam karena pada kenyataannya, bukan maunya tak kunjung hamil. “Wanita mana yang mau telat hamil apalagi mandul, Mas? Wanita mana ...? Enggak ada! Kalaupun ada, bisa jadi dia gillllaa!” raung Tia makin tersedu-sedu. “Ya sudah, kamu yang minta uangnya ke mama. Toh, yang mau pakai uangnya juga kamu,” ucap Saka sambil merangkul Tia. Balasan Saka membuat Tia menatap sang suami dengan tatapan putus asa. “Sayang ... kehamilan ada karena dua pihak. Aku enggak bisa menghamili diri sendiri. Harus ada yang membuahi. Dengan kata lain, baik aku maupun kamu bakalan cek.” “Enggak selamanya mandul murni karena wanitanya!” ucap Tia dan langsung membuat Saka menghela napas kasar. Saka tampak lelah bahkan tersinggung. Karena seolah, Tia dengan sengaja menyudutkannya. Bahwa justru Saka yang bermasalah. Justru Saka yang mandul. “Kamu minta uang? Kamu mau gajinya Saka?Nanti ... nanti kalau kamu sudah kasih dia anak. Kalau kalian sudah punya anak, baru saya kasih gaji suami kamu ke kamu!” balas ibu Santi ketika Tia meminta uang atau itu gaji suaminya, dengan sangat santun kepada sang mama mertua. Akan tetapi, balasan ibu Santi membuat Tia kesal luar biasa. Tia menjelaskan kewajiban suami kepada istri, sekaligus bakti anak yang sudah menikah, kepada ibunya. Terlebih, Tia jelas mengurus ibu Santi. Namun ibu Santi yang tidak terima, malah menjambak, melakukan KDRT kepada Tia. Bersamaan dengan itu, mulut jahat ibu Santi juga terus menyebut Tia “si mandul”. “Jelas-jelas kamu yang mandul. Masih saja cari cara, agar kamu bisa menyalahkan Saka!” “M—Ma ... sakit, Ma!” Awalnya, Saka masih membela istrinya. Namun mendengar apa yang baru saja sang mama katakan. Bahwa maksud Tia mengajaknya ke dokter justru untuk membuat keadaan seolah Saka yang bermasalah. Seolah Saka yang mandul, Saka jadi kesal. Dan tiba-tiba saja, Saka teringat bahwa saat malam pertama, istrinya memang sudah tidak perawan. Hanya saja, saat itu Tia menjadikan amnesia yang dialami, sebagai alasan Tia tak mengetahui penyebab kenapa dirinya sudah tidak perawan. Padahal Tia yakin, Saka menjadi orang pertama yang menyentuhnya dan itu di malam pertama mereka. “Bisa jadi, alasan Tia enggak hamil-hamil karena efek di malam pertama saja, Tia sudah enggak perawan. Jangan-jangan memang karena sudah ada yang Tia lakuin dan bikin rahimnya bermasalah?” pikir Saka. “Kamu enggak usah mengajari Saka maupun saya kewajiban dan bakti. Karena menjalani kewajibanmu hamil saja, kamu enggak becus!” teriak ibu Santi yang sampai mendorong kepala Tia sekuat tenaga. Tia yang kepalanya jadi awut-awutan, berakhir terduduk di lantai setelah sebelumnya sempoyongan parah. Setelah itu juga, Saka yang menepi dari renungannya, buru-buru menolong Tia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD