5. Pura-Pura Sakit

1029 Words
Dering alarm di ponsel baru saja bunyi, padahal pemiliknya masih terjaga. Masalah rumah tangga yang dimiliki memang membuat Tia tidak bisa tidur. Terlebih selain dirinya yang belum juga hamil, ibu Santi juga tak segan KDRT. Dengan hati-hati, Tia meraih ponsel di meja sebelahnya. Karena Saka masih memeluk Tia erat, wanita cantik itu melakukan semuanya dengan hati-hati. Termasuk ketika ia berusaha meninggalkan tempat tidur. Meski pada akhirnya, sang suami tetap saja terusik bahkan bangun. “Memangnya sudah jam lima pagi? Kok cepat banget?” tanya Saka dengan suara berat khas orang baru tidur. Ia memeluk Tia erat, tak mengizinkan istrinya itu pergi. Meski hanya melihat sepintas, kedua mata Tia, Saka dapati masih sembab parah. Bibir apalagi hidung Tia juga masih merah. Karenanya, lagi-lagi ia kembali meminta maaf. Hanya itu yang bisa Saka lakukan mengingat ia tak mungkin menghajar balik mamanya yang sudah membuat Tia terpuruk. Semalaman ini setelah dihajar ibu Santi, Tia jadi sibuk menangis. Acara makan malam yang persiapannya sudah menguras tenaga Tia dalam memasak banyak juga tak mereka jalani. Karena selain Tia yang jadi menangis sekaligus mengurung diri di dalam kamar. Saka juga turut menemani. “Baru jam empat. Aku sengaja bikin alarm lebih awal. Niatnya mau ikut berangkat bareng Mas sampai halte. Aku mau cari kerja lamar-lamar kerja ke beberapa tempat,” lirih Tia dengan suara lemah. Apa yang ia alami tak hanya membuat Tia merasa sakit hati. Karena dituduh mandul juga membuat dirinya lemah. Mental Tia jadi terluka. Beberapa kali, Tia jadi tidak bisa membedakan mana yang nyata, juga mana yang hanya halusinasi. Kenyataan tersebut pula yang membuat tekadnya melakukan cek kesuburan, makin kuat. Bagi Tia, uang menjadi satu-satunya solusi untuk masalah yang tengah ia hadapi. Namun karena ia tak mungkin mendapatkannya dari sang suami, mau tak mau dirinya harus kembali bekerja. Andai memang ada yang salah, asal Tia memiliki uang, dirinya pasti bisa segera melakukan pengobatan. “Mau kerja di mana? Di kantorku apa gimana? Mau enggak? Namun takutnya, ... kalau kamu digodain. Atau malah dikerjain, aku langsung enggak terima dan berakhir ngamuk. Yang ada kita sama-sama jadi bermasalah,” lembut Saka sambil menatap kedua mata Tia penuh cinta Tia tersenyum haru kemudian menggeleng. “Aku enggak akan minta dicarikan kerjaan di kantor Mas kerja. Aku mau cari di sekitar sini saja. Daftar jadi kasir apa SPG.” “Please jangan jadi SPG. Aku enggak sanggup lihat kamu lenggak lenggok diperhatikan banyak orang. Fatalnya digodain pria hidung blerang!” pinta Saka. Tia tak langsung merespons. Akan tetapi, tatapannya menatap pedih setiap lekuk wajah Saka yang masih memeluk punggungnya erat. “Andai aku tahu mencintaimu sepedih ini. Bahkan mental aku sampai terluka karena kelakuan mamamu. Jujur, aku lebih memilih, ... lebih baik kita enggak pernah bertemu. Lebih baik kita enggak pernah saling kenal, dekat, apalagi sampai menikah. Terlebih sejauh ini, mas enggak pernah bisa tegas ke mama Mas,” batin Tia. *** “Pufffttt!” Ibu Santi terlalu syok dan refleks menyemburkan air putih hangat yang harusnya ia tenggak. Air putih yang tentu saja disiapkan secara khusus oleh menantu cantik dan terus ia tuduh mandul. Kabar bahwa Tia akan bekerja agar bisa mendapat uang untuk cek kesuburan, membuat ibu Santi ketar-ketir. Ia seolah disambar petir di siang bolong. Keadaan yang masih berkaitan dengan kelicikannya dalam memasang IUD secara diam-diam di rahim sang menantu. Ibu Santi menjadi ketakutan. Takut pemasangan IUD yang ia lakukan secara diam-diam ketahuan. Tia sudah tampil cantik menggunakan pakaian serba panjang. Selain itu, Tia juga sampai memakai soft lens untuk mengatasi kedua matanya yang sembab parah. “Si mama Santi memang enggak punya hati, apa memang enggak punya urat malu? Masa dia sama sekali enggak merasa bersalah meski tahu aku mau kerja? Sementara alasanku bekerja, murni karena efek gaji suamiku dipegang dia. Logikanya kan, ketimbang dia nuduh aku mandul tanpa bukti akurat, mending dia bawa aku periksa! Kalaupun aku memang bermasalah, ya diberobatkan agar aku bisa segera memberinya cucu!” batin Tia sambil sesekali melirik tajam mama mertuanya yang ia pergoki juga kerap meliriknya tajam. “Bahaya kalau sampai ketahuan. Gagal semua rencanaku! Pokoknya, bagaimanapun caranya, Tia enggak boleh kerja. Bahkan kerja secara online pun tetap enggak boleh! Tia enggak boleh pegang uang karena dia tipikal cerdik. Bisa langsung konsultasi ke dokter kandungan kalau dia punya kesempatan! Ujung-ujungnya gagal total!” batin ibu Santi. Bagi ibu Santi, IUD yang ia pasang di rahim Tia tak ubahnya hadiah terindah darinya untuk Tia. Hadiah terindah yang harusnya tak pernah diketahui keberadaannya. Agar Tia tahu rasa, selain agar Tia menjadi wanita mandul seumur hidupnya. Itu hukuman untuk wanita desa miskin seperti Tia kerena berani mengusik kehidupan ibu Santi, maupun kehidupan Saka sang putra. “Ma, Mama baik-baik saja?” sergah Saka mengkhawatirkan mamanya. Ia yang awalnya duduk di sebelah sang istri, berangsur menghampiri sang mama dan memang duduk persis di hadapannya. Kebersamaan mereka di sana hanya dipisahkan oleh meja makan tak begitu luas. Namun dalam diamnya Tia makin penasaran, kenapa ibu Santi tak kunjung membawanya melakukan pemeriksaan kesehatan secara keseluruhan? Karena andai pemeriksaan membuktikan memang Tia yang bermasalah, bukankah itu akan membuat ibu Santi mengusirnya dengan lebih mudah? Bukankah itu yang ibu Santi mau agar mereka tak sampai menunggu dua selama puluh bulan lagi? Segala cara ibu Santi lakukan, agar Tia tidak jadi bekerja. Akan tetapi, ibu Santi juga akan tetap melakukan apa pun agar ia tak sampai memberikan gaji Saka kepada Tia. Karenanya, ibu Santi sengaja pura-pura sakit. Hingga Saka yang awalnya memberi Tia izin kerja, berubah pikiran dan jadi melarangnya. Tia tak memiliki pilihan lain. Tia terpaksa merawat ibu Santi yang makin menyebalkan. Ibu Santi memesan banyak makanan enak, tapi tak sedikit pun membaginya kepadanya. Begitu juga dengan pesanan lain termasuk pakaian dan sandang lain. Semua uang itu tentu uang Saka. “Katanya pengin cucu, tapi enggak ada usahanya blas!” kesal Tia makin gondok pada ulah mama mertuanya. “Ngakunya sakit, kok malah sibuk buang-buang duit?” Sampai detik ini, Tia yang masih bicara dalam hati, juga masih berdiri di depan pintu kamar ibu Santi. Ia diwajibkan jadi satpam ibu Santi yang mengaku sedang meriang, vertigo, dan juga mual. Padahal, makan nasi padang porsi besar saja, ibu Santi habis dua porsi. “Sakit apa kesurupan, ya? Jangan-jangan, mertuaku kesurupan? Wajib rukiah, dong!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD