11. Wanita Licik Ketipu Tukang Kibul

1242 Words
“Apa kabar?” ramah ibu Santi kepada Nilahara yang makin seksi meski tubuh Nilahara sudah makin semok. “Alhamdullilah, Te!” balas Nilahara masih ramah. “Ya ampun, ... si tante Santi masih ramah banget. Memangnya dia enggak tahu kalau alasan aku dan Saka putus, aku yang selingkuh dan itu pun aku juga yang mutusin? Sumpah aku deg-degan banget, tapi kalau lihat sikap tante Santi, harusnya semua aman. Oh iya ... si Saka apa kabar, ya? Terakhir dia sampai nangis karena enggak mau aku putusin,” batin Nilahara masih memasang wajah semringah sekaligus elegan agar ia tetap terlihat layaknya orang kaya. Ia juga sengaja memamerkan tas mahal yang ia jinjing berikut sepatu dan pakaiannya, melalui gelagat santainya. “Wah ... si Hara, ... dari tampilannya saja kece banget! Dia pasti sudah jadi orang sukses. Kabarnya dia kan nikah sama pengusaha rental. Jangan-jangan, dia juga sudah jadi pengusaha,” batin ibu Santi. Layaknya niat Nilahara, gayanya yang elegan tapi sombong bagi yang paham, berhasil menjadikan ibu Santi sebagai korban. Ibu Santi amat sangat percaya bahwa Nilahara memang kaya bahkan sudah sukses dengan usaha yang menjanjikan. Padahal aslinya, Nilahara tak lebih dari wanita sam pah yang sengaja dibuang sang suami akibat kelakuan bur uknya. “Kelihatannya sekarang kamu makin sukses saja ya, Hara? Kamu pasti sudah punya usaha yang hasilnya enggak kaleng-kaleng, kan? Lihat, ... gayamu benar-benar mirip bos!” ucap ibu Santi langsung terkagum-kagum kepada Nilahara. “Nah, inilah alasan aku selalu tampil rapi dan necis, meski aku jarang mandi! Karena penampilan memang aset!” batin Nilahara yang sengaja berkata, “Alhamdullillah, Te. Sekarang aku memang ada beberapa usaha yang hasilnya lumayan banget!” “Wah ... kan, bener!” batin ibu Santi langsung deg-degan. Dalam hatinya ia menyesalkan keadaan, kenapa dulu Saka tak menikah saja dengan Nilahara saja? “Andai jadinya sama si Hara. Pasti hidupku juga enak. Pastinya, aku enggak setiap saat makan hati!” batinnya. Padahal memiliki Tia, ibu Santi ibarat memiliki pembantu gratis, yang sekadar makan saja juga tak pernah ia beri. Terlebih meski ibu Santi tak pernah memberi Tia modal, ada saja yang Tia hasilkan. Dari mengumpulkan rongso.k kemudian menjualnya, dan berakhir memanfaatkan hasil penjualannya untuk membuat kebun bahkan kolam. Kebun dan kolam tersebut pula yang menjadi penyokong utama pangan di rumah. Namun begitulah kehidupan, rumput tetangga selalu lebih hijau, padahal belum tentu rumput tersebut benar-benar hijau. “Jadi ya Tante, ... meski sekarang aku janda, aku sudah punya usaha. Sudah punya dua mobil juga,” lanjut Nilahara dan makin membuat ibu Santi silau. “Wah wah ... wah! Bener kan dugaanku! Si Nilahara keren banget! Si Tia beneran enggak ada apa-apanya. Upilnya saja tetap bagusan Nilahara!” batin ibu Santi. Detik itu juga ibu Santi memiliki rencana untuk menjodohkan Nilahara dengan Saka. Bagaimanapun caranya, ibu Santi akan memastikan Saka menikahi Nilahara. Bahkan meski hubungan keduanya harus berawal dari zin.a, ibu Santi tidak peduli. Termasuk juga perkara Tia yang masih mengabdi kepadanya dan sampai detik ini sangat disayangi Saka. “Sepertinya, Tante Santi langsung percaya ke aku. Syukur-syukur, dari pertemuan sekaligus obrolan ini, dia bisa bikin aku dan Saka balik lagi. Gitu-gitu Saka kalau sudah bucin kan, bisa meratukan banget. Selain aku yang bisa menutupi kehamilanku jika aku menikah sama Saka,” batin Nilahara yang sengaja menawarkan kerjasama sekaligus investasi kepada ibu Santi. Padahal jangankan usaha, duit saja sebenarnya ia tidak punya. “Hah? Investasi ... kerja sama?” batin ibu Santi makin terkagum-kagum kepada calon menantu idamannya. “Kece-kece! Keren pokoknya!” batinnya kegirangan. Namun alih-alih membahas menantu, ia sengaja mengutarakan niatnya dan menceritakan bahwa Tia istri Saka, mandul. “Semoga Nilahara mau. Semoga ... semoga!” batinnya sepanjang bercerita. “Wah ... wah ... beneran rezeki nomplok!” batin Nilahara girang tak karuan. Bergegas ia mengajak ibu Santi masuk rumahnya. Sebab selain obrolan mereka makin inten*s, gerimis juga mendadak mengguyur. Saking asyiknya mengobrol dengan ibu Santi demi kepentingannya, Nilahara jadi makin cuek kepada Ziva. Ziva jadi sibuk sendiri dan justru berulah dan membuat makanan di prasmanan berantakan. Ingus Ziva menetes ke setiap makanan di sana. Ibi Hanum selaku sang nenek yang memergoki, buru-buru mengamankan Ziva. Karena setelah melihat kanan kiri ia pastikan tidak ada yang melihat, ibu Hanum tak berniat mengganti makanan yang Ziva acak-acak. Turunnya gerimis yang perlahan menjadi deras, sedikit menenangkan perasaan maupun pikiran Tia. Tia yang baru minum obat pereda nyeri, menatap sendu langit kelabu di luar sana. “Langit kelabu saja memiliki hujan sebagai pelengkap atau setidaknya teman hidup. Kenapa aku yang jelas merupakan istri dari mas Saka, harus terus berjuang sendiri?” batin Tia. Sering, Tia ragu perjuangannya mempertahankan hubungan dengan Saka, akan berakhir bahagia atau setidaknya mendapat restu. Namun jika ingat dirinya yang sebatang kara, lagi-lagi Tia merasa tak mau kehilangan Saka. Baginya, Saka segalanya. Saka satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Meski bersama Saka, Tia juga harus sangat sabar karena ada ibu Santi. “Ya Allah ... jika memang restu dari ibu Santi tak mungkin aku dapatkan, sementara mas Saka juga tak mungkin berubah menjadi kepala keluarga yang baik, ... jauhkanlah kami. Hamba ikhlas!” batin Tia benar-benar pasrah. Bagi Tia, meski baginya Saka segalanya. Jika memang dalam sisa waktu dua tahun yang ia miliki sebagai syarat menjadi istri Saka, memang tak ada akhir indahnya, lebih baik disudahi saja. Tia ikhlas, dan akan kembali menjalani sisa hidupnya sebagai sebatang kara amnesia. Memang sakit, tapi juga akan lebih baik. Ketimbang bertahan tapi hanya disepelekan bahkan dilukai. Petir di luar sana mendadak menyambar-nyambar seiring doa yang Tia panjatkan. Seolah mereka sengaja menjadi saksi dari doa sekaligus harapan Tia. “Ayo semangat kerja lagi. Meski badan benar-benar meriang, dan sekadar jalan juga harus berpegangan,” batin Tia sambil menahan tangis. Apalagi ketika rekan kerjanya, dengan sangat peduli memintanya untuk pergi istirahat saja. *** Jahatnya ibu Santi, ia sudah langsung menghubungi Saka melalui sambungan telepon. Ibu Santi mengabarkan bahwa dirinya sudah bertemu dengan Nilahara yang juga masih sangat menyayangi Saka. Seolah, Allah langsung mengabulkan doa Tia. Apakah Saka akan tergoda kepada Nilahara? Atau tetap memilih Tia yang sudah satu setengah tahun lebih Saka minta untuk bersabar? “Nilahara?” batin Saka masih duduk di kursi kerjanya. Ia menghuni salah satu kubikel kantor yang meja cukup luasnya dihiasi bingkai mungil berisi foto kebersamaannya dengan Tia, saat mereka masih pacaran. “Mama sudah cerita semuanya ke Nilahara dan orang tuanya. Dari pernikahan kamu dan Tia, juga Tia yang mandul dan hanya bikin hidup kita sengsara, Ka.” “Nilahara mau jadi istri kedua kamu. Dia siap kasih mama cucu! Pulang kerja kamu langsung ke sini saja, ya. Ke rumah orang tuanya Nilahara. Sudah jangan memikirkan Tia lagi. Enggak ada gunanya.” “Kamu cari yang jelas saja. Ini kan Nilahara sudah janda. Dia punya banyak usaha, lancar banget usahanya. Mobil pribadinya saja ada dua. Kalian pasti cocok kalau ketemu.” “Makanya nanti pulang kerja langsung ke sini saja. Mama tunggu kamu di sini ya, Sayang! Asslamualaikum ....” Suara ibu Santi terdengar penuh perhatian di sambungan telepon Saka. Suara yang tentu saja sangat berbeda dari ketika sedang memaki-maki Tia. “Nilahara ...?” lirih Saka yang lagi-lagi bimbang bahkan galau. Karena tak bisa ia pungkiri, rasa untuk Nilahara memang masih ada. Sementara untuk Tia, mendadak Saka jadi merasa, memang tak seharusnya dirinya mengutamakan Tia. “Apalagi Nilahara sampai mau jadi istri keduaku. Padahal dia, sudah sukses,” pikir Saka yang kemudian menoleh ke sebelah. Di sana ada jendela dan membuatnya mendapati bahwa di luar sedang hujan deras disertai angin bahkan petir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD