Menemukan titik mata hazel itu belumlah mengungkit apa yang akan ia lakukan dengan kenyataan pahit yang harus Ella telan dengan segenap tenaga. Wajahnya kini bersitatap dengan raut yang pernah membuatnya tersenyum bangga. Ella melihat tangan mengenakan arloji yang sangat ia kenal, dan membawanya terbang seperti pesawat saat waktu itu Ella menangis.
Apa yang terlihat lebih dari yang terlintas di pikiran James. Wajah itu lebih dari kata memiliki inti keindahan, ungkapan ‘cantik’ saja memang tidak cukup tetapi James urung untuk mengusap air mata yang terus bergulir dari sana.
“Apa kabar My Rabbit?” James berkata. Ia terkurung dalam kekaguman wujud mungil di depannya.
Ella terdiam tanpa ingin membuat perlakuan berarti. Wajahnya semula mendongak tapi kini ia tertunduk menjatuhkan surat dari kedua orang tua asuhnya. “Surat itu bohong ‘kan?”
James memungut kertas itu dan ia membaca ukiran kata yang tercantum di sana, ia bimbang harus dari mana menuturkan bagaimana semua ini terjadi. Tak lama rintihan itu terdengar, James hanya bisa menatap titik air mata itu terjatuh. Pikirannya pun berandai-andai jika ia masih bisa membuat tangis itu menjadi senyuman.
“Tidak, surat ini kejujuran mereka. Dan ini semua kesalahan Paman sayang.” Jawab James meraih jemari lentik itu, tapi Ella melepasnya.
“Aku nggak kenal sama Anda,” Ella menoleh untuk memenuhi kebencian dari sorot matanya. “Dan Anda itu bukan Pamanku!”
Bahasa itu masih bisa James pahami. Ia mengekor saat Ella keluar dari kamar dan menuruti ke mana langkah itu pergi. Tapi rupanya kedatangan James masih tak membawa keadilan di sana, dan ia menemukan Ella kembali menatapnya penuh penghakiman.
“Sudah berapa lama Anda pergi huh?!” Tanya Ella merebut surat Leo dari tangan James.
“Lima belas,” James memasang raut datar. “Mungkin tujuh belas tahun, saja.”
Ella tak habis pikir dengan mata sayu saat menatap itu menjawab tanpa salah, seakan tak terjadi apapun di antara mereka. “Saja? Apa Anda ini…,”
Kata-kata Ella terhenti saat memang ia merasa tidak ada yang perlu dibahas meski sebenarnya rasa rindu terselubung di benak, ia juga ingin merasakan pelukan itu lagi tapi apa guna harapan karena semua terlalu melelahkan. Ella terus menghindar tapi entah pria di belakangnya membuntuti hingga di depan pintu kamar mandi.
"Aku yakin Anda masih memiliki sopan santun!" Ucap Ella membulatkan mata.
Sikap itu terus membuat James merasa lucu, ia diam menunggu Ella keluar. 10 hingga 20 menit lamanya James dibuat menanti tanpa ada hasil apapun, peri kecil yang selalu ia panggil dengan sebutan 'Rabbit' itu membuat James khawatir.
"Ella,"
Satu hingga beberapa kali pintu itu diketuk tapi tak ada jawaban sama sekali, bahkan suara air saja tak ada di sana. Tapi James memutuskan untuk tetap menunggu Ella hingga menit ke 30. Sial. Batinnya menduga dan ia tak ingin Ella berbuat macam-macam.
Tanpa aturan yang harus diperjuangkan, James membuka pintu itu hanya dengan satu kali sentakan kaki kirinya. Tapi James terkejut akan teriakan Ella, juga tak mengira jika dugaan ini salah besar. James segera keluar dan menahan napas karena secara tegas dan jelas ia melihat tubuh itu tanpa sehelai kain.
"Pergi!"
Teriakan itu terdengar kembali dan James menutupi pendengarnya dengan telapak tangan, sialnya James terbayang-bayang akan kulit mulus itu. "Maaf, Paman nggak sengaja sayang."
Berulang-ulang teriakan itu terdengar menggema di kamar mandi, James hanya diam santai sambil duduk di atas meja dapur tak lupa ia menutup daun telinga dengan telapak tangan.
Setelah menjelaskan sedikit James seketika melompat dari meja ketika Ella keluar membawa sikat kloset. James selalu berhasil menghindar dan terus menghindar membuat Ella marah, tapi karena tak tak ingin membuat gadisnya itu terus berlari James berhenti dengan menundukkan kepala.
"Maaf, Paman nggak sengaja. Maafin Paman Ella!" Pukulan itu terhenti karena tangisan.
James mengangkat wajahnya ketika terdengar suara isakan itu, ia bangkit untuk membelai ujung kepala Ella. "Maaf ya, Paman telat datang ke acara ulang tahun 17 kamu."
Ella menatap ke arah dua manik mata hazel James. "3 Tahun. Acara ulang tahun 17 ku sudah lewat 3 Tahun, sekarang Anda datang untuk ke acara ulang tahunku yang ke berapa?"
"21, 22, 23, 24, 25 dan seterusnya Paman janji akan datang ke acara pesta ulang tahun kamu."
"Aku bukan Ella kecil yang tahu akan janji, aku sudah muak! Tolong Anda pergi dari rumah ini!" Ucap Ella dengan amarah yang mulai memuncak.
Hanya senyuman tanpa James menuruti apa yang Ella katakan, kemudian ia mencoba meraih kedua tangan terlihat pucat dan dingin. "Hukuman apa yang pas buat Paman hm? Jangan marah Ella! Satu saat pasti kamu tau alasan kenapa Paman pergi."
"Aku mau tau sekarang!"
"Jangan dulu My Rabbit,"
Lalu Ella melempar tangan itu secara kasar dari pinggangnya. "Sekarang! Kalau enggak jangan panggil aku Rabbit lagi!"
James menatap langit-langit ruangan demi menahan kenyataan, mau atau tidak ia membuat satu kebohongan dengan alasan yang tepat. Ella masih mengisi suasana dengan kemarahan saat James bercerita mengapa pergi.
"Jadi, cuma karena Anda mau dijodohkan akhirnya pergi?"
Entah apa yang harus James berikan. Jawaban yang sesungguhnya atau kebohongan di atas kebohongan lainnya, yang jelas James memastikan untuk Ella takkan pernah tahu keadaan ini. “Maaf.”
Meski pelukan itu mendapat penolakan, tapi Ella takkan bisa mengelabui perasaannya karena wujud kemarahan. Rasa rindu di hatinya sudah tak bisa dibendung lagi oleh keegoisan, tapi tentu saja Ella akan tetap menjaga jarak. Bukan karena ia terlalu naif dan munafik oleh sosok pria yang memberikan sanjungan berupa belaian lembut, punggung berangsur hingga kepala Ella. Hangat tiap titik sentuhan itu lain dan ini sangat berbeda dengan James yang dulu.
“Lepas, udah sana pergi! Aku ada banyak tugas, dan aku nggak mau diganggu!” Ella melengos pergi tanpa mendengar jawaban James.
Bukan merasa ini harus dilakukan tapi James justru menguntit di belakang Ella bahkan ketika di depan pintu kamar pun ia tidak peduli melihat wajah imut itu kembali menghardik. James hanya mundur satu langkah ketika Ella akan menutup pintu, dan ia menghalangi dengan satu kaki terselip di pintu yang hampir tertutup.
“Paman boleh temenin kamu nggak?”
“Nggak! Pergi sana! Anda pasti bakal bikin aku nggak konsen!”
Jawaban itu menjadi pertanyaan James, tapi Ella sudah menutup pintu ketika ia lengah. Terpaksa James menunggu di ruang tamu tapi karena menunggu ini sangat membosankan, James mencoba untuk menghubungi temannya. Alessa Dell Vostro. Tapi panggilan itu tak ada jawaban sampai akhirnya James mengirim pesan suara dengan bahasa asing, dari balik pintu kamar yang terletak langsung di samping ruang tamu Ella memasang pendengaran.
“Itu kan… Bahasa Italia.” Ella merasa kesal karena ucapan itu tak bisa dimengerti.
Penuturan itu sangat lembut dan membuat Ella merasa ingin tahu, ia merindik dari celah pintu tapi ia sama sekali tidak mendapati James di sana. “Mana pria itu? Ngilang lagi? Dasar udah tua labil, bilangnya ‘sayang, maafin Paman ya. Paman janji nggak akan pergi lagi’. Ah, bullshit!”
Ella terkejut dengan suara James berdehem di sampingnya, ia pun menutupi kedua mata dan masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar Ella meremasi rambutnya karena meredam perasaan aneh yang datang dalam sekejap, apalagi suara James kembali memohon agar Ella menerima kedatangannya di rumah itu. Ella pun segera membuka pintu saat terdengar langkah James menjauh.
Tak dapat diduga dengan pasti Ella mendapati James yang memeluknya kembali, Ella pun terdiam mencerna semua keadaan ini karena ia masih tidak percaya jika pria yang dulu selalu ada dan terus diingat dalam masa kecilnya kini datang atas janji itu lagi, janji di mana James akan terus mengajarkan banyak hal.
“Jangan marah lagi ya!” Bujuk James dalam kecupan di kening Ella.
“Aku nggak marah,” Ella tetap melepas pelukan James. “Cuma malas denger janji."
Lagi-lagi James dibuat gelisah atas sikap itu, tangan yang terlepas di genggaman ia biarkan begitu saja dan kedua matanya terjerumus menatap punggung itu hilang. Tapi sadar jika semua ini atas kesalahan dari semula keadaan ini ada, James membuntuti Ella hingga di depan pintu kamar yang lain.
Ella diam tanpa memberi suara apapun, matanya liar melihat James berdiri sambil terus tersenyum. Bahkan wajah itu terlihat begitu teduh dan Ella merindukan pelukan itu lagi, pelukan yang telah lama hilang 17 Tahun lalu.
"Good night!" Ucap Ella menutup pintu.
James melebarkan senyuman. "Selamat malam sayang."
Lama James berdiri hanya untuk menatap pintu itu, ia masih tidak mengira jika bocah cantik itu kini tumbuh semakin cantik meski James selalu menerima foto-foto Ella dari Leo.
James merogoh kantung di celana dan melihat foto kecil yang sengaja ia bawa sebagai teman liontin milik Darius. "Hai Bro, kamu liat sendiri kan? Putrimu sangat cantik, dia juga sering juara di kampusnya."
Hanya ada wajah yang terlintas di pikiran, James memungut segala rasa salah setiap detiknya ketika memandang liontin Darius. Sambil mengamati pintu kamar, James berjalan pelan hanya ingin tahu apakah Ella sudah tertidur.
Begitupun sebaliknya, Ella terdiam berlindung di balik pintu mengamati suara langkah sepatu James. Entah hatinya merasa luka itu semakin menganga, dalam hingga sakitnya menghunus jantung. Ia teringat akan kedua orang tua yang sudah memberikan kasih sayang, tapi mengapa itu hanya sebuah permainan James.
Sambil memeluk dirinya sendiri Ella merampas pigura tak jauh dari tempatnya berdiri di atas meja kecil tempat biasa ibunya bersolek. "Bunda sama ayah kenapa pergi tanpa jelasin apapun ke Ella?"
Wajah Leo dan Sandra tersenyum manis di sisinya ketika Ella membuka kado, saat usianya 10 Tahun. Ella mencium wujud gambaran itu, menimang karena ia sangat merindukannya. "Ayah sama Bunda di mana sekarang? Ella sendirian di sini, Ella takut."
Suara itu terdengar oleh James, ia tersenyum karena ucapan Leo dan Sandra benar jika Ella gadis yang manja. Kemudian James berjalan menjauh untuk mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya kepada Ella melalui celah di bawah pintu. Ia kembali merasa lucu atas sikap gadisnya merenggut lembaran tisu dari tangannya.
"Kenapa Anda masih di sini? Aku mau Paman pergi, bikin kesel aja!"
Tiba saja pertanyaan itu terdengar, James tertawa kecil karena terkejut. "Kan Paman mau jagain kamu sayang."
"Aku udah gede, nggak perlu dijagain!"
James berdehem. "Oh gitu? Terus tadi yang bilang takut siapa ya?"
Sepi. James sama sekali tidak mendengar suara tangis Ella, bahkan napas yang tadinya memburu itu ikut hanyut di dalam malam semakin menggelap. James yakin Ella hanya tertidur tapi hatinya ragu, berulang kali ia berpikir keras bagaimana caranya tahu keadaan Ella.
"Ella,"
Tak ada sahutan. James berusaha mencari cara hanya demi mendengar suara Ella, tapi cara mengintip pada celah pintu tentu saja bukan ide yang pas apalagi James tidak ada pengalaman membujuk atau merayu wanita.
Karena sudah hampir 10 menit Ella terdiam ia pun tergerak mencari tahu, dengan jemarinya James mencoba untuk berkeliaran di celah pintu di bawah sana. Baru satu kali James mencoba meraba, tiba saja Ella menjerit. Pintu pun seketika terbuka lebar.
"Anda nggak sopan! Ngapain sih merangkak begitu? Ngintip ya?"
Sungguh James tak memahami apa yang ada di dalam kepalanya, ia sudah berbuat hal gila di mana seumur hidupnya tidak pernah James seperti ini.
"Enggak! Paman nggak kurang ajar kok," James bangkit dan lagi-lagi ia merasa lucu ketika Ella mendongak menatapnya. "Tadi Paman pikir kamu ketiduran di lantai, makanya Paman mau cari tau sayang. Maaf ya!"
"Maaf mulu, udah aku mau istirahat! Capek," Ella berbalik arah tapi secepat kilat ia menoleh kembali untuk memastikan jika James tidak membuntuti hingga di dalam kamar. "Anda diam di situ!"
"Jadi, kamu terima Paman di sini?"
"Terima apa? Besok Anda harus pergi, ini udah malem. Repot kalau Anda tersesat!" Ujar Ella mencela.
Ini adalah kesempatan James memperbaiki segalanya, apa yang Ella inginkan kini akan menjadi prioritasnya tanpa ia mengenal rasa lelah seperti dulu, lagipula dengan segala tenaga dan apa yang ia miliki saat ini takkan ada alasan lagi James meninggalkan bocah cantik itu.
[...]
Sudah hampir 48 jam lamanya Ella menahan rasa marah juga muak karena melihat pria yang kini tengah melambaikan tangan, bersandar pada mobil berwarna merah darah. "Ngapain sih dia ke sini? Dari mana dia tau aku kuliah di sini? Pasti Bunda sama Ayah."
Sambil bermain kunci mobil juga James merasa aneh dengan tatapan para mahasiswi di sana, ia sabar menunggu Ella yang hanya sibuk bercanda dengan teman-temannya. Kemudian James menoleh lagi ke setiap arah karena pandangan itu, ia pun bertanya-tanya dalam hati.
Pura-pura merupakan tindakan James agar ia tetap terlihat biasa meski tatapan para wanita di sana mulai mengumpulkan asumsi lain dalam pikiran. "Kenapa? Ada yang salah sama bajuku? Apa… Mungkin karena di Indonesia panas, aneh pakai mantel?"
Keresahan dalam hati James semakin bertambah ketika ia melepas jaket, tatapan mereka semakin liar kemudian James menghampiri tempat di mana Ella tengah santai di halaman kampus.
Bukan hanya saat di area parkir, tapi James menemukan tatapan itu lagi tapi ia tidak peduli karena yang dituju saat ini hanya Ella. Ketika berada di deretan gadis-gadis James merasa canggung tapi ia bersikap acuh sampai ia berhasil duduk di sebelah Ella.
"Anda ngapain ke sini?" Bisik Ella menarik-narik celana James.
"Jemput kamu, kenapa?"
"Enggak perlu, aku bisa pulang sendiri!"
Percakapan itu menjadi pusat perhatian 2 teman Ella, satunya dengan outfit senada berwarna krem langsung menggeser tempat duduknya. "Hai, boleh kenalan?"
James tersenyum kecut. "Ah, hai."
Ella mengamati tangan yang merebut jemari besar James, tubuh melenggok seperti belatung itu membuatnya bergidik ngeri. Kemudian Ella menatap wajah James yang mulai asyik dengan teman-temannya.
"Aku Lisa, nama kamu siapa?"
"James, maksudku kamu bisa panggil James."
Teman Ella satunya langsung menggeser tempat duduk dan menyingkirkannya. "Kalau aku Gadis, panggil aku Gadis karena emang aku juga masih gadis Om. Eh, apa? Maaf lancang panggilnya!"
"Enggak apa-apa, aku Pamannya Ella." James memperkenalkan diri.
Mendengar itu Ella menarik tangan Gadis. "Jijik aku liatnya, kalau kamu gitu! Aku nggak kenal disapa dia."
Gadis menekan bibir tipis Ella dengan telunjuk agar diam karena merasa diusik. "Kok kamu nggak cerita sih kalau punya Paman setampan dan semacho itu? Jahat kamu Ella."
"Apa?" Suara Ella membuat orang-orang menatap ke arahnya termasuk James.
Hampir 15 menit Ella sibuk menghabiskan makan siangnya sambil menatap kedua temannya yang terlihat asyik, canda tawa mereka ketika mendengar ucapan James. Apa yang lucu? Entah, Ella sendiri masih sulit mempercayai jika ia akan bertemu James kembali.
Merasa ini terlalu membuang waktu Ella pun malas mengharap untuk bisa menumpang ke salah satu temannya, ia menarik tas miliknya yang berada tepat di samping James. Tapi ketika akan berjalan menjauh tiba saja tangan Ella terhalang oleh rengkuhan tangan James.
"Ikut Paman!"
Ella melempar rengkuhan itu. "Enggak mau, aku itu bukan pengangguran seperti Anda."
James tersenyum miring. "Cuma sebentar kok, ada yang mau Paman tunjukkan ke kamu sayang."
Ella menarik lengan James bermaksud menyingkir dari tempat kedua temannya. "Jangan panggil aku begitu, aneh kedengarannya."
"Aneh kenapa?"
Tak ada jawaban lain Ella pun menghindar tapi itu tidak berlaku agar James diam saja. Kedua tangan besar itu menarik pinggang lalu menggendong Ella, James berjalan menyerobot kerumunan orang yang berlalu lalang, tapi usaha James terhenti oleh keberadaan pria bertubuh tegap dengan tinggi yang hampir sama dengannya.
"Lepas!"
James diam mendekati pria itu tanpa menurunkan Ella begitu saja. "Siapa? Kau berbicara padaku?"
Bahasa itu berubah. Ella menatap raut dari sorot mata hazel itu menajam saat berada di depan Mario Sinathria, pria berusia 35 Tahun merupakan dosen fisika yang sudah lama menaruh hati kepada Ella.
"Ya, Anda. Lepaskan! Itu murid saya."
Jarak James dan Mario semakin dekat, hanya sekitar jengkal tangan. "Aku Pamannya!"
Mario mengernyitkan kedua alis. "Benar begitu Ella?"
Bimbang. Ella hanya terpaku ketika wajah itu berbeda, manik mata James menggelap. Jauh seperti saat ia bertemu kembali. "Eh… Dia, iya. Dia… Paman aku Pak."
James melirik sambil tersenyum culas. Dengan perasaan menang karena ia memahami tanda kedua mata dan gerak tubuh Mario jika ada perasaan lain di wajahnya, dan James takkan pernah membiarkan itu terjadi. Ella adalah hartanya.