MAHKOTA ESYALLA - 1.2

2292 Words
     Sikap itu terus menjadi perhatian James ketika ia sudah memantapkan hati untuk memberikan hadiah dari ayah kandung Ella. Darius Montena Hans. Ketika benda itu sudah dipersiapkan tiba saja Ella bangkit meninggalkan meja makan di sebuah restoran, terpaksa James meringkus bukti itu ke dalam saku untuk mengejar Ella.      Sikap itu masih sama. Enggan menerima segala tindakan yang James berikan. “Ella, jangan pergi!”      “LEPAS!” Suara Ella meninggi, ia menyadera matanya pada arah kedua manik mata James. Entah, ia selalu tertarik. “Aku udah nggak mau main-main lagi, aku capek! Sekarang, di mana Ayah sama Bunda?”      “Leo dan… Sandra?” James bertanya.      Ella menangkap sesuatu pada pertanyaan itu. “Kenapa Anda bertanya? Apa ada orang tua ku yang lain? Iya?”      James menadahkan tangan demi menerima titik kecil air mata itu, ia takkan membiarkan segalanya jatuh percuma. James berusaha mencari cara untuk semua ini tapi bahkan kesempatan ini sangat sulit, mengenai kehadirannya saja Ella sudah sangat terluka.      “Jawab, Tuan James!” Ella memohon.      “Paman cuma mau kamu tenang, habiskan makananmu!”      Wajah cantik itu tentu menunjukkan sisi malas. “Aku nggak laper, aku mau ketemu Ayah sama Bunda. Di mana mereka?”      “Ada,” James berusaha membelai wajah itu, tapi Ella menolak dan menjauh. “Mereka ada sayang.”      “Di mana? Bilang di mana? Aku mohon!”      Ah sial. Cara awal yang telah James susun takkan berhasil, melihat tangan itu tergenggam terangkat sebatas d**a demi memohon padanya. “Amerika.”      Bukan bereaksi terhadap ucapannya, justru James melihat Ella tertawa kecil sambil menggelengkan kepala entah tak menentukan tanda pasti pada diri James. “Lebih tepatnya di California.”      Tawanya semakin keras hingga orang yang berada di restoran sontak menatap ke arah Ella dan James berada. Lekukan pipi itu berubah seketika saat suara tawa Ella mengendur dibatasi oleh titik lembut air mata yang keluar kembali, Ella menekuk kedua lutut tepat di hadapan James.      Tangan besar James merengkuh pundak terasa lemas, tapi Ella mendongak ketika wajah mereka saling menatap. Sangat dekat bahkan aroma napasnya menyengat pikiran keduanya.      “Salah aku apa? Kenapa Ayah dan Bunda pergi ke sana? Kenapa?” Lirih. Ella mengisi pandangan mata James dengan suara lembutnya.      “Bangun!” James berhasil membawa Ella berdiri, ia pun mendekap tubuh terasa sangat kecil. Rambut halus yang sama seperti James membelainya. “Ini bukan kesalahanmu sayang, ini… Karena Paman.”      Sepi. Ella bersitegang dengan semua ini dipelukan James, tak sanggup menerima jika memang Leo dan Sandra hanya merupakan orang suruhan untuk merawatnya. “Apa yang Anda maksud di Amerika itu ayah dan ibu kandungku?”      “Iya,” James menutup kelopak mata demi menahan rasa panas ketika mendengar suara tangisan itu, ia tak sanggup.      “Jangan bohong lagi!”      Hatinya memastikan jika keputusan ini benar. Lagipula James tau Ella merupakan gadis yang kuat, tapi dengan begitu ia tetap akan menjaga perasaan yang sangat lemah.      “Enggak, Paman janji akan ajak kamu ke orang tua kandungmu. Tapi, asal kamu janji satu hal.” James menuntut.      Ella melepas tubuh terasa hangat di dadanya. “Apa? Kenapa Anda memberikan syarat cuma untuk ketemu sama orang tuaku?” Tentu saja Ella menjawab karena ia tidak ingin mendengar segala persyaratan.      “Paman mau kamu lulus dengan nilai terbaik, dan menunjukkan itu kepada orang tuamu!”      Kata-kata itu benar. Ella berpikir jika dengan membawa kabar tentang segala prestasinya ia akan membuat satu kebahagiaan lain, seketika itu Ella menyanggupi ucapan James. Setelah menyelesaikan makan siang Ella hanya bisa mengikuti ke mana James pergi, walau di hatinya terbesit satu ketakutan lain. Ella hanya memiliki prasangka buruk jika James bukan paman yang selalu menjaganya dulu. [...]      Pertanyaan tentang James masih berlaku apakah itu benar atau tidak hingga Ella berada di sebuah gedung megah memiliki 4 lantai. Gerbang yang dijaga oleh 3 orang pria bertubuh tegap dan tinggi, dan terlihat jelas itu bukan orang Indonesia. Tapi Ella tak mendapat kesempatan bertanya karena James langsung membawanya masuk, pandangan Ella kembali dibuat tidak percaya ketika melihat halaman seluas lapangan bola di kampusnya.      Gila. Dalam hati Ella menilai jika bangunan itu bukan seperti yang ada di Jakarta, tapi ia merasa berada di dalam kurungan. “Ini… Rumah?”      “Iya.” Jawab James apa adanya      “Rumah siapa?”      “Kamu.”      Ella membulatkan mata. “Ru...mahku?”      Sampai Ella tak dapat berjalan, ia masih melihat sekeliling bahkan wajah James. “Enggak bohong lagi ‘kan?”      “Bohong. Tentu aja bukan, kamu harus belajar yang rajin supaya punya rumah seperti ini. Paham Rabbit?” James menyentuh ujung hidung mancung Ella.      Sial. Selalu saja Ella merasa dibodohi oleh pria dewasa yang kini berjalan lebih dulu. Ella terdiam menatap James merentangkan kedua tangan dan semua gorden di rumah itu terbuka lebar. Wow. Hatinya memastikan kekaguman.      Lamunan Ella tersadar saat James menyeret lalu membanting tubuhnya di pundak, sempat Ella memukuli punggung itu tapi tak ada hasil karena postur yang sangat jauh. Ella pasrah ketika James membawanya hingga ke dalam rumah, di ruang luas yang masih kosong itu Ella merasa aneh.      “Kenapa tidak ada perabotan di rumah ini? Apa rumah ini baru selesai?” Tanya Ella memperhatikan 3 lantai yang terlihat dari dasar, di sisi anak tangga itu Ella berhasil membuat James menurunkannya.      “Memang belum, kan Paman baru aja sampai di Indonesia. Jadi rumah ini masih belum diisi apapun kecuali kamar kamu.” Ucap James menaiki dua anak tangga, tapi Ella menahannya.      Gadis itu merentangkan kedua tangan sambil melamun dan membuat gigi kelinci itu terlihat jelas, James pastinya teringat saat Ella tertawa. Wajahnya begitu menggemaskan.      “Tunggu, kamarku? Kenapa bisa gitu?”      “Mau liat?”      Tanpa ada jawaban atas pertanyaan itu James menjadi pemandu ketika Ella mengekor di belakangnya, satu demi satu anak tangga membawa mereka ke lantai 2 di mana kamar sudah dipersiapkan untuk Ella.      Pintu besar itu belum terbuka tapi entah Ella sudah gemetar, ia mengendalikan sikap saja terlalu t***l. Setelah James berhasil menunjukkan ruangan pribadi itu tentu Ella tak dapat percaya, sontak ia meraih tengkuk James sambil berteriak,      “Ini kamarku? Beneran? Paman nggak bohong ‘kan?” Ella mengguncang tubuh itu tapi justru ia hampir terjatuh saat tidak sengaja, tapi James lebih dulu meraih pinggangnya.      “Bener sayang, itu kamarmu. Suka?”      Ella terdiam sambil terus menatap mata dan bibir itu saat berbicara, apalagi James sibuk memperhatikan kamar dengan memasang wajah menawan. Ah sial. Ella segera bangun dari lamunan dan tak ingin mencerna apapun saat ini.      “Suka ‘kan? Kalau enggak nanti biar Paman suruh orang ganti…,”      “Aku lebih suka kamarku.”      Kesekian kalinya James harus membaca ekspresi Ella yang sejujurnya ia sendiri terus menemukan kesedihan di wajah itu. Tapi James berusaha mengabaikan karena ia tahu ini merupakan hal yang baru, kemarahan juga mendera diri Ella.      “Ok, bisa.”      Reaksi Ella semakin tidak percaya karena hanya dengan cara James menekan tombol terbenam di dinding itu secara perlahan semua perabotan berganti, bukan hanya itu tapi kini suasana kamar Ella yang lama sudah ada di depan mata.      “Gimana? Suka?” Tanya James sedikit senang karena Ella sudah bersedia memanggilnya ‘Paman’.      Napas Ella semakin sesak karena dekorasi kamarnya yang dulu kini dilengkapi ruang musik khusus untuknya, tapi Ella tetap enggan melangkah masuk. Kemudian kembali pasrah adalah jalan yang Ella pilih ketika James membingnya ke ranjang, mereka duduk berhadapan dengan posisi James berada di kursi kecil.      “Nggak suka? Mau yang lain?”      Ella menggeleng lemah. “Anda ini siapa sebenarnya?”      “Aku?” James meletakkan telapak tangan di d**a sebagai menunjuk diri. “James, aku… Paman James sayang. Kenapa? Kamu masih ragu?”      “Jelas aku ragu.” Jawab Ella lirih, ia mengamati James bangkit dari tempat duduk kemudian berjalan ke arah lemari tak lama membawa sesuatu di dalam amplop.      Perlahan James duduk kembali di sana, tangannya sibuk menarik wujud yang berada di dalam amplop kemudian mengamati satu persatu hasil cetak foto itu. James menunjukkan gambaran dalam foto berjumlah belasan.      “Coba liat ini!” James memberikan foto gadis kecil berusia 4 Tahun. “Ini… Kamu bukan?”      “Iya, ini aku.” Ella mengeja wajah tampan James, sebenarnya ia yakin dan masih mengenal sosok James.      “Good Girl,” James memberikan satu lagi foto Ella. “Ini, foto kamu usai 5 Tahun. Benar ‘kan?”      “I...ya, benar.” Tangan Ella membelai wajah Leo dan Sandra di dalam album itu.      “Ini usia 6 tahun, 7 Tahun, 8, 9 dan… 10. Benar?” Kesekian kali wajah Ella terlihat saat usia kanak-kanak.      Hal itu berlanjut hingga Ella berusia 15 Tahun, bahkan hari ulang Tahun yang ke-17 saja James memiliki itu. Kemudian berlanjut hingga 18 dan 19 Tahun usia Ella, hal ini sangat mempengaruhi ingatan James akan Darius dan istrinya. Delia Montena Hans.      “Usia 20 nya mana?” Tanya Ella tanpa mengingat jika usianya saat ini adalah 20 Tahun.      Unsur pertanyaan itu tak dipahami James tapi ia senang jika melihat wajah polos itu nampak kebingungan. Tapi James sengaja tidak menjawab saat Ella tengah asyik dengan foto-fotonya. Setelah James mendapat teguran berupa tanda tanya melalui mata.      “Paman nggak denger aku ngomong?”      “Dengar, apa wajib Paman jawab?” Justru James balik bertanya.      “Kan aku tanya serius! Ah aku males, nggak usah dijawab!” Rutuk Ella kesal.      Tiba saja James menarik pinggang itu untuk berada di pangkuan, Ella pun tak berkutik ketika memandangi gelak kedua mata hazel James. Tanga itu terasa semakin hangat juga tubuh terasa keras ketika Ella berada di paha James, semua yang dirasakan mulai aneh dan Ella berusaha bangkit tapi James mulai senang menghalangi usaha Ella untuk menghindar.      “Paman nggak perlu punya foto kamu saat berusia 20 sayang, kan Paman udah bisa liat setiap hari.” Jawab James lugas.      Kali ini Ella teringat sesuatu yang mustahil jika ia tidak sadar akan usianya sendiri, apalagi kini Ella berada di posisi yang sulit dicerna karena belum pernah ia sedekat ini terhadap laki-laki, sikap James memang manis tapi Ella tidak siap menerima semua perlakuan ini setelah membuat satu kebohongan besar dalam hidupnya.      “Turunin aku Paman!” Ella memohon, ia bimbang harus berpegangan tapi terpaksa kedua tangannya melingkar di tengkuk James karena hampir terjatuh.      “Kamu nggak kangen sama Paman hm?”      s**t. Entah James tetap melihat Ella kecil yang tertawa senang saat mendapat pelukan. “Kan dulu kalau Paman datang kamu pasti peluk dan cium pipi, tapi…,”      “Itu kan dulu! Sekarang aku bukan gadis kecil lagi, cepat turunin aku!” Jawab Ella sambil berusaha membebaskan diri dengan cara menggerakkan kakinya.      Entah apa yang lucu ketika Ella melihat jelas James tertawa. Bukankah beberapa jam lalu terlihat mengerikan? Manis? Tapi ini Ella bahkan terpikat akan deretan gigi putih James. Tiba saja Ella tak sadar melepaskan tangan di tubuh James dan ia terjatuh.      James terkejut. Ia meninggalkan kursi demi membantu Ella bangkit. “Rabbit, kamu nggak kenapa-napa ‘kan?”      “Aku bukan Rabbit!” Jawab Ella ketus. Ia mengusap bagian paha yang sakit terbentur lantai.      “Maaf, Paman nggak sengaja. Maaf ya.”      Perlakukan itu semakin melemahkan amarah. Ella tersanjung saat James mengecup keningnya, juga membelai pipi lalu membawanya ke ranjang. Dari sana Ella melihat jelas senyuman manis ketika menatapnya, sikap lembut yang sama saat dulu meski samar bayangan wajah James dari ingatan Ella.      “Malam ini Paman mau jemput temen, mau ikut?”      “Temen? Siapa?”      James meringkus beberapa lembar foto masa kecil Ella ke dalam amplop. “Namanya Alessa, dia orang Eropa. Jadi, nanti dia yang akan tinggal di sini.”      Ella menyipitkan mata. “Bukan buat jagain aku ‘kan? Apa… Itu selingkuhan Paman?”      “Selingkuhan itu kalau pada dasarnya Paman ada pasangan.” Jawab James menjelaskan.      “Emang Paman belum menikah?” Tanya Ella entah mengapa ia ingin tahu mengenai James.      “Belum, kenapa? Kamu mau jadi istri Paman?”      Jantung Ella seakan terlepas dari rongganya, ia membulatkan mata tapi James hanya tertawa lirih kemudian mengambil selimut dari dalam lemari untuk melindungi tubuh Ella.      “Tidur! Jangan mikir macam-macam tentang Leo dan Sandra lagi, mereka baik-baik saja!” Lagi, James membuat wajah cantik itu frustasi karena mengecup kening Ella.      Belum Ella memperbaiki pikirannya atas perkataan James barusan kini ia telah dihadapkan oleh tangan yang terus saja mengusap kepalanya dengan lembut, terus terang saja Ella merasa aneh karena di usianya yang ke-20 ia belum pernah merasakan kecupan pria dewasa selain ayahya.      Tak ada yang serius bagi James karena pikirannya tertuju pada rasa cemas mengenai Alessa yang sulit dihubungi. Sudah berulang kali James melakukan panggilan ke nomor Alessa tapi tetap yang didapat hanya pesan suara, ia pun pun berjalan kesana kemari di depan kamar Ella dan hal itu diketahui oleh gadisnya.      Tak ada teguran. Ella pun mulai berpikir ini hal paling bodoh karena baru kali ini ia ingin tahu atas kegiatan orang lain, dari balik pintu tanpa diketahui oleh James ia mengamati punggung lebar terbungkus rapi oleh kemeja warna biru tua. Bagian tengkuk terdapat tato itu entah sama sekali tak membuatnya merasa ngeri.      Semilir angin membaur bersama aroma itu. James terpejam sambil memasang pendengaran ketika ada sesuatu mendekat, semakin dekat hingga suara napas itu terdengar. Aba-aba pada dirinya terpasang jelas, James mengepalkan tangan dalam sekejap ia menghalangi sosok itu mendekat namun ternyata apa yang telah diserang merupakan salah sasaran.      “Ella.”      Satu kali dorongan kuat itu sudah membuat Ella terjatuh. Ia pun bimbang saat mendapati gadisnya tidak sadarkan diri. “Sayang, bangun! Sial, sial. k*****t!”      James segera membawa Ella ke kamar. “Ella, bangun! Plis, bangun sayang!”      Belum James sempat berusaha membangunkan dengan tindakan, kini suara langkah kaki juga tepuk tangan terdengar. “Ck, ck… Kau, masih saja lengah James. Tidak seharusnya kau datang lebih awal, karena… Kau tidak becus menjaga gadis kecil mu itu.”      James menoleh ke sumber suara. “Alessa, kau.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD