"Sar.."
"Cris, kamu udah sadar.." Lane bergegas membantu Cristal duduk.
"Aku kenapa bisa di sini?" Cristal mengedarkan pandangan. Sesaat kemudian ia pegangi perutnya yang terasa sakit. Wanita itu meringis.
"Dismenore kamu kambuh."
"Siapa yang bawa aku ke sini?"
"Hm aku nggak tau," Lane pun terlihat bingung. Tadi aku ditelfon sama orang rumah sakit.
Kening Cristal mengerut. "Pake nomor aku?"
Lane menggeleng. "Nomor rumah sakit."
Cristal terdiam bingung. Dari mana orang rumah sakit mendapatkan nomor Lane?
"Jam berapa sekarang?"
"Jam 6 lewat. Udah kamu istirahat aja. Kamu lapar? Mau aku beliin apa?"
Cristal memandangi sahabat baiknya itu. Sebenarnya Cristal tak mau merepotkan Lane. Lebih tepatnya Cristal tak mau berhutang pada Lane. Tapi lagi-lagi kondisinya membuat ia harus merepotkan sahatanya itu.
"Sorry ya, Sar, aku ngerepotin kamu."
"Cris ngomong apa sih kamu? Udah aku beliin bubur dulu ya, yang enak biar kamu makannya semangat. Sebentar ya.." Lane berikan senyuman hangat kemudian berlalu.
Cristal menatap pintu yang tertutup. Pikirannya menerka-nerka siapa yang membawanya ke rumah sakit. Terakhir kali Cristal sempat menelfon emergency call rumah sakit. Tapi tadi malam Cristal benar-benar tak ingat ia sempat menghubungi siapapun. Cristal bahkan tak sadar jika dismenorenya menyerang. Lalu siapa yang membantunya? Orang itu bahkan punya nomor Lane.
...
"Bos.." Danny memanggil untuk ke dua kalinya.
"Saya nggak budeg."
Danny langsung mengatup rapat mulutnya.
"Urus kayak biasa." Jervaro bubuhkan tanda tangannya di atas berkas. Ia kemudian mengembalikan berkas itu pada Danny.
"Bos mau makan siang di mana hari ini?" Pertanyaan biasa. Pertanyaan ini mungkin sudah diajukan Danny hampir sebanyak 5.000 kali sejak ia bekerja dengan Jervaro.
"Kamu nggak ada kerjaan?"
"Iya, Bos?" Danny agaknya tak 'ngeh' dengan pertanyaan sarkas Jervaro.
Jervaro mengangkat wajahnya, menatap Danny dengan tatapan dingin. Oke, jika Danny tak segera pergi ruangan ini akan membeku dalam hitungan detik.
"Baik, Bos." Danny segera menghilangkan dirinya dari hadapan sang bos yang sepertinya sedang 'PMS'.
"Kurang kerjaan," dengusnya. Jervaro kemudian kembali fokus pada layar komputernya. Ia punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
...
"Kamu yakin mau pulang?" tanya Lane untuk ke sekian kali. Sejak tadi Cristal ngotot ingin pulang. Ia beralasan kalau dirinya sudah baik-baik saja.
"Iya, Sar. Cuma dismenore, udah biasa juga. Udah disuntik vitamin juga tadi."
"Hmm yaudahlah." Lane membantu sang sahabat. Ia sudah pasrah. Lane membantu Cristal membawa barang-barang yang sebenarnya tidak banyak. Kedua perempuan itu meninggalkan ruangan. Di tengah perjalanan mereka, tiba-tiba Cristal merasakan kembali nyeri di perutnya. Ditambah dengan rasa pening yang mendera. Wanita itu kehilangan keseimbangan dan nyaris berakhir tragis di ubin yang dingin.
"Kak.." sama-samar Cristal mendengar suara teriakan. Cristal bersusah payah mengatur napasnya. Ia membuka matanya perlahan dan menemukan sesosok wajah asing, tengah memeluknya. Cristal rasakan tangan orang itu tengah memeluk pinggangnya.
Cristal menarik napas dalam lalu membuka mata sepenuhnya.
"K-Kak," ucapnya samar. Cristal segera melepaskan diri, berdiri dengan kekuatannya sendiri. Meski susah tapi Cristal berhasil.
"Kamu nggak apa-apa?" Shan belum melepaskan cekalannya di lengan Cristal. Ya, pria yang sigap menangkap Cristal sebelum wanita itu jatuh adalah Shan, kakak laki-laki Lane. Cristal menggeleng. Ia menarik tangannya dan Shan melepaskan.
Tak jauh dari sana, Jervaro Vernon menyaksikan semuanya. Ia terdiam dengan wajah super dingin--menatap lurus ke arah tiga orang yang sedang berbincang beberapa meter di depannya.
"Kakak ngapain di sini?" tanya Lane yang terkejut dengan kehadiran sang kakak. Lane takut kakaknya itu sakit.
"Oh, temen Kakak ada yang dirawat. Cristal kenapa?"
"Cuma sakit perut," jawab Cristal lebih dulu sebelum Lane menjelaskan panjang lebar.
"Udah mau pulang?"
"Hm."
"Kamu bawa mobil, Dek?"
"Bawa."
"Yaudah hati-hati ya."
Ketiga orang itu berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing.
...
"Aku temenin aja ya malam ini. Nggak tenang ninggalin kamu sendiri."
"Aku nggak apa-apa, Sar. Kan bukan pertama kali juga."
"Ya tapi dulu dismenore kamu nggak separah ini. Cris," Lane mendekat, duduk di samping tempat tidur. "Kamu akhir-akhir ini lagi drop kayaknya. Aku tau beban pikiran kamu banyak banget. Tapi Cris, kalau kamu capek, kamu punya aku. Kamu bisa berkeluh kesah sama aku. Jangan disimpan sendiri."
Cristal menatap sahabat baiknya itu dengan perasaan campur aduk.
"Masalahnya ini bukan sesuatu yang bisa aku bagi, Sar." Cristal membatin. Ya, itu hanya bisa Cristal ucapkan di dalam hati. Tak bisa diutarakan.
"Aku beneran baik-baik aja. Akhir-akhir ini emang kelelahan jadi dismenorenya agak parah. Kamu tenang aja, nanti kalau ada apa-apa aku kabarin kamu."
"Bener ya? Tapi tadi malam kamu nggak hubungin aku."
"Aku aja nggak sadar, Sar."
"Terus siapa yang bawa kamu ke rumah sakit?"
Cristal terdiam. Ia baru sadar kalau ia salah bicara. Memang terlalu banyak kejanggalan, meski Cristal belum tahu apa. Hanya saja ia merasa Lane tak perlu tahu.
"Oh itu, Nova yang bawa."
"Nova? Asisten kamu?"
"Iya. Hm, tadi Nova udah nelfon katanya dia yang bawa. Cuma karena ada urusan penting makanya Nova nggak bisa nungguin aku."
"Jadi Nova yang telfon aku?" tanya Lane.
Cristal langsung mengangguk. "Mungkin Nova nggak enak telfon kamu tengah malam, makanya ninggalin nomor hape kamu ke orang rumah sakit."
Untungnya Lane percaya. Cristal menghela napas lega begitu Lane benar-benar telah pergi. Wanita itu turun dari kasur, mengambil ponselnya dan memeriksa di sana. Cristal harus tahu bagaimana caranya ia bisa sampai di rumah sakit tadi malam.
"Apa Hiro?"
...
"Mas Jev.." Ratri memanggil sang putra yang baru pulang. Ratri menghampiri sang putra. Jervaro menyalami kemudian mencium pipi sang Ibu.
"Kenapa, Mi?"
"Udah makan?"
Jervaro menggeleng.
"Mami siapin makan ya."
"Hm."
"Yaudah sana mandi dulu."
Ratri memandangi punggung sang putra yang hilang di ujung belokan. Usapan di pinggangnya menyentak Ratri dari lamunan.
"Kenapa?" tanya Algara. Ia menemukan kerutan di kening sang istri.
"Itu Jeva."
"Kenapa?"
"Kayaknya capek banget. Kamu kasih kerjaan apa ke Jeva?" Ratri menatap sang suami tajam. Algara yang mendapat tatapan maut itu langsung mengangkat tangan.
"Astagfirullah. Nggak ada loh, By. Kerjaan biasa aja."
"Terus kenapa kok kayaknya dia capek banget gitu?"
Algara langsung memeluk sang istri untuk menenangkan. "Ya maklum ajalah, By. Namanya juga anak muda. Mungkin lagi berantem sama pacarnya."
"Pacar? Sejak kapan anak kamu punya pacar?"
"Emang nggak ada?"
Ratri mencubit perut sang suami. "Kamu perhatiin anak kamu nggak sih?"
"Ya perhatiin dong, By. Tapi kan dia anak muda, maklum aja. Cuma anak kamu itu kan susah banget dideketinnya. Aku aja khwatir mikirin cewek mana yang berani deket sama dia."
Ratri menghela napas.
"Udahlah, By. Jangan terlalu dipikirin ya. Biarin aja. Selama nggak membahayakan dan merugikan. Yuk.."
Kening Ratri mengerut. "Apa yuk?"
Algara mengedipkan matanya, tersenyum menggoda sang istri. Hanya hitungan detik cubitan Ratri mendarat di perut sang suami.
...
Air dingin mengalir dari shower membasahi tubuh Jervaro. Satu tangannya menopang di dinding sementara tangan lainnya jatuh terjuntai sembari mengepal. Jervaro tak suka ketika emosi menguasai dirinya. Tapi akhir-akhir ini ia seperti tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Jervaro seperti hilang di dalam sosok yang tak ia kenali.
Jervaro pernah bertanya pada Jalen tentang jatuh cinta. Apa jatuh cinta serumit itu? Pertanyaan itu kini seperti menghantui Jervaro.
Wajah dan senyum Dwinna muncul di dalam kepalanya. Rasanya seperti d**a Jervaro diremas kuat dan itu menyakitkan. Bagaimana cara Jervaro menjelaskan pada Dwinna? Bagaimana cara Jervaro bertanggung jawab pada wanita itu?
Karena kata-kata Jalen tempo hari, Jervaro terpaksa mengambil langkah yang ia sendiri tak yakin apa akan berhasil. Jangan salah paham pada sikap Jervaro pada Cristal. Jervaro melarang wanita itu bekerja bukan karena tak tega, tapi karena Jervaro tak ingin kejadian seperti hari itu terjadi. Kejadian saat Shaneen bertemu dengan Cristal. Sebab Jervaro tahu bagaimana bencinya Shaneen dan Aneska pada Cristal. Shaneen pasti akan membuli Cristal jika ada kesempatan. Setiap kali hal itu terjadi maka Jervaro merasa bersalah. Jervaro tak ingin berada di situasi itu.
Dua minggu mendatangi Cristal di setiap jam makan siang ternyata berhasil membuat Cristal berhenti dari pekerjaan itu. Setidaknya untuk saat ini Jervaro bisa bernapas dengan lega karena tak akan menemukan Cristal di tempat itu. Entah apa lagi yang akan Shaneen lakukan jika bertemu Cristal di sana.
Tidak. Jervaro tidak kasihan pada Cristal. Jervaro membenci wanita itu. Amat sangat membencinya. Dan terjebak di dalam pernikahan ini seperti kutukan bagi Jervaro.
"Selesaiin dulu satu-satu.." kata-kata Jalen kembali terngiang seperti sebuah alarm pengingat.
Kepalan tangan Jervaro menguat hingga jari-jarinya memutih. Jervaro benci pada keadaan ini. Jervaro benci saat ia terlihat seperti seorang b******n. Jervaro benci keadaan yang memaksanya bertindak seperti seorang yang tak punya hati.
Kenapa ia harus kasihan pada Cristal? Kenapa ia harus iba pada wanita itu? Jika saja Jervaro tak bertemu dengan Cristal, mungkin ia tak akan ada di situasi ini sekarang. Jika saja Jervaro tak bertemu dengan Cristal, mungkin ia bisa dengan tenang mengikuti langkah kakinya menuju Dwinna. Jika saja...
Jika saja Cristal tak masuk ke hidupnya.
...
Tubuh mungil di balik selimut itu meringkuk, menekuk lutut dengan jari-jari kaki ditekuk kuat. Tangan Cristal menekan kuat perutnya. Ia menggigit bibir, menahan rasa sakit yang menyerang. Cristal berusaha keras agar ia tetap bernapas. Matanya terpejam dan keningnya mengerut kuat.
Cristal tersentak kaget saat sebuah tangan menyusup ke bawah badannya, mengangkat Cristal ke dalam gendongan.
"K-Kak!" Cristal mencengkram kuat lengan pria yang sedang menggendongnya itu. "Mau ke mana?" tanya Cristal lemah. Matanya terbuka. Bibirnya pucat dan tatapannya sayu.
"Rumah sakit," jawab Jervaro.
Cristal memejamkan matanya sesaat. Cristal tak ingin ke rumah sakit. Cristal tak ingin Jervaro membawanya ke rumah sakit.
"Aku nggak mau," jawab Cristal sembari menahan rasa sakit di perutnya. "Tolong, jangan bawa aku ke rumah sakit."
"Kondisi kamu kayak gini masih bisa--"
"Aku nggak mau ke rumah sakit," ucap Cristal tegas dengan suara yang lemah.
Jervaro menghela napas kasar. Ia turunkan kembali Cristal ke kasur. Jervaro merogoh ponsel di kantong celana kemudian menekan-nekan layar.
"Cepat." Satu kata perintah yang tak terbantahkan.
Perhatian Jervaro sempat tertuju pada betis Cristal yang terekspose karena gaun tidur wanita itu terangkat. Jervaro segera menarik selimut menutupi tubuh Cristal. Wanita itu sudah kembali memejamkan matanya. Tangan Jervaro terulur hendak menyentuh dahi Cristal. Tapi geraknya terhenti hanya beberapa senti sebelum sampai di kulit istrinya itu. Lama Jervaro terdiam, menatap lurus ke tangannya sendiri. Akhirnya Jervaro menarik tangannya.
Kening Cristal kembali mengerut seperti tengah menahan sakit.
Lima belas menit kemudian, dokter akhirnya datang. Cristal diperiksa sementara Jervaro menunggu dengan satu tangan berada di dalam kantong celana.
"Dismenore," ucap si dokter. "Sepertinya Nona Cristal sangat kekurangan istirahat. Saya sudah suntikkan suplemen."
Jervaro mengangguk. Kesalahan ini adalah kesalahan yang sangat Jervaro sesali di kemudian hari, saat ia tak bertanya lebih banyak pada sang dokter tentang kondisi sang istri.
"Kalau begitu saya pamit dulu." dokter itu berlalu. Jervaro memandangi Cristal yang tengah tidur setelah disuntik suplemen.
Perlahan Jervaro bawa kakinya melangkah ke dekat tempat tidur. Lampu yang kini menyala hanya berasal dari lampu di samping tempat tidur.
Tadi malam Jervaro juga menemukan Cristal dalam keadaan ini. Setengah sadar. Awalnya Jervaro datang untuk membicarakan masalah pekerjaan. Tapi siapa sangka ia temukan wanita itu meringkuk di dalam selimut dengan wajah super pucat dan badan yang sangat dingin. Saat mengangkat Cristal, Jervaro temukan seprai dalam keadaan merah--basah oleh darah. Setelah memastikan kondisi Cristal normal, barulah Jervaro meminta pihak rumah sakit menghubungi Lane.
Sorenya Jervaro datang lagi ke rumah sakit--antara sadar dan tidak. Kakinya seperti membawanya melangkah ke rumah sakit. Dan Jervaro melihat Shan mengulurkan tangan--ralat--memeluk Cristal di koridor.
Jervaro rendahkan posisinya, berjongkok di pinggiran kasur. Tangannya terulur, meraih jari-jari Cristal dan menggenggamnya pelan.
Jari-jari itu sudah mulai menghangat. Hembusan napas Cristal juga terdengar teratur. Tatapan Jervaro tertuju lurus pada wajah pucat yang tengah tidur itu. Tiba-tiba kelopak mata Cristal bergerak. Beberapa detik kemudian matanya terbuka.
"Kakak ada perlu apa ke sini?" tanya Cristal dengan suara pelan tapi terdengar jelas. Sorotnya tenang membalas tatapan Jervaro.
Kini hanya ada mereka berdua di tempat ini. Harusnya baik Cristal maupun Jervaro sama-sama bisa berpikir dengan tenang.
Jervaro belum melepaskan tangan Cristal dari genggamannya.
"Apa uang di kartu itu kurang?"
1 detik.. 2 detik.. 3 detik..
Mata Cristal mengerjap dua kali.
"Lebih dari cukup, tapi aku nggak akan pakai uangnya," ucap Cristal tenang tapi tegas.
Jervaro memejamkan matanya sesaat. "Apa yang harus aku lakuin supaya kamu pakai uangnya?"
Tatapan keduanya masih terpaut.
"Nggak ada."
Cristal menghembuskan napas perlahan. "Aku nggak melakukan apa-apa untuk dapat uang itu. Aku nggak berhak."
Jervaro menahan diri.
"Kamu istri aku." pertama kali akhirnya kalimat itu meluncur dari bibir Jervaro.
"Hm," ucap Cristal pelan. "Formalitas."
Cristal menarik tangannya dan Jervaro melepaskan begitu saja.
"Kakak nggak punya kewajiban untuk kasih aku uang, jadi aku nggak akan terima uangnya."
Jervaro menghembuskan napas pelan.
"Kamu akan terima uangnya kalau kerja, kan? Oke."
Kening Cristal mengerut. Jervaro kemudian bangkit, melangkah pergi tanpa penjelasan. Cristal menatap pintu yang sudah tertutup. Ia benar-benar tak mengerti maksud perkataan suaminya itu.
***