Kepala Huzam berdenyut. Ia mulai kehilangan kesadaran. Minuman yang dipesankan Roni sangat ampuh. Ia bahkan mulai meracau.
"Aku pria bodoh, Ron," ucapnya.
"Kenapa?"
"Aku nggak sadar kalau kamu suka sama Bintang." Huzam mengingat kotak berpita biru yang dititipkan Huzam.
Roni mendecih. Isi kepala Huzam dipastikan hanya dipenuhi oleh Bintang. Di saat seperti ini yang keluar dari mulutnya pun tentang sang adik.
"Jangankan perasaan orang. Perasaan sendiri juga paling kanu nggak paham," ledek Roni.
Huzam terkekeh. "Perasaan sendiri? Seperti apa perasaan sendiri?"
Roni mengukir senyum. Ia putarkan jari telunjuknya pada lingkaran gelas.
"Bu Ziya. Bagaimana kabar perempuan itu?"
"Siapa? Siapa kamu bilang?"
Sejatinta Huzam mendengar ucapan Roni. Ia tahu Roni menanyakan kabar perempuan itu. Namun, memikirkannya rasanya aneh. Huzam mengulas senyum. Ia tenggak lagi minuman di gelasnya. Ia rangkum kembali wajah mungil itu. Ia ingin mengingat senyuman Ziyadatul Muna.
"Arrghhhh, sialan."
"Kenapa? Sudah kamu nyatakan, Zam?" goda Roni. Untuk hal seperti itu ia cukup paham.
Huzam menggeleng. Jangankan mengungkapkan, mendekat saja tidak. Huzam meraih botol di depannya. Ia tuang isinya untuk memenuhi gelasnya yang kosong. Namun, sedikit tidak tepat sasaran. Roni pun mengambil alih.
"Dia cantik, manis sama imut," puji Huzam. Roni mengangguk. Sudah pasti di mata orang yang dicintai orang tersebut akan terlihat lebih baik dari sisi mana pun.
"Dia...."
Huzam berusaha mengingat senyum Ziya. Ia cukup merindukannya. Namun, kembali yant hadir justru pertemua mereka terakhir kalinya. Perempuan itu menangis tersedu. Huzam menempelkan keningnya pada meja bar. Ia sungguh bodoh karena pergi begitu saja tanpa berbalik sama sekali. Tanpa sadar mata Huzam menghangat.
Cukup lama ia memendam perasaan itu sendirian. Tak ada satu orang pun di dekatnya memahami. Pada akhirnya malam ini ia mampu mengkespresikannya. Roni menatap pedih ke arah sahabatnya. Ia turut prihatin dengan yang dialami sahabatnya.
"Bagaimana ini, Pak? Sudah sangat mabuk," ujar Roni pada Arbrito lewat sambungan telepon.
"Benarkah? Berapa gelas yang ia teggak?"
"Banyak, Pak. Huzam menolak untuk dicegah."
"Hmmm ... baiklah. Tunggu di situ!" Arbrito pun menutup panggilan itu.
Roni mengangkat sebelah alis. Sekarang, Huzam bahkan terhubung dengan orang-orang berpengaruh itu. Sahabatnya, masuk dalam jajaran elit di bidang yang sedang ia geluti atas permintaan sang ibu tiri. Roni memijit pelipis. Dunia kadang memang luas, tapi tak menutup kemungkinan juga sangat sempit.
Arbrito datang lima belas menit kemudian. Pria itu seperti biasa langsung cepat tanggap atas keadaan sekitar. Melihat Huzam yang sudah sangat mabuk membuatnya menggeleng.
"Bisa bantu saya?" tanyanya pada Roni.
"Baik, Pak."
Roni mengangkat tubuh Huzam agar mendongak. Ia sandarkan sahabatnya itu ke sisi Arbrito. Pertemuannya dengan Huzam malam ini baru permulaan. Ke depan akan banyak pertemuan pertemuan yang diadakan. Roni membungkuk sedikit. Ia memberi salam perpisahan pada Arbrito.
"Terima kasih sudah mau menjadi teman Nak Huzam."
"Ya, Pak."
Roni tak akan pernah lupa bagaimana dulu Huzam membantunya. Untuk itu ia bersedia melakukan permintaan khusus Arbrito. Lepas kepergian Huzam dan Arbrito, Roni melanjutkan aktivitasnya. Di meja bar itu, ia termenung sendiri. Roni memikirkan banyak hal termasuk gadis cantik yang dulu dan sampai sekarang menjadi gadis pujaan.
"Bintang," desau Roni. Ia tuangkan lagi sisa terakhir dari botol seraya menenggaknya begitu saja.
***
Huzam tak mengingat hal terakhir apa yang ia lakukan. Kepalanya benar-benar berat sampai ia kesulitan untuk bangun. Perlahan, Huzam membuka mata dan menyadari ia berada di tempat asing.
"Di mana ini?" lirihnya. Bola mata Huzam memutar untuk mengamati keadaan.
"Cat biru? Bukan Rubico?" gumamnya.
Huzam pun berusaha mengangkat kepala. Sepening apa pun itu ia harus bangun. Begitu mampu mendudukan diri, Huzam tersentak.
"Siapa kamu?"
Huzam berusaha mengais memori. Semalam, ia bahkan tak bertemu perempuan. Dan sekarang di dalam kamar ia bersama perempuan yang perlahan berjalan mendekat ke arahnya membawa segelas....
"Fatiya! Dasi ayah mana, Nak?!" Arbrito berteriak dari ruangan lain.
"Sebentar ayah!" seru Fatiya.
Huzam mengernyit.
Ayah? Fatiya?
Ia mulai mengais memorinya meski sulit akibat dari minuman semalam.
"Ini teh hangatnya. Saya diminta ayah untuk mengantar," ujar Fatiya lembut.
Huzam mengangguk kecil.
Ayah? Fatiya? Siapa mereka?
"Kakak bisa istirahat di sini dulu. Kebetulan ayah sedang tidak menggunakannya."
Huzam mengangguk. Ia masih belum bisa menemukan jawaban. Benar-benar pengaruh minuman yang diharamkan itu membuatnya seperti orang bodoh.
Fatiya mengulas senyum. Ia membalikkan badan setelah meletakkan teh hangat itu di atas nakas. Tugas paginya sudah selesai. Ia pun mengayunkan langkah. Keluar dari kamar di mana semalam Huzam tak sadarkan diri. Fatiya mengulas senyum. Pemuda itu yang sebelum ayahnya ceritakan setelah pulang malam, ia lihat sosoknya dari balik jendela. Fatiya cukup geli memikirkannya.
Huzam menyibak selimut. Ia harus mencari tahu di mana ia berada. Ponsel andalannya ia cari di tempat terdekat, yaitu kasur. Sayang, tak didapatkannya. Huzam berusaha berdiri. Refleks ia memegang kepala karena memang menjadi sangat berat.
Satu langkah, dua langkah Huzam menyeret dirinya keluar kamar. Ia amati lagi keadaan di ruang tamu itu dan ia tidak mendapatkan petunjuk. Huzam pun melongok ke arah ruang tengah. Sayup-sayup ia mendengar percakapan seseorang.
"Weh, udah bangun? Ampuh sekali tehnya?" tanya Arbrito yang sedang sarapan bersama ....
Huzam mulai memikirkannya. Ia bersyukur bukan sesuatu yang ia bayangkan. Huzam menghela napas panjang.
"Kenapa, Zam? Sudah ingat yang kamu lakukan?" goda Arbrito.
Huzam menggaruk tengkuk. Meski belum semuanya, sekilas cukup terlintas. Huzam sedikit malu atas apa yang terjadi semalam. Ia pun mendekat pada Arbrito dan menyesalinya.
"Cuci muka dulu. Setelahnya sarapan sama kami."
Ya, di meja maka itu Arbrito tidak sendirian. Ada gadis yang tadi mengantar teh hangat ke kamar. Huzam mengangguk kecil. Ia belum berani menanyakaannya. Ia lebih memilih ke kamar mandi untuk sekadar membilas wajahnya yang sudah pasti berantakan.
"Fatiya gorengkan satu lagi berarti, Yah?"
"Oh iya. Maaf Nak, ayah malah lupa. Ya sudah boleh Nak. Malah ayah makan semua." Arbrito melihat ke piringnya yang mulai kosong. Ia bahkan mengambil lauk dua kali.
Fatiya mengukir senyum. Bisa-bisanya ayahnya tidak kepikiran. Tadi, ayahnya meminta pemuda itu untu ikut sarapan. Cekatan, Fatiya mengambil dua butir telur di dalam kulkas. Ia ulangi lagi pekerjaanya yang tadi. Membuat dua telur ceplok sederhana. Bagi Fatiya, itu tak masalah. Ia senang melakukannya dan sudah terbiasa.
Huzam keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah segar. Ia sedikit canggung saat melihat gadis itu tengah memasak. Ia pun hanya mengangguk sambil melewatinya begitu saja. Fatiya yang sedang menggerakan spatula membalasnya. Bedanya ia tambahkan seulas senyum yang memang ia miliki sejak kecil.
Huzam menggaruk tengkuknya lagi. Satu per satu ingatannya semalam, mulai bermunculan. Dan ia sangat malu. Huzam pun perlahan menarik kursi di depan Arbrito. Terdiam karena benar-benar parah apa yang ia lakukan.
"Ndak usah diingat-ingat. Sudah dicucikan sama putri saya." Arbrito bisa menebak gestur tubuh Huzam. Pasti pemuda itu sedang memikirkannya.
"He, makasih, Pak. Mohon maaf sekali." Arbrito mengangguk. Ia memang tak akan mempermasalahkannya.
"Silakan," ujar Fatiya meletakkan satu piring berisi telor ceplok itu.
"Dimakan, Zam. Gini doang tapi enak kalau masakan putri saya."
Fatiya tersenyum. Ayahnya cukup pandai memuji. Ia pun mendudukkan diri di kursi satunya.
"Silakan dicicipi, Kak. Seadanya."
Huzam mengangguk. Namanya Fatiya, putri dari Pak Arbrito. Usianya nampak seumuran dengannya.
***