35. Berakhir Sudah

1345 Words
Banyak hal terjadi di dunia ini tanpa sebab yang pasti. Manusia yang tentu hanya bisa berencana tak pernah benar-benar memahami. Ziya menatap dari kejauhan murid istimewanya. Pasca banyak kejadian yang terjadi, ia tak bisa lagi menjadi yang pertama mengulurkan tangan jika terjadi masalah. Hari pertama ujian sekolah, Huzam datang terlambat. Ziya yang bertugas sebagai pengawas ujian di ruang di mana Huzam berada hanya bisa menggeleng. Setelah tidak mau tinggal di pondok ke mana sekarang murid bengalnya itu? Ziya tak sampai hati menanyakan terlebih saat Huzam bahkan tidak berpamitan dengannya. “Kenapa terlambat?” tanya Ziya pada Huzam dan satu murid lain yang datang bersamaan. “Kesiangan, Bu,” jawab mereka kompak. Ajaib meski jarang bersama saat melakukan satu kesalahan alasan mereka menjadi sama. Ziya mengulas senyum tipis. Seperti ini memang murid-muridnya. “Sudah dihukum apa?” tanyanya. “Push ap, Bu.” “Berapa kali?” “Tiga puluh kali,” jawab teman Huzam. Sementara Huzam hanya diam. “Tambah lagi dua puluh. Setelah itu silakan duduk.” Ziya berusaha untuk tidak memarahi Huzam di depan kelas. Ia juga tidak menunjukkan rasa simpati yang berlebihan seperti biasanya. Huzam dan temannya selesai melakukan push up setelah masing-masing dari mereka sampai pada hitungan ke tiga puluh. Setelah itu mereka duduk di kursi sesuai dengan nomor urut presensi. Huzam, yang tentu tidak memperhatikan hal-hal semacam itu sedikit ragu harus duduk di mana. “Enam belas,” ujar Ziya pada akhirnya. Ia tidak ingin bersikap berlebihan, tapi nyatanya tidak bisa. Huzam pun mengangguk. Ia meletakkan tas kecil yang mungkin hanya berisi kartu ujian saja dan satu bolpoin ditambah ponsel tentunya. Ujian kali ini meski mereka berada di dalam kelas masing-masing tetapi mereka tidak mengerjakan soal di atas kertas melainkan melalui media daring. Ziya menyibukkan diri dengan mengisi daftar hadir peserta juga berita acara ujian. Setelahnya ia akan mengedarkan satu per satu sesuai urut duduk peserta. Ziya tidak boleh menjadi tidak tegas hanya karena ada Huzam di sana. Jemari Ziya terus bergerak. Pena yang ia miliki menggoreskan satu nama. Ziya bergeming. Ia tatap sebentar susunan huruf itu, ia lafalkan dalam hati terdalamnya. “Huzam.” Ziya berusaha menepis semua ingatan tentang pesan abahnya. Bagaimana keterikatan antara ia dan Huzam bermula. Sudah menjadi ikrar keluarganya menjaga anggota keluarga orang yang menyelamatkan nyawanya. Ziya menghela napas. Ia sendiri tak yakin apakah Huzam masih mau mengenalnya setelah tahu semuanya. Ia juga tidak percaya diri mengungkapkan satu kenyataan pahit yang ada. Ziya menjura. Jantungnya seperti diremas. Satu sisi ia membenci dirinya sendiri saat organ vital itu berada di tubuhnya. “Izin ke toilet, Bu,” ujar salah satu siswa yang sudah menunggu beberapa menit lalu. “Ya?” “Saya mau izin ke toilet.” “Oh, ya. Silakan,” jawab Ziya enteng. Ia masih belum bisa mengontol diri. “Ini, Bu.” Siswa tersebut menyerahkan ponselnya. “Loh buat apa?” “Tadi ibu bilang kalau mau izin ke toilet, hp diletakkan di depan.” “Astaghfirulloh, saya lupa. Ya, makasih sudah diingatkan.” Siswa tersebut mengangguk. Ia berlalu dari ruang kelas untuk membuang hajatnya. Ziya mengambil napas sejenak. Ia fokuskan konsentrasinya pada lembar berita acara. Ia lanjutkan menulis nama siswa yang lain. Setelah ini ia harus meluruskan semuanya. Jika bukan tentang kenyataan pengorbanan ayah Huzam, minimal tentang kediaman mereka berdua pasca Huzam pergi dari pondok pesantren tanpa berkabar. *** “Huzam!” seru Niken yang baru keluar dari ruang ujian. Mereka tidak berada di ruang yang sama. “Apa?” “Dipanggil Bu Ziya.” Huzam mengernyit. Bu Ziya? Saat jam pertama ujian mereka bertemu tapi Bu Ziya tidak menyampaikan apa-apa. Sekarang? Minta bertemu? “Di mana?” “Perpus.” “Perpus?” Niken mengangguk. “Sebentar aja katanya.” “Bukannya kalau ujian perpus tutup. Ini buka?” tanya Huzam sedikit heran. “Nggak tau. Udah buruan. Nanti malah kelamaan nunggu. Mau dihukum lagi?” Huzam tersenyum tipis. Kurang satu minggu lagi rangkaian ujian selesai. Mana mungkin dia dihukum. Begitu pikirnya. Huzam pun membelokkan niat yang tadinya langsung pulang membonceng Jaka menjadi jalan kaki. Ia harus bertemu Bu Ziya dulu. Pintu ruang perpustakaan terbuka cukup lebar. Mungkin, memang tetap dibuka hanya saja pengunjungnya terbatas. Huzam mengayunkan langkah santai. Tanpa mengetuk atau mengucap salam lebih dulu, Huzam langsung masuk ruangan itu. Ziya duduk di salah satu kursi baca. Huzam bisa langsung melihatnya. Sementara petugas perpustakaan tak ada. “Ada apa, Bu?” sapa Huzam begitu ia berdiri tepat di samping Ziya. “Duduk,” jawab Ziya. Ia sejatinya tahu akan kedatangan Huzam, tapi ia berpura tidak mengetahuinya. Huzam menarik salah satu kursi yang berselang satu dengan milik Ziya. Sekali lagi meski di sekolah mereka adalah guru dan murid, dari segi usia mereka tidak terpaut jauh. Ziya adalah mahasiswi yang memiliki akses untuk menjadi guru di SMK Hijau karena menggantikan abanhnya sementara. Ziya dari segi postur tubuh juga tidak begitu tinggi. Artinya saat mereka berdiri bersisihan, tanpa embel-embel seragam, mereka tampak serasi. “Bagaimana kabarmu?” Ya, hanya itu yang ingin Ziya tahu. Sebelum Huzam pergi dari pesantren, ia bisa menanyakan banyak pada kakak iparnya. Untuk sekarang, ia tidak bisa. “Baik, Bu.” “Kenapa ndak pamitan sama saya?” Ziya jelas mempertanyakannya. Minimal Huzam bisa mengirimkan pesan. Ia sudah memberitahu nomornya. Huzam tersenyum tipis. Rasanya baru kali ini ada yang menanyakan tentang dirinya bahkan mengharapkan dihubungi. Sungguh, sesuatu yang hampir tidak pernah ia alami.  Segera Huzam menepis rasa senang itu, ia tak mungkin bisa terus-terusan berada dalam kontrol wali kelasnya. “Saya lupa, Bu.” Ziya mendesah. Lupa? Apa itu wajar di saat setiap hari ia bahkan berusaha memberikan salinan materi untuk murid istimewanya. Ziya cukup kecewa. “Sekarang tinggal di mana?” Pertanyaan kedua yang sebenarnya Ziya sendiri tahu jawabannya. Pak Darmo bahkan sedah menyampaikan langsung pada abahnya. Akan tetapi, ia berharap Huzam sendiri yang menjawab. “Di rumah, Bu. Di mana lagi.” Huzam seperti kehilangan kembali jati diri. Ia menjadi Huzam yang memang tidak berperasaan. Ziya merasakannya. Ziya menangkap aura negatif itu lagi yang beberapa bulan sebelumnya nyaris tak lagi ada. Ziya sedikit menyesal atas apa yang menimpa pada murid istimewanya. “Ada tawaran dari Pak Soni. Saya dengar kamu menolaknya.” Hari ini tidak akan datang dua kali. Ziya harus bisa memanfaatkannya. Ia masih berharap bisa mengarahkan Huzam ke arah yang menurutnya lebih benar dari sekarang. Huzam sedikit tersentak. Rupanya Ziya juga menghubungi Pak Soni. Pantas saja petugas kepolisian itu menawarkan tempat tinggal sekaligus pekerjaan. Mereka sudah saling berkomunikasi ternyata. “Saya tidak butuh dikasihani, Bu. Saya bisa hidup sendiri.” Kekecewaan atas kematian sang ibu dan kehilangan jejak Bintang membuat Huzam membenci semua orang terdekatnya tak terkecuali Ziya. Ziya terus memintanya bersabar dan menunggu kabar kejelasan kasus hukum itu. Namun, sayang tak ada titik terang sama sekali. Huzam ingin mengungkapkannya seorang diri. Yang artinya bertentangan dengan orang-orang terdekatnya. “Kamu murid saya. Saya berkewajiban membantu kamu. Bukan karena belas kasihan melainkan bentuk tanggung jawab saya sebagi seorang pendidik.” Huzam tertawa sinis. Kewajiban? Tanggung jawab? Tak ada yang perlu bertanggung jawab untuk hidupnya. “Terima kasih, Bu. Tapi maaf saya tidak membutuhkannya.” “Huzam,” desis Ziya. Tanggapan Huzam persis sama saat mereka pertama kali bertemu. Huzam terlalu ketus dan semau sendiri. “Kalau sudah selesai saya pamit, Bu. Saya masih harus melanjutkan urusan saya yang lain.” Huzam mendorong kursinya ke belakang. Ia benar-benar tak mau lagi berurusan dengan Ziya. Ziya hanya akan menggoyahkan tekadnya. “Huzam,” panggil Ziya. “Saya duluan, Bu.” Huzam mengangguk. Ia berbalik dan meninggalkan perpustakaan serta tunas-tunas rasa yang beberapa bulan ini terus tumbuh. Ia tidak akan bisa membalas semua perbuatan Suko, jika ada Ziya di sampingnya. Lebih baik ia membuang jauh perasaan itu dan melanjutkan agenda besar yang menjadi prioritasnya setelah kelulusan. Ziya menutup wajahnya. Satu tetes air bening lolos dari sudut matanya. Ia tahu ini keliru, ia mengerti ini tidak tepat. Namun, ia tak bisa sepenuhnya merelakan Huzam pergi dari pengawasannya. Ia memang tak tahu diri. Setelah bisa bertahan hidup dengan jantung milik ayah Huzam, ia masih berharap setidaknya bisa menjadi seseorang yang mendukung Huzam. Orang yang mungkin akan terus ada di sampingnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD