20. Perintah

1113 Words
Huzam pulang menjelang petang. Selain karena harus berjalan kaki, ia juga menyelesaikan beberapa hal di luar rumah. Setidaknya ia bisa pulang dengan membawa sesuatu untuk keluarganya. "Loh kamu? Ibu mana?" "Kerja," jawab Bintang setelah membukakan pintu untuk Huzam. Meski kepalanya cukup pusing. "Rahma?" "Dibawa." Bintang berjalan sempoyongan. Badannya masih demam sejak semalam. Obat penurun panas yang diberikan ibunya kurang ampuh. "Udah makan?" tanya Huzam sambil membantu Bintang berjalan. "Udah. Tadi sarapan buburnya Rahma." "Bubur balita?" Bintang mengangguk. Rasanya memang tidak enak untuk menelan sesuatu selain bubur itu. Lontong sayur yang dibelikan ibunya juga kurang menggugah selera. "Kamarku, Mas," protes Bintang saat Huzam hendak membawanya ke kamar. "Lupa. Maaf." Langkah Bintang terhenti. Ia menoleh ke sebelah kanan di mana kakaknya berada. Ia amati sejenak wajah kakaknya itu. "Maaf?" Huzam menelan ludah. Ia keceplosan. Harusnya tidak perlu berkata seperti itu. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya tertuju pada peristiwa penyambutan. Ada sedikit penyesalan karena memperlakukan wali kelasnya dengan tidak baik. Huzam berpikir bahwa ia harus meminta maaf satu kali lagi. "Ayo buruan. Nanti kamu pingsan." Huzam pun sedikit menarik tangan adiknya agar berjalan lebih cepat. Beberapa minggu ini tepatnya pasca melakukan kegiatan pengabdian, Bintang merasa bahwa Huzam sedikit berubah. Kakaknya tidak terlalu keras kepala dan cenderung melunak. Ia juga menyadari bahwa ada sedikit rasa semangat belajar yang dulu tidak pernah terpancar. "Makasih, Mas." "Sama-sama." Bintang tersenyum kecil. Bukan itu maksudnya. "Makasih sudah nolong kami." Huzam mengerutkan kening. Ia tidak paham dengan ucapan Bintang. "Ibu udah cerita. Terpaksa si capung direlakan." Bintang mencoba untuk tidak terharu. Ia tidak mau usaha kakaknya menjadi sia-sia jika ia masih bersedih hati atas hidup yang harus mereka jalani. Huzam menggaruk tengkuk. "Bukan apa-apa." Bintang mengangguk. Mana mau Huzam terlihat lemah di depan keluarganya. Meski peduli, pria itu selalu menutupi. Bintang sedikit menyesal karena kerap meragukan kasih sayangnya yang tidak pernah ditampakkan. Bintang juga merasa bersalah karena pernah meminta agar Huzam tidak menjadi kakaknya. Namun, sekarang semua berbeda. Ia dengan bangga akan berkata kakaknya bernama 'Huzam'. "Istirahat." Bintang mengangguk. Yang perlu ia lakukan memang cepat pulih. Agar bisa kembali ke sekolah juga melakukan kerja paruh waktu di rumah makan milik Bu Ziya. Meski sudah membertahukan perihal izin, ia tetap tidak nyaman. "Ah, ya, Ibu kerja di mana?" tanya Huzam. Seharusnya ibunya pun lebih banyak beristirahat. Pasti badannya belum sempurna baik setelah apa yang dilakukan Suko kemarin malam. "Mbak Yani. Deket, Mas. Makanya ibu tetap berangkat." "Nggak kamu larang?" "Katanya nggak enak. Sudah minta dua kali buat setrika baju." Huzam menelan informasi itu. Terasa cukup getir mengingat selama ini ia bahkan tidak pernah membantu. "Ya," ucap Huzam tertahan. "Mas jalan kaki lagi?" Bintang menyadari baju kakaknya basah karena keringat. Bau tak sedap juga mulai menguar. "Iya." "Kenapa nggak minta tolong ke temen mas?" "Siapa?" "Roni. Searah kan." "Kotaknya belum dibuka?" tanya Huzam cukup menyayangkan sikap Bintang. "Belum." "Buka. Biar tau isinya." Huzam berdiri. Ia sudah gerah dengan seragam osisnya itu. Harus segera mandi. Bintang tak menanggapi. Kepalanya cukup pening untuk kembali duduk tegak. Ia pun merebahkan diri. *** Rumah Mbak Yani tidak begitu jauh. Huzam berniat memanggil ibunya agar tidak terlalu lama bekerja. Pasti cukup repot untuk melakukannya ditambah harus membawa Rahma. Huzam membuka pintu kamar Bintang, melihat sebentar adiknya yang masih terlelap. Ia tidak ingin mengganggu. Maka satu-satunya jalan hanya mengunci Bintang dari luar. "Assalamualaikum!" Suara itu terdengar familiar. Huzam merasa tidak asing. "Waalaikumsalam," jawab Huzam dari dalam. Ia bergegas menuju ruang depan untuk membuka pintu. "Gimana keadaan Bintang, Zam?" tanya Zia saat Huzam membuka pintu rumahnya. "Bu ... guru?" Ziya mengangguk kecil. Sore ini ia sengaja mampir ke rumah muridnya dulu sebelum menuju rumah makan. Pesan singkat dari Bintang membuatnya khawatir dan ingin melihat langsung. "Gimana kondisi Bintang? Saya dengar dia sakit." Huzam masih tidak percaya. Mungkin, ini sebuah mimpi. Akan tetapi yang sedang tidur adalah adiknya. Bukan dirinya. Huzam belum bisa menjernihkan pikiran. "Zam!" "Eh, ya, Bu." "Bintang nggak dirawat di rumah sakit, kan?" Sontak Huzam pun menggeleng. "Nggak, Bu. Istirahat di rumah. Cuma demam biasa." "Oh, begitu. Syukurlah." Ziya tampak melihat ke kiri dan kanan. Rumah Huzam tampak sepi. "Ibu saya lagi kerja, Bu." "Jam segini belum pulang?" "Saya baru mau ...." Huzam menghentikan ucapannya. Bagaimana bisa ia senyaman ini menjawab pertanyaan Ziya? Ada apa? "Mau jemput?" Huzam mengangguk kecil. "Ya sudah kalau begitu. Saya nitip sesuatu ya buat Bintang." Ziya jelas tidak akan masuk ke rumah muridnya. Ia paham tidak baik saat tidak ada orang lain di sana. Ia pun mengambil sesuatu di motornya. "Tolong berikan buat Bintang. Sekalian sama obatnya. Semoga cepat sembuh." Ziya meyerahkan satu gudibeg berukuran sedang. "Apaan, Bu? Kenapa repot-repot?" Huzam ragu untuk menerima itu. Ziya mengulas senyum. "Sudah menjadi kewajiban saya dan rumah makan, Zam. Setiap karyawan ada yang sakit kami melakukannya." "Tap, Bu ...." "Sudah, diterima saja. Nanti salam buat Bintang dan ibu kamu." Huzam berpikir sebentar. Ini bukan hal yang baik. Meski Bintang karyawan di sana, tapi baru satu hari Bintang tidak masuk. Hal ini terdengat tidak masuk akal. "Saya taruh sini ya, Zam. Pastikan tidak sampai kelupaan." Ziya metakkan gudibeg di kursi rotan usang di teras tersebut. Ia tidak mau membawa kembali gudibeg itu. "Saya pamit ya, Zam. Jangan lupa besok tetap sekolah. Satu hari lagi pengabdian di sekolah selesai." Huzam hanya bisa mengangguk. Mengapa wali kelasnya menjadi sangat perhatian. Ada apa? Kalimat-kalimat tanya itu terus berenang di kepalanya. "Assalamualaikum," ucap Ziya seraya berlalu dari hadapan Huzam. Ia kembali mengendarai motor maticnya untuk melanjutkan perjalanan. "Waalaikumsalam," jawab Huzam sedikit canggung. Ia masih saja diam di tempat. Tidak tergerak mengantarkan Ziya mendekat ke motornya atau mengucapkan hal lain. Begitu bayangan Ziya mengecil, ia baru tersadar. "Terima kasih. Harusnya aku bilang terima kasih," desis Huzam. Ia pun melihat ke arah gudibeg tadi. Bagaimana bisa? *** [Bu, maaf saya tidak masuk kerja. Saya sedang tidak enak badan.] Membaca pesan itu membuat Ziya terlonjak. Bintang--murid kesayangannya sekaligus pekerja paruh waktu di rumah makannya sedang sakit. Ia harus melakukan sesuatu. [Dirawat atau di rumah?] Ziya tentu harus memastikannya sebelum bertindak. Harus jelas dulu. Namun, balasan dari Bintang tak kunjung datang. "Kenapa, Nduk? Kok begitu." Hamzah, ayah dari Ziya mengamati perubahan ekspresi wajah putrinya. "Ini Bah, Bintang sakit katanya. Minta izin ndak masuk kerja." "Bintang ...." "Adiknya Huzam, Bah." "Innalillahi. Sakit apa?" "Belum tau, Bah. Belum balas ini." "Cepat datangi rumahnya. Pastikan kondisinya. Kalau parah kamu bawa ke rumah sakit, Nduk." "Sekarang, Bah?" Hamzah mengangguk. Baginya hal-hal yang berkaitan dengan Huzam dan keluarganya sangatlah penting. Ia tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa. Ziya pun berpikir sejenak. Ia berusaha menghubungi melalui panggilan suara. Sayangnya panggilan itu ditolak oleh Bintang. Namun, digantikan dengan sebuah pesan. [Di rumah, Bu.] "Alhamdulillah nggak dibawa ke rumah sakit, Bah. Masih di rumah." "Pergi sekarang, Ziya. Jangan lupa bawa bingkisan seperti biasa." "Baik, Bah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD