32. Reuni

1251 Words
Huzam membawa semua perlengkapan miliknya. Ia memilih menggunakan ojek biasa dibandingkan yang versi online. Batre ponselnya belum terisi setelah ponsel itu disimpan oleh Gus Azmi. Tak ada perpisahan karena memang ia datang ke sana tanpa diundang. Huzam tidak meminta tukang ojek mengantar ke rumah miliknya, melainkan ke suatu tempat.                “Huzam!” seru Niken saat melihat sahabatnya berada di dekat warung tenda milik kakaknya.                Huzam mengukir senyum. Ia berjalan pelan ke arah warung tenda itu. Ia cukup senang. Di daerah tempat tinggalnya masih ada Niken.                “Pulang kamu?” tanya Niken antusias. Akhir-akhir ini mereka jarang bertemu meski mereka berada dalam satu kelas. Huzam setiap hari harus menjalani pembelajaran yang cukup berbeda. Ia berada di ruang khusus.                Huzam mengangguk. Ia meletakkan tas ranselnya di dekat kursi panjang yang biasa digunakan para pembeli untuk memesan makanan juga minuman.                “Iya. Lama-lama di sana nggak betah.”                “Heleh. Nggak betah kok ampe mau empat bulan.”                Huzam terkekeh. Ia seperti yang sudah-sudah mencomot sate usus yang menjadi icon di warung tenda itu, kemudian melahapnya. Niken menuangkan teh hangat yang juga sudah tersedia.                “Enak,” ucap Huzam. Ia tidak mungkin berterima kasih.                “Emang,” timpal Niken bangga. Ia kembali merapikan peralatan. Pukul lima sore beberapa pengunjung kadang sudah datang.                Huzam membiarkan sahabatnya melakukan itu. Ia tidak membantu maupun menganggu. Dulu jauh sebelum semua keadaan berbeda, suasana semacam ini yang paling ia nanti.                ***                “Buruan Jak! Ambil satu!” seru Roni. Salah satu yang paling memiliki banyak pesanan dibandingkan yang lain.                “Ambil sendiri napa! Tanganku cuma dua woi!” teriak Jaka dari seberang. Sementara Niken sedang melayani pembeli yang lain, Roni pun tak berinisiatif untuk mengambil pesanannya sendiri.                “Ambilin, Zam!” ujar Roni sambil menepuk lengan Huzam. Ia yang paling semena-mena dengan para sahabatnya.                Huzam menunjuk wajahnya sendiri. “Nggak salah?”                “Kagak. Hari ini aku traktir. Ada barang baru.”                Sontak mata Huzam membulat. Barang baru adalah kode khusus yang mereka sepakati untuk hal-hal yang akan membuat mereka senang.                “Serius?”                Roni mengangguk. Mana berani ia berbohong dengan Huzam.                “Fullset, Zam. Kalau lo mau.”                Huzam seketika berdiri. Jelas ia sangat mau. Keuntungan yang bisa ia dapatkan dari barang-barang yang dijual Roni pada dirinya selalu berlipat. Roni tidak pernah mengecewakan.                “Pesen apa aja tadi?” tanya Huzam bersiap menyebrangi jalan untuk mengambil pesanan Roni.                Roni pun tebahak. Huzam untuk urusan uang selalu terdepan. Tidak pernah tidak semangat asal bisa mendapatkan uang.                “Tanya Jaka.” Huzam pun mengangguk. Segera ia berlari menuju warung tenda milik Niken.                “Pesenan Roni mana aja?” tanya Huzam. Ia melihat Niken masih cukup sibuk.                “Noh segitu banyak,” keluh Jaka. Ia masih harus membakar beberapa sayap ayam juga.                Huzam mengernyit. “Nggak salah?”                Jaka menggeleng. “Semua orang ditraktir katanya. Baru dapat rejeki nomplok.”                Huzam pun mengedarkan pandangan. Di sepanjang trotoar pelataran kawasan Candi Borobudur, orang-orang yang datang memang tampak akrab dengan Roni. Hampir semuanya menyapa sahabatnya itu. Huzam kembali melihat Jaka.                “Mereka?”                Jaka mengangguk. “Lah iya. Anggota klub basket tetangga.”                Huzam menggeleng. Ia tidak menyangka. Acara hari ini diinisiasi oleh sahabatnya sendiri. Ia kira mereka semua yang datang ke warung tenda Niken murni atas kemauan sendiri. Tidak tahunya ada udang di balik sate usus.                ***                Huzam mengukir senyum. Entah apa yang melatarbelakangi, tiba-tiba saja rasa itu muncul. Ia merindukan kehidupannya yang dulu. Saat semua masih sama.                “Nggak mau nambah?” tanya Niken yang melihat Huzam menatap sate usus di bagian paling depan.                Huzam menggeleng. Ia juga tersenyum tipis. “Nggak, Ken. Kenyang.”                “Sate usus doang kenyang?”                Huzam mengangguk. “Biasanya air putih juga kenyang.”                “Ya elah emangnya Limbad?” Niken berusaha melucu. Ia ingin garis senyum di wajah Huzam terus ada meski semuanya sudah berubah. Ia jelas paham terkait kasus kematian Ningtiyas dan kabar tentang Bintang. Sungguh, dari semua masalah yang pernah di hadapi Huzam, itu yang terberat.                Huzam meneguk teh hangat yang disajikan Niken. Ia sejak dulu lebih suka yang hangat. Huzam mengangguk kecil. Niken cukup hapal seleranya. Huzam pun menaruh kembali gelas itu setelah tandas dan bersiap membawa ranselnya.                “Mau ke mana?” tanya seseorang yang tiba-tiba menyapanya.                Huzam menoleh. Sudah cukup lama ia tak bertemu dengan sahabatnya. Ia pun sedikit sungkan.                “Pulang.”                “Pulang ke mana?”                “Rumah.”                “Rumahmu aman?” Jaka sebenarnya tidak tega bertanya seperti itu. Akan tetapi demi menahan Huzam, ia mencobanya.                Huzam menatap nyalang ke arah Jaka. Ia cukup kecewa dengan sahabatnya itu, semenjak kejadian balap liar. Jaka bahkan bisa dibilang menghindarinya dan tidak mau menjelaskan barang sebentar.                “Aku mau bicara, Zam,” ujar Jaka cepat. Ia tahu Huzam sebentar lagi meninggalkan warung tenda milik kakak Niken.                Huzam mendesah. Dari semua waktu mengapa harus sekarang? Saat ia benar-benar ingin pulang?                “Ehem! Kalau di trotoar aja gimana? Sekalian reuni?” tawar Niken. Ia tahu tensi pertemuan ini cukup tinggi.                Huzam menoleh. Ia bertanya lewat tatapan mata apakah Niken yang memberitahu keberadaanya pada Jaka. Niken mengedipkan mata.                “Sepuluh menit, Zam,” ucap Jaka. Ia harus mengatakan semuanya.                Huzam kecewa pada Niken. Tak seharusnya sahabatnya itu ikut campur. Huzam mendesah. “Heiii ayolah, kita teman kan sebelumnya. Semua bisa kita bahas,” timpal Niken. Ia mulai memindahkan beberapa tusuk sate usus dan telur puyuh. Huzam pun mengangguk. Saat Jaka mau menemuinya artinya Jaka sudah siap dengan semua penjelasan. Ia mempertimbangkan hal itu. Huzam meski masih merasa kesal tetap melangkah menuju seberang jalan. Persis sama seperti pertemuan-pertemuan mereka sebelum beberapa insiden mengerikan terjadi. “Aku minta maaf, Zam. Semua bukan salah kamu.” Jaka memulai pembicaraan yang sudah beberapa hari ini ia pikirkan. Sebelumnya, ia tidak tahu perihal kebohongan yang disembunyikan orang tuanya. “Ada apa sebenarnya? Benar ulah ayahmu?” Jaka mengangguk. Balap liar itu, para polisi itu datang murni karena permintaan ayahnya. Pria itu berharap Huzam benar-benar akan mendekam di penjara.                “Karena apa? Aku merusak pergaulanmu?”                Jaka mengangguk lagi. Alasan orang tuanya memang tentang itu. Sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah sama sekali.                “Dan kamu percaya bahkan sampai tidak berbicara denganku.”                Begitulah Huzam. Ia bisa sangat baik dengan seseorang tapi bisa juga membenci saat ia dikecewakan. Yang terjadi dengan Jaka pun demikian. Jaka tidak percaya saat Huzam menjelaskan bahwa ia tidak memukulinya. Jaka juga lebih memilih mendukung argumen sang ayah tentang insiden balap liar itu.                “Aku ingat yang pertama memukul memang bukan kamu, Zam. Tapi aku nggak tau kalau kamu pun datang nolongin aku.”                Huzam terkekeh. Ia tak percaya akan semudah itu Jaka termakan omongan orang. Meskipun itu orang tua Jaka tetap saja terasa aneh.                “Aku mau minta bantuanmu, Zam.”                Huzam memicing. Belum pasti dimaafkan sudah meminta bantuan?                “Ini rahasia dan ini banyak duitnya.”                Huzam sedikit tertarik. Uang, ia memang sedang membutuhkannya dalam jumlah banyak dibandingkan siapa pun.                “Aku ada rencana ngerjain bapak ibuku.”                “Heh, kualat ntar,” seloroh Niken. Ia hanya mendengar tentang ucapan Jaka yang terakhir. “Nih, satenya udah mateng.”                Huzam tak terlalu memerhatikan. Ia masih setia menatap Jaka. Ia pertimbangkan tawaran itu baik-baik.                “Aku kecewa banget sama mereka, Zam. Cuma kamu yang bisa nolongin dan nglakuin ini.” Jaka berusaha meyakinkan Huzam.                “Berapa?”                “Apanya, Zam?”                “Imbalannya.”                “Kamu mau? Serius?”                Huzam mengangguk. Asal ada uangnya ia akan melakukan apa saja. Setelah menempuh serangkaian ujian terakhir di sekolah, ia berencana melakukan perjalanan. Jaka berseru senang. Ia menemukan jalan untuk membalas semua sikap menyebalkan orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD