30. Titik Terang

1252 Words
Waktu terus melaju. Peristiwa itu pada akhirnya berlalu. Huzam, yang sudah bisa diajak berkomunikasi pun mulai menjadi saksi. Beberapa keterangan terus diminta oleh pihak kepolisian guna mencari tambahan informasi tentang pelaku. “Namanya Suko, Pak. Dia tinggal di Jakarta,” tegas Huzam. Sejak tadi petugas yang menanyainya hanya berputar-putar. “Kita tidak bisa langsung menyimpulkan, Nak. Harus ada proses penyelidikan.” “Tidak usah berbelit, Pak. Seribu persen saya yakin. Pria itu yang sudah membunuh ibu saya. Pria itu juga membawa Bintang.” Huzam mulai geram. Seharusnya segera ada titik terang sesuai harapannya. Namun, tiga bulan berlalu masih belum ada perkembangan. “Tenang, tenang. Kamu masih belum sempurna ingat tentang peristiwa itu. Duduk dulu.” Petugas yang mengintrogasi Huzam berusaha sebaik mungkin agar Huzam tidak terpancing emosi. Dari awal, Huzam bersikukuh dengan pendapatnya. “Ehem!” Pimpinan di kantor itu pun mendekat. “Bagaimana? Ada perkembangan?” tanyanya pada anak buahnya yang sedang mengamati introgasi itu dari balik kaca. Ini sedikit berlebihan memang, karena Huzam diperlakukan layaknya seorang tersangka. Bukan sebagai saksi. “Terus gali sampai akarnya. Kalau perlu sampai dia mengaku.” “Baik, Pak.” Pimpinan itu pun meninggalkan ruangan. Ia sedikit kesal karena target yang mereka pilih terlalu liar. Biasanya ia bisa dengan mudah mengarahkan kasus tertentu menjadi seperti yang ia inginkan. Barang bukti dan laporan bisa ia rekayasa sedemikian rupa. “Siang, Pak,” sapa Soni yang baru akan masuk ke ruang kontrol. “Pagi,” jawab pimpinan singkat. Wajahnya masam tidak terpuaskan. Soni pun mengangguk. Ia tunggu sampai pimpinan di kantornya itu berlalu. Sungguh, sejak awal ia sudah menyadari ada yang tidak beres. Soni berusaha menepis tentang pemikiran itu. Ia mendorong pintu ruang kontrol. Dan betapa tersentaknya ia. “Apa-apaan kalian!” seru Soni. Dari balik kaca di ruang kontrol ia bisa melihat dengan jelas bagaimana salah satu rekannya melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada Huzam. “Arghhhhhh, ngapain kamu datang?” tanya rekannya yang lain yang berada di ruang kontrol. “Kalian apakan dia, hah? Mau bocah itu mati?” “Bukan urusan lo, Son. Lagian ngapain kamu ke sini? Ini bukan bagianmu.” Soni menggeram. Ia jelas tidak terima saat seseorang yang belum berstatus tersangka diperlakukan semacam itu. “Sialan kalian. Mau membelokkan kasus lagi?” tanya Soni yang mulai menyadari kejanggalan-kejanggalan itu. “Kalian mau ngorbanin anak SMK itu?” Rekan Soni di ruang kontrol tidak menjawab. Ia menekan microfon yang akan langsung terhubung dengan ruang introgasi. “Cukup, cukup! Kita lanjutkan lain waktu,” ujarnya. Petugas yang mengintrogasi Huzam di ruangan itu pun berhenti. Ia harus patuh pada perintah. Setelah satu pukulan telak mengenai wajah Huzam, dan sampai membuat bocah itu terjungjkal. Ia masih ingin menambahnya. Namun, perintah itu menghentikannya. Segera ia melepas cengkramannya di kerah baju Huzam. Soni yang melihat itu semua dari balik kaca kesal bukan main. Jika dulu beberapa orang tak berdosa lain diperlakukan seperti itu ia bisa diam saja. Kali ini, tidak akan lagi. Ia yakin seratus persen Huzam tak bersalah. Ia tahu senakal-nakalnya tingkah Huzam, tak akan sampai hati bocah itu melukai sang ibu. Menyalahkan Huzam, menjadikan putra dari korban menjadi tersangka, hanyalah sebuah propaganda. Ia tahu agenda besar yang terus dilakukan korps tempatnya bekerja. “Awas kalian,” desis Soni. Ia keluar dari ruang kontrol untuk menuju ruang intrograsi. Brakkkk! Pintu ruang intrograsi terbuka dari dalam. Petugas yang tadi bersama Huzam keluar dari sana. Wajahnya tampak memar. Ia menatap Soni tak suka sambil memegang wajahnya. Mungkin, ada provokasi atau apa sebelum akhirnya petugas itu melukai Huzam juga. Soni berusaha mengabaikan. Ia bergegas masuk untuk melihat kondisi Huzam “Huzam!” seru Soni. Langkahnya ia percepat. Huzam berusaha duduk. Ia pegang sudut bibirnya yang terasa perih. Seketika ibu jari kanannya berwarna merah. “Kamu baik-baik saja, Zam?” tanya Soni. Ia membantu Huzam berdiri. “Mereka mau menjadikan saya sebagai tersangka, Pak. Apa itu sesuai?” Soni mengedipkan mata. Ia tahu bisa saja masih ada orang-orang yang menyaksikan dan mendengar mereka dari ruang kontrol. Jika dilihat dari ruang introgasi, semua memang tampak normal. Seolah tidak ada yang mengamati. Padahal, tidak seperti itu. “Kita keluar dulu,” bisik Soni. Huzam mengangguk kecil. Ia mengayunkan langkah bersamaan dengan Soni. Ia sementara waktu hanya bisa mengikuti arahan petugas kepolisian itu. Huzam terus berjalan sampai akhirnya berhenti saat Soni juga berhenti. “Di taman saja.” Soni menunjuk bangku panjang yang ada di area taman belakang kantor tempatnya bekerja. Huzam mengangguk lagi. Ia tidak terlalu memusingkan mau di mana. Yang pasti, ia harus bicara dengan Soni. Banyak pertanyaan di kepalanya. “Kamu mulai sadar?’ tanya Soni membuka obrolan. Mereka duduk berdampingan. “Dugaan saya benar, Pak?” Soni menghela napas. Ironis memang saat mereka semua melabeli diri sebagai aparat penegak hukum, sikap mereka terkadang justru berbeda. “Saya curiga memang akan dibuat seperti itu.” “Lalu semua orang di sini diam saja? Ibu saya terbunuh dan saya ....” Huzam kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa? “Saya belum yakin. Tapi ada beberapa kasus yang berakhir seperti itu.” “Pak Soni sedang tidak bercanda, kan?” Soni menggeleng. “Maaf. Masih ada beberapa oknum seperti itu.” “Tidak berusaha melapor, Pak?” “Saat semua tersusun dengan begitu baik, secara masif dikondisikan oleh orang-orang yang memiliki kuasa, kami bisa apa?” Huzam terpinga. Sungguh selama proses ini berlangsung ia memang sering merasa disudutkan. Ia bahkan merasakan intimidasi dan perlakuan tidak baik lainnya. Puncaknya hari ini saat wajahnya dipukul oleh petugas. “Pak Soni pun sama?” tanya Huzam memastikan di mana Soni berdiri. Jika Soni pun tak ubahnya mereka, maka percumah ia berurusan dengan Soni tentang hal ini. “Ada yang lebih baik dari ini, Zam.” Soni menoleh. Ia perhatikan wajah remaja itu. Huzam sudah hampir berusia dua puluh tahun meski masih berstatus sebagai siswa SMK. Huzam menunggu dengan sabar. Ia berharap ada titik terang. Jika kepolisian tidak bisa membantunya, ia sendiri yang akan pergi mencari Suko. Tak peduli di mana pun itu. “Beberapa kasus akan ditutup. Dilaporkan sebagai bunuh diri. Jika tidak ada tersangka yang mungkin ditemui.” Bahu Huzam turun seketika. Artinya pihak mereka akan membuat cerita yang berbeda. Bunuh diri? Apa itu tidak berlebihan? Bagaimana mungkin ibunya sendiri mengakhiri hidup seperti itu? Jelas tidak masuk akal. “Kalian gila, Pak?” “Huzam, dengarkan saya.” “Anda sedang main-main dengan saya?” Huzam mulai tersulut emosi. Ia geram atas apa yang terjadi. “Bagaimana kabar sekolahmu? Di pondok aman?” Soni tidak mau Huzam berbuat keributan. Beberapa pasang mata sejak tadi sedang menyaksikan mereka. Entah itu atas pesanan siapa. “Pak Soni tidak mendengar pertanyaan saya? Pak Soni sedang bergurau?” teriak Huzam. Bagaimana bisa kasus ini akan ditutup di saat satu hal pun belum jelas. “Lihat ke kanan, Huzam,” lirih Soni. Pandangan matanya terus mengarah ke depan seolah sedang tidak memberitahukan tentang keberadaaan orang-orang yang mengamati mereka.  Huzam kebingungan. Ia tidak mengerti dengan ucapan Soni. “Lain waktu, di lain tempat, saya jelaskan semua. Sekarang kembali ke pondok dan jangan berbuat hal di luar batas. Maksud saya tetap dalam pengawasan Bu Ziya.” Huzam menggeleng. Sungguh, orang-orang di sekitarnya sedang bercanda. Mereka terus mempermainkannya hanya karena ia sebatang kara dan masih belia. Huzam tak mengerti mengapa semua ini terjadi. “Ingat pesan saya ini, Huzam. Tidak semua menemui titik terang di jalan yang sama. Bisa jadi kebenaran itu justru terungkap lewat jalan lain.” Soni berdiri, ia sudah tidak nyaman sekali. “Lepas ini langsung ke pondok. Bu Ziya menghubungi saya untuk menyampaikan itu. Satu bulan lagi ujianmu dimulai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD