Episode 7 Ide Brilian

1895 Words
Ruis mengamati berkas kesepakatan yang baru saja ditandatangani dengan sebuah perusahaan konstruksi untuk pembangunan hotel terbarunya di wilayah timur dari kota La Tigres. Hotel tersebut akan dibangun di lokasi yang mengarah ke Danau Elisabeth. Sebuah mega proyek yang menelan biaya pembangunan miliaran dolar. Ini merupakan projek kedua setelah ia berhasil mengembangkan potensi okupansi hotelnya dengan fasilitas lengkap dan menawarkan kemewahan juga kemudahan dengan membangun pusat perbelanjaan di area hotel. “Apa Hasan sudah kembali ke kantor?” tanyanya pada Alli begitu asisten pribadinya itu memasuki ruangan. “Baru saja, Tuan Ruis.” “Berikan berkas ini padanya. Aku ingin tahu pendapatnya.” Ruis melepaskan map cokelat ke atas meja dengan wajah suram. Bahkan sejak menduduki posisi jabatan tertinggi di perusahaan keluarganya, pria itu tidak pernah bekerja dengan hati riang. Ia merasa tertekan setiap kali melakukan pekerjaannya. Alli hanya bisa menekan rasa cemasnya terhadap beban psikologis sang tuan muda dalam hati. “Tuan Ruis sudah bekerja dengan sangat baik. Tuan Rusdy seandainya masih hidup, beliau pasti akan sangat bangga terhadap kinerja Anda selama satu tahun ini, Tuan.” Alli yang mampu membaca raut wajah kurang nyaman dari Ruis pun mendekat seraya mengambil berkas tersebut dari atas meja. “Aku tidak kompeten, itu yang selalu orang bicarakan di belakangku, bukan?” Ruis menatap Alli dengan sorot mata menyala. Terdapat kemarahan di dalam dirinya ketika apa yang ada padanya hanya robot untuk mengeruk keuntungan untuk dinikmati oleh keluarganya. "Nenek Rosana juga mengatakan itu.“ “Saya mohon Anda tidak berkata demikian, Tuan. Jutaan karyawan menggantungkan hidup mereka pada perusahaan Anda. Begitu juga saya,” ungkap Alli penuh kesopanan ketika mengatakan hal serupa terhadap sosok mendiang Rusdy. “Yah, aku bertahan demi mereka. Dan kau tahu—aku rindu memancing di akhir pekan. Aku rindu bisa tidur siang tanpa memikirkan prospek dan kerugian yang akan diterima perusahaan ketika aku hanya tidur,” ungkap Ruis tersenyum simpul. “Pekerjaan ini membuatku lupa waktu.” “Anda bisa melakukan semuanya kapan pun Anda mau, Tuan,” sahut Alli mulai menampakan kelegaan di dalam senyumnya. “Tidak, setelah jabatanku seperti sekarang ini deretan jadwal pasti sudah kau susun sedemikian rupa. Apa aku salah?” Terdengar dengus napas Ruis ketika mengucapkan kata itu. Ya, ia tidak akan bisa barang sejenak untuk memikirkan hidupnya, apalagi untuk memikirkan Sekar. Ia menjamin bahwa wanita itu sama sekali tidak mengingat atau pun memikirkan dirinya. Cintanya bertepuk sebelah tangan, dia memahami hal itu. Alli tersenyum sambil mengangguk. Mengakui apa yang setiap hari kerjakan untuk tuan mudanya. Selama bekerja untuk keluarga Juliane, tugasnya memang untuk menyiapkan dan memastikan tuan mudanya bisa bekerja sesuai jadwal agar semuanya lancar tanpa ada yang terlewat. “Saya sudah melakukan reservasi tempat untuk makan siang Anda, Tuan.” “Jadwalku?” tanya Ruis memastikan bahwa dia akan menghabiskan waktu selama satu jam ini sendirian. “Bersama nona Selly, putri dari presiden direktur Mollan Company. Nyonya Rosana yang telah mempersiapkan acara ini. Bukankah beliau sudah memberi tahu Anda beberapa waktu yang lalu?” Ruis mendengus mendengar penjelasan Alli. Ia memandang Alli dalam diam, lalu mengangguk menyanggupi. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali tunduk untuk sementara sampai ia mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam mengurus bisnis dan memiliki kekuatan untuk melawan d******i neneknya di dalam perusahaan. Pengaruh neneknya di perusahaan masih sangat kuat, bahkan melebihi ayahnya sendiri. Ruis mencoba untuk bijaksana dalam hal ini. “Baik, saya permisi.” Setelah pintu ditutup, Ruis melepaskan ketegangan dengan duduk menyandarkan kepalanya pada kursi kantor. Ia memutar arah kursi menghadap ke arah lemari kaca panjang yang sepenuhnya diisi oleh foto, piala, piagam penghargaan yang diperoleh kakaknya. Dadanya menjadi sesak, sosok yang menjadi pelabuhan hatinya kini telah sepenuhnya menghilang dari hidupnya. “Kuatkan aku menghadapi nenek dan Hasan, Kak. Aku hanya menginginkan Sekar dalam hidupku ... apa yang aku minta terlalu berlebihan?” gumamnya gelisah. Laporan bawahan Ruis yang mengatakan bahwa Sekar sarapan di sebuah kafe pinggiran kota La Tigres bersama Hasan tentu membuat hatinya dipenuhi rasa iri. Ia ingin sekali mengakhiri hubungan mereka dan menggantikan posisi pria itu di sisi Sekar. Namun, sikap yang ditunjukkan Sekar tentu sangat menyulitkan. Satu-satunya cara agar ia bisa berkomunikasi dengan gadis itu dengan tahu nomor ponselnya. “Aku akan cari tahu sendiri.” Ruis memutuskan demikian. *** Ruis sengaja datang terlambat lima belas menit dari waktu yang ditetapkan. Ia tahu, ini sebenarnya sangat buruk dan bukan kebiasaannya. Akan tetapi naluri yang berkata demikian. Bertemu dengan wanita yang kembali disodorkan neneknya sangat menggangu dan ia sudah tidak sabar lagi untuk menyudahi permainan itu. Langkah Ruis melambat ketika mendapati wanita cantik tengah duduk dengan anggun melambaikan tangan ke arahnya. Ia mengembuskan napas sebelum akhirnya berjalan lagi mendekat ke arah wanita itu. Dekorasi ruang terlihat sangat klasik dan romantis dengan warna coklat muda yang mendominasi. Kursi dan meja berderet rapi, berbahan kayu dengan cat yang senada dengan lantai yang berbahan dasar kayu dicat mengkilap, memantulkan kemewahan. Ruis memberikan salam ketika berhadapan dengan wanita itu. Entah sudah berapa kali pria itu melakukan kencan buta seperti ini. Beberapa ada yang berhasil membuat Ruis terkesima dan menjalin hubungan lebih serius. Namun, setelah tahu bahwa cinta seperti ini hanya omong kosong, sejak saat itu dia berubah menjadi sosok yang tidak lagi mengagungkan cinta. “Anda terlambat, Tuan Ruis,” ucap Selly berdiri dari kursi untuk menyambut kedatangan Ruis. “Nona Selly, senang bisa bertemu dengan Anda.” Ruis menjawab dengan sopan. Mereka saling mengulurkan tangan untuk berjabat. Ruis bisa membaca sorot mata kemarahan dalam diri perempuan yang ada di hadapannya itu memancar. “Kukira tidak datang.” “Maaf, ada acara mendadak. Aku harap Anda tidak masalah dengan itu. Tapi, kalau ternyata Anda tidak berkenan hati, apa boleh buat.” Ruis mengucapkan kalimat itu sembari duduk dengan wajah kaku meskipun ia tersenyum. “Waktu adalah segalanya, Tuan. Dan ini pertemuan pertama kita, bukankah begitu?” Dengan lembut wanita itu masih menantang keterlambatan Ruis dalam pertemuan kali ini. Ruis merasa terdapat pertengkaran kecil yang memuakkan, tetapi jelas ini yang ia inginkan. “Tentu. Dan hubungan yang tidak dilandasi dengan pemakluman, maka sudah pasti tidak akan berhasil, Nona Selly,” tegas Ruis mencoba untuk menjelajahi Selly dengan satu kata telak. “Baiklah, sepertinya kita sudah menemukan bagian dari perbedaan yang tidak bisa dikendalikan,” tambah Ruis membuat wajah wanita yang duduk di hadapannya tercengang. “Bukan begitu, Tuan Ruis!” Wanita itu berseru, mencoba memperbaiki apa yang menjadi kacau karena strategi untuk membuat Ruis merasa bersalah ternyata menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Wanita itu pun terlihat sangat panik ketika Ruis bangkit lagi dari kursi. “Kesan pertama selalu berpengaruh pada penilaian saya, Nona. Sepertinya pertemuan ini tidak perlu dilanjutkan. Kita memiliki perbedaan pandangan soal keterlambatan dan waktu,” kata Ruis dengan tatapan mata dan wajah yang datar dan tenang. “Maafkan saya—” “Saya terlambat karena saya orang yang sibuk. Kencan buta ini bagi saya lelucon ketika kehadiran saya tidak disambut dengan hangat. Baik, permisi ... masih ada pekerjaan lain. Cukup terlambat karena harus dijeda dengan pertemuan sia-sia hari ini.” Tanpa menunggu jawaban dari wanita itu, Ruis membalik badan dan meninggalkan tempatnya. Baginya, wanita yang tidak memahami bagaimana sibuknya pekerjaan yang harus dilakoninya, sudah tentu tidak akan bisa menjadi pelabuhan hatinya. Tidak akan berhasil dan hanya akan menebarkan aroma perseteruan alih-alih harmonis. Wanita itu tidak cocok untuknya, dan itu sangat menyenangkan bagi Ruis karena bisa memutus harapan neneknya pada hubungan tidak disukainya dengan wanita itu. “Nenek Anda akan mendapatkan laporan sesuai dengan apa yang terjadi, Tuan,” lapor Alli membuat Ruis yang berjalan di dekatnya menoleh. “Tidak kurang dan tidak lebih.” “Kau yang akan melaporkan itu?” Ruis menanggapi itu dengan senyuman sinis. “Anak buah beliau yang duduk di seberang meja Anda,” jawab Alli dengan penuh keyakinan. “Baiklah, terima kasih atas saran brilian yang kau berikan kali ini.” Ruis mengedipkan sebelah matanya pada Alli. “Saya akan memastikan Anda layak mendapatkan wanita yang lebih baik, Tuan.” “Ehm, tapi apa ... wanita yang itu baik untukku?” tanya Ruis dengan suara nyaris bergetar dan pelan. Langkah Ruis pun mulai melambat dan itu memancing Alli untuk memperhatikan apa yang tuan mudanya lihat. Alli yang awalnya hanya terpaku pada langkah kaki Ruis dan memastikan keselamatan tuan mudanya pun mendongak menatap ruis dan mengikuti ke mana arah padangan pria itu. Tampak wanita cantik kini tengah berjalan tergesa sambil memandangi ponselnya. Hanya terpisahkan oleh taman luas restoran tempatnya berada. “Sekar, sial!” umpat Ruis pada hatinya yang mulai merasakan desiran kuat ketika memandang gadis itu akan berjalan melewatinya. “Tuan Ruis, saya mohon—” “Aku tahu.” Ruis menjawab cepat lalu berbalik arah, ia kembali dan memutari taman restoran menuju ke arah kolam yang memiliki pancuran air besar dan cukup luas juga nyaman bila berada di pinggirannya. Percaya atau tidak, banyak wisatawan datang ke tempat ini untuk mengikrarkan janji dengan melemparkan sejumlah koin ke dalam kolam tersebut. Seperti hari ini. Taman itu sama sekali tidak sepi, banyak pengunjung berada di sekitar mengelilinginya. Alli cukup lega ketika menyadari tuan mudanya menghindari pertemuan tidak sengaja kali ini. Pria itu mengikuti langkah Ruis memutari kolam. Tubuh mereka menjadi terhalang deras dan indahnya air yang memuncar indah dari sisi keberadaan Sekar yang mulai sampai di tempat yang sama dengan Ruis. Langkah Ruis melambat, ia mengamati wajah cantik itu dalam-dalam dari balik air yang memancar ke atas menghalanginya. Hari ini Sekar tampak cantik dengan balutan dress selutut berwarna hijau pupus. Masih dengan lengan panjang yang ditekuk pada siku, sesuatu yang membawa gelenyar aneh dalam benak Ruis. Bagaimana kalau ia bisa melihat lengannya? Atau tengkuknya yang ditutupi anakan rambutnya yang gelap. Ruis mengembus napas sebelum akhirnya melangkah lebih cepat ketika menyadari gadis itu jelas menuju ke arahnya. “Tuan!” Alli menggeleng pelan, tidak bisa mencegah apa yang dilakukan Ruis kali ini. Apa yang disangkanya bahwa Ruis menghindari pertemuan ternyata salah besar. Ia hanya bisa mendengus kesal. Ruis mendengar panggilan itu, tetapi ia hanya perlu melakukan sesuatu sebelum memutuskan langkahnya setelah ini. Ia fokus, mengunci pergerakan Sekar yang berjalan pelan ke arahnya masih dengan mata memandang layar ponsel, tidak fokus pada jalan yang dilaluinya. Ruis menebak kali ini Sekar pasti sedang mengirimkan pesan kepada Hasan di mana gadis itu menunggu untuk dijemput. “Tiga—dua—satu.” Ruis melakukan hitungan mundur hingga apa yang sudah ia perkirakan akan terjadi beberapa detik setelahnya. Ruis sengaja berjalan sedikit berlari kecil, tergesa, dan menabrak tubuh mungil itu lebih keras dari yang seharusnya. Derasnya gemuruh air yang dihasilkan oleh aliran air mancur pun menyamarkan suara Sekar yang memekik kaget. Seketika pula Ruis menarik pinggang ramping dan punggung gadis itu dalam dekapan sebelum gadis itu terpelanting jatuh. “Maaf!” Ruis memaku tubuh Sekar dalam pelukannya. “Ponselku,” keluh perempuan kelahiran kota Solo itu seraya menahan d**a Ruis agar tidak menempel pada tubuhnya. “Ponselmu?” Ruis melepaskan pelukannya lalu memandang gadis itu dengan tatapan lekat. “Maaf, kamu tidak apa-apa, 'kan?” tanyanya memastikan tidak membuat gadis itu terluka. Sekar mendongak, melepaskan diri dengan kaku dan mundur dua langkah. Tatapan matanya jelas mengisyaratkan keterkejutan, tetapi ia tidak mengatakan apa pun. Sedetik kemudian ia pun menoleh ke arah kolam yang memperlihatkan betapa penuh airnya hingga meluber pada pinggirannya. “Kamu tidak apa-apa, 'kan? Maaf aku tidak sengaja,” ucap Ruis lagi, pandangnya belum lepas dari gadis di hadapannya. “Ponselku terlempar ke sana,” resah Sekar dengan wajah lemas, ekspresi itu berbanding terbalik dengan senyuman Ruis yang diam-diam mengembang penuh kemenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD