Episode 6 Konsep Keluarga Juliane

1707 Words
“Nenek mengundang tamu?” Ruis mengalihkan pembicaraan dengan memandang seantero ruangan yang kosong, tetapi mobil jelas berjajar di luar rumah membuatnya penasaran siapa yang datang. “Beberapa kolega bisnis ayahmu dan mendiang kakakmu. Mereka ada di ruang kerja.” Nenek Rosana menarik tangan Ruis ke arah ruangan makan, disusul Hasan dan Alli di belakang langkah mereka. Ruis mengerti ke mana pembicaraan ini akan dimulai. Kinerjanya, terutama di bagian hotel yang kini tengah dikelolanya sedang mendapatkan penilaian buruk. Pria itu memijit pelipisnya pelan dengan tarikan napas dalam. “Kamu gagal mendapatkan kontrak eksklusif dari perusahaan anggur terbaik di Italia, Ruis?” Bukan pertanyaan, Ruis menangkap kalimat yang disampaikan neneknya sangat retroris dan mengkritisi kemampuannya melobi pebisnis. “Maafkan aku, Nek.” “Ini soal pekerjaan dan nenek pikir memang kau tidak mampu menyamai keandalan kakakmu. Ini sangat mengecewakan, Ruis.” Rosana menerima satu sajian menu dari pelayan dengan tubuh anggun. Ruis dan Hasan pun demikian kaku di hadapan wanita keras dan penuh perhitungan itu. “Nenek akan carikan istri untukmu agar hidupmu bisa fokus untuk pekerjaan saja, bagaimana?” “Tidak perlu, Nek. Ini tidak ada hubungan antara istri dan pekerjaan.” Ruis menolak dengan sopan. Cukup, rasanya apa yang disodorkan neneknya tidak ada yang menarik minatnya secara emosional. Tidak ada gelitik cinta yang menawarkan kebahagiaan kala menghabiskan waktu bersama. Hanya sebuah kesepakatan bisnis saling menguntungkan dan ia membenci hubungan seperti itu. “Apa pilihan nenekmu selama ini tidak sesuai dengan kriteriamu?” sindir Rosana sambil tersenyum sinis padanya. “Yah, hanya mereka yang akan mendapat untung dari hubungan semacam ini,” tegas Ruis membalas neneknya dengan senyuman juga. “Kita tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari mereka.” “Kupikir memang cinta sangat diperlukan dalam membina sebuah hubungan, Nek. Pernikahan tanpa cinta? Rasanya akan begitu sulit untuk dipertahankan bila tiba-tiba terdapat masalah di kemudian hari,” sela Hasan yang sedari tadi hanya menyimak. “Dan kau sudah mendapatkan wanita seperti itu? Yang membawa cinta untuk kau bagi dengannya, begitu?” Kini nenek Rosana mulai mengalihkan pandangannya kepada Hasan, tampak sorotan tidak ramah diperlihatkan pada pria itu. “Ya, begitulah.” “Ceritakan tentang jenis wanita yang bisa mendapatkan cinta versi Hasan Montana. Nenek ingin mendengar lebih jauh, cucuku.” Senyuman Rosana pun terukir untuk cucunya yang satu itu. Selama ini hanya Rusdy dan Ruis yang ada di dalam hatinya. Dua cucu dari putra sulungnya Jonny bersama Mira—wanita pilihannya, tentu saja. Bukan pembangkang seperti ibu Hasan yang memilih menikahi Ardy Montana. Pria biasa yang tidak diinginkan dalam keluarganya. Pria yang tidak setara dengannya. “Wanita yang kupilih ini tidak akan menghabiskan uang suaminya, tentu saja. Bukankah itu yang terpenting?” tantang Hasan dengan kalimat yang menohok hati Rosana. “Setidaknya nenek tahu apa yang kini sedang coba kau sampaikan, Hasan. Wanita yang tidak suka menghamburkan uang, jelas dia orang yang tidak pandai mencari peluang bisnis.” Rosana membalas sinis. “Ya, tapi dia akan menjadi sosok ibu sempurna untuk membesarkan putra yang luar biasa.” Hasan menimpali sindiran neneknya dengan santai. “Wanita karier tidak memiliki waktu untuk mengurusi putranya.” Kalimat itu telak, dan berhasil membuat Ruis tersenyum. Ia bahkan lupa kapan terakhir ayah dan ibu memeluknya sambil mengucap kata cinta dan sayang padanya. Ia lupa karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bersama pengasuh dan buku-buku pelajaran. Ruis selalu iri dengan keluarga Hasan yang harmonis. Ruis memusatkan perhatiannya pada menu makan malam tanpa minat untuk menyentuh. Ocehan Hasan mengenai kekasihnya membuat nafsu makan pria itu lenyap seketika. Rasa cemburu dan kemarahan dalam dirinya mencuat begitu saja. Tidak seperti apa yang diharapkan, realita bahwa Sekar kekasih sepupunya sungguh ironis. Ia tidak ingin menjadi seperti sekarang ini, tetapi gejolak hatinya kala menatap mata jernih dan keengganan gadis itu saat bertemu dengannya membawa arti yang mendalam. Sekar bukan perempuan seperti yang biasa ditemuinya. Wanita itu begitu istimewa karena menjaga dirinya dari godaan pria lain. Sebuah kesetiaan yang ia inginkan bisa tercipta untuknya. Rasanya cukup menyesakkan ketika perasaan itu tumbuh sedemikian besar untuk memiliki Sekar untuk dirinya sendiri. "Kau sama sekali belum menyentuh makananmu, Ruis," tegur Rosana, saat melihat Ruis hanya menyentuh sendok tanpa bergerak atau pun ikut terlibat dalam percakapan. "Kau aneh sejak kemarin, ada apa?" timpal Hasan mulai memperhatikan raut wajah Ruis yang kaku. Seperti biasa, Ruis hanya akan tersenyum tipis kemudian bangkit dari kursi sambil meletakkan serbet ke atas meja. "Aku lelah, gerah, dan sepertinya akan sangat menyenangkan kalau aku mandi dan beristirahat." Ruis menganggukkan kepalanya untuk pamit kepada neneknya kemudian pergi tanpa menunggu tanggapan dari keduanya. Perasaan seperti ini selalu dirasakan olehnya. Rasa asing yang menyergap, kehilangan kakek dan kakaknya membawa perubahan pada diri Ruis untuk tidak lagi dekat dengan siapa pun anggota keluarganya agar trauma kehilangan itu tidak lagi membebani hari-harinya. "Biarkan saja, Hasan!" cegah neneknya pada Hasan yang ingin menyusul Ruis. “Dia pasti lelah, biarkan dia mandi untuk menyegarkan dirinya.” "Beberapa hari ini dia sering menghilang di tengah kesibukan, Nek. Aku harus menghandle pekerjaannya karena tiba-tiba dia bilang ada urusan," ungkap Hasan mengadu seraya duduk kembali. “Seperti hari ini.” "Bantu dia, itu tugasmu. Lagipula masih bagus kamu dipekerjakan di perusahaan keluarga Juliane, 'kan." Nenek menjawab keluhan Hasan dengan wajah masam. "Bantu saudaramu, mengerti?" "Iya, Nek." Hasan memasang senyuman terbaiknya untuk menunjukkan kesanggupannya. Namun, ketika menunduk untuk menikmati makanannya, raut wajah pria itu berubah menggelap. "Siapa nama kekasihmu tadi?" Wanita yang telah melahirkan ayah Ruis dan ibu Hasan itu menunjukkan ketertarikan pada sosok gadis yang diceritakan Hasan. "Sekar, dia dari Indonesia. Dia sedang menempuh pendidikan akhir di sini." "Pastikan setara dengan keluarga kita. Jangan kau pikir ini mudah. Jaringan pertemanan kamu, nenek yakin tidak diragukan lagi. Carikan pacar untuk Ruis, tapi pastikan asal usulnya membawa benefit untuk bisnis kita di masa depan." Nenek menatap anggun ke arah Hasan. Ia tidak menyukai gadis biasa masuk ke dalam lingkungan keluarganya. Tidak seperti itu konsep keluarga Julliane. "Iya, Nek." "Pastikan Ruis mendapatkan calon pendamping yang terbaik. Soal siapa yang menjadi kekasihmu ...." Perempuan itu menatap sejenak ke arah Alli yang masih berdiri di tempatnya kemudian beralih ke arah Hasan. "Kau kubebaskan bersama siapa pun asalkan bisa membuat Ruis bekerja dengan baik. Perusahaan Ruista Global Hotel sepenuhnya ada dalam tanggung jawabnya." “Tentu, Nek. Hasan mengerti.“ Hasan sedikit tergagap ketika menjawab permintaan dari sang nenek. Ia memahami siapa dan apa posisinya di dalam keluarga Juliane sebagai cucu dari anak perempuan neneknya. Nama belakang Montana lebih mendominasi darahnya bila dibandingkan dengan nama Juliane. Setidaknya itu yang selalu ditekankan neneknya mengenai keberadaannya di dalam keluarga besar Juliane. *** Ruis keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Hidup berpindah-pindah membuatnya tidak pernah nyaman berada di satu tempat. Semua terasa asing baginya. Rumah untuk pulang hanya ketika keberadaan kakek dan kakaknya berada di dalamnya. Sejak keduanya meninggal, Ruis tidak pernah lagi betah tinggal di rumah ini. ”Tuan, nyonya Rosana meminta Anda menginap semalam.“ Suara Alli yang telah masuk ke kamar dengan membawa segelas air putih mengalihkan perhatian Ruis dari bayangan Sekar di dalam pikirannya. Rumah untuk pulang? Ia merasa tidak lagi memilikinya. Mansion yang ia tinggali rasanya tidak lebih dari tempat untuk merebahkan diri dan memejamkan mata. ”Apa gadis itu tersinggung karena aku mengomentari tempat tinggalnya dengan nada yang kurang baik?“ Ruis menatap wajah Alli sejenak, lalu kembali tenggelam dalam tatapan kosong yang terlempar ke arah dinding kaca kamar yang ditempatinya. Suasana luar sudah sepenuhnya menggelap. ”Tuan, saya mohon Anda bisa lebih bijaksana. Sekar merupakan kekasih sepupu Anda sendiri. Akan sangat rumit dan buruk apabila tuan Hasan mengetahui bahwa Anda menyimpan perasaan untuk kekasihnya.“ Alli berucap dengan nada pelan dan sopan. Ia memahami kegamangan tuan mudanya, tetapi rasa itu harusnya bisa ditekan kuat agar tidak ada perseteruan di dalam keluarga Juliane hanya karena urusan dengan satu wanita yang sama. ”Aku tahu. Aku sedang mencoba, tapi—yah, sulit dikendalikan agar tidak lagi menemuinya. Rasanya dadaku terimpit rasa rindu dan sulit bernapas.“ ”Tuan Ruis, saya akan membantu sebisa mungkin agar tidak terjadi masalah dengan Anda di kemudian hari.“ Alli menyerahkan segelas air yang dibawanya kepada Ruis kemudian pamit undur diri. Bagi Alli, Ruis tipe pria yang sulit didekati. Pengalaman sepanjang mendampinginya setelah kematian Rusdy. Bisa memberikan nasihat dan pendapatnya kepada anak bungsu Jonny Juliane itu rasanya sudah merupakan kemajuan yang menggembirakan. ”Pulanglah, jemput aku ke sini besok pagi. Kau harus pulang agar istirahatmu lebih nyenyak.“ Ruis menerima segelas air putih itu lalu melangkah menjauhi Alli menuju ke ranjangnya. ”Baik, Tuan. Selamat malam.“ ”Ehm.“ Sepeninggal Alli dari kamarnya, Ruis meletakkan gelas lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Sempat mengambil foto wanita yang kini dengan seenaknya saja memasuki relung hatinya tanpa ampun. Ruis memandangnya dengan tatapan mata nanar. Kenapa dia dihadapan pada kenyataan seperti itu? Sangat menjengkelkan sekali. ”Apa ini yang menggerakkan kedua orang bisa berselingkuh? Ada ketertarikan kepada seseorang yang sebenarnya sudah dimiliki oleh orang lain,“ gumamnya seraya merebahkan diri ke atas kasur dan mulai menutup kedua matanya. Tangannya bergerak pelan, meletakkan ponsel itu ke samping tubuhnya dengan penuh kegelisahan. ”Kalau aku menjadi kekasih gelapnya, apa Sekar bersedia? Sial! Kenapa aku bisa berpikiran sekonyol ini!“ gerutunya seraya bangkit. Bukan tipenya menjadi pria berengsek seperti ini. Dia membenci penghianatan, tetapi untuk melepaskan Sekar begitu saja padahal ia sangat menggebu-gebu ingin memiliki, rasanya tidak akan semudah itu. ”Ok, saatnya memikirkan cara agar aku bisa berada di sekeliling Sekar. Bukan, dia yang akan selalu berada di sekitarku. Akan ada beberapa rencana yang harusnya kubuat agar wanita itu tidak bisa lepas begitu saja dari ketergantungan pada keberadaaku. Ya, mungkin hanya begitu, dia akan mulai memandangku sama seperti dia memandang Hasan selama ini.“ Seringai dingin Ruis pun tercipta begitu saja. Kompetisi, ia menyukai pemilihan ini dalam mendeskripsikan apa yang sedang dilakukannya. Berkompetisi dengan Hasan untuk mendapatkan hati Sekar sepenuhnya. ”Ok, Sekar. Saatnya untuk memasukkan juga namaku di dalam hati dan pikiranmu. Aku akan menggeser posisi Hasan dari daftar hidupmu.“ Ruis menggenggam ponselnya erat-erat. Langkah apa yang akan dilakukannya mulai besok pagi? Pria itu tampak tersenyum sendiri. ”Jangan menghinaku, Kak Rusdy. Adikmu sedang jatuh cinta hingga rasanya mengenaskan karena tidak mudah untuk membawa gadis itu ke dalam pelukanku.“ Pria itu mendesis pelan sambil menatap foto kakaknya yang terbingkai cantik dan menempel pada dinding kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD