10-Permintaan Maaf Sarah

1065 Words
  “Lu nggak keluar kelas? Jajan?” tanya Ika begitu dilihatnya Val tidak berniat pergi dari tempat duduknya.   Val menggeleng. Dia nggak sanggup melihat orang-orang menatap aneh padanya. Selama jam pelajaran berlangsung saja dia sudah merasa kalau teman sekelasnya diam-diam mencuri pandang ke arahnya.   “Kan tadi lu denger sendiri gue kudu video call sama dia. Dari pada dia dateng ke sekolah dan bikin malu gue, mending gue vicall sekarang pas kelas sepi.” Val mengambil ponselnya dan melihat sudah banyak misscall dari Gio. Memangnya dia tidak punya kerjaan apa? Selain merusuhi hidup Valerie?   “See? Dia udah kayak mamak-mamak bukaan sepuluh!” Val memperlihatkan layar ponselnya yang penuh terisi misscal Gio. “Mending lu out, deh. Gue mau jutekin dia dulu. Eh, gue titip minum, ya, Ka.” Valerie menyerahkan selembar uang kepada Ika.   Ketika memastikan kelas sudah kosong, Valerie menyiapkan napas dan memastikan detak jantungnya normal sebelum melakukan panggilan video pada Gio.   “Kenapa baru menghubungi? Lu udah keluar kelas dari tadi, kan?” amuk Gio ketika dilihatnya wajah manyun Val di layar.   “Nih lihat, gue di mana?” Val mengubah kameranya dan memperlihatkan ruang kelas yang kosong tanpa ada siapa-siapa. “Kelas baru kelar.”   “Kenapa lu nggak ke kantin? Nggak laper?” tanya Gio tanpa dosa.   Val makin merengut. Tadi pagi dia cuma sempat minum milo dan sekarang perutnya minta diisi. Tapi pergi ke kantin setelah kejadian tadi pagi membuatnya malas.   “Lu pikir gara-gara siapa gue nggak ke kantin?”   “Emang gara-gara siapa? Nggak mungkin guelah, orang gue di kantor.”   Arrgghhhh! Val makin kesal. Ingin rasanya memecahkan layar ponsel di depannya ini. Dan melemparnya ke tengah jalan biar dilindas truk kontainer. Sekalian yang ngasih dia ponsel ini, biar dia jadi Gio geprek!   “Gara-gara elu dan adegan cium tangan tadi pagi udah bikin gue jadi makhluk aneh di sekolah. Sekelas aja udah cekikikan ngeliatin gue, apa lagi satu sekolah? Elu emang, ya nggak puas-puasnya bikin hidup gue menderita.”   “Lho, gue nggak tahu kalau elu sepopuler itu. Hmm … padahal lu biasa aja. Masa, sih segitu hebohnya satu sekolahan?” tanya Gio sinis.   Val menahan kesal. Nggak mungkin dia menceritakan pada Gio bagaimana kehidupannya di sekolah. Selain nggak penting, dia juga nggak mau dibilang pamer. Bikin Gio makin punya jalan untuk membuatnya susah saja.   Val mengatur napasnya baik-baik. “Lu mau apa? Gue usah laporan sama elu dan menghabiskan waktu istirahat gue buat video call ma elu. Apa elu berniat membatasi kehidupan sosial gue juga?” sindir Val.   Gio tak berekspresi memandangi wajah cantik Val di layar. “Gue nggak nyuruh lu nggak ke kantin. Lu, kan bisa video call sama gue pas antre di kantin atau pas lagi makan. Anggap aja gue yang nemenin lu makan.”   Dih, najis! Sama aja seolah Val pamer kemesraan sama pacar. Padahal Val lebih suka kalau hubungannya dengan Gio hanya mereka yang tahu. Karena ini bukan hubungan yang layak dipertahakan apa lagi di publikasikan. Ini hanya hubungan terpaksa saja. Kalau bukan gara-gara video dan foto-fotonya, semua ini nggak akan terjadi.   “Kenapa diam? Lu laper, kan? Sok kuat. Kalau mo nahan lapar mending puasa sekalian. Udah bawa hapenya keluar kelas, gue juga mau lihat kayak apa situasi di sekolah lu.”   “Gio …,” panggil Val lirih. “Nggak bisa, ya kita nggak punya hubungan apa-apa saja. Nggak usah sok pacaran seperti ini. Atau kalau lu mau manfaatin tubuh gue, seenggaknya jangan bikin gue hamil dan berikan kebebasan gue. Seenggaknya gue mau merasakan sedikit kebahagiaan di mana enggak ada elu di dalamnya.”   Kata-kata Val seperti petir yang membelah langit. Begitu bencinyakah Valerie padanya? Dipandanginya gadis yang sedang menatapnya sendu. Dia merasa bukan seperti Gio yang biasa. Lelaki acuh yang sering mengabaikan perasaan wanita padanya. Bukan lelaki yang sekarang seperti mengemis perasaan dari anak SMA. Namun Valerie dan dunianya membuat Gio seperti memiliki semangat hidup yang lain. Gadis ini sudah terluka parah, harga dirinya dilecehkan, tapi masih berusaha berdiri tegap dan terus melawan. Menuntut kebahagiaannya dan masa depan yang mungkin saja sudah hilang.   “Lu nggak usah menghubungi gue pas istirahat kedua. Tapi telpon atau chat gue pas pelajaran terakhir berakhir. Nanti gue jemput.” Gio menutup sambungan setelah mengatakan itu.   Val mendesah. Sepertinya perkataannya sudah melukai hati Gio. Ah, apa lelaki seperti dia bisa terluka? Setidaknya Gio harus tahu sebelum hubungan ini terlalu jauh, bahwa Val tidak nyaman dengan hubungan yang dipaksakan seperti ini.   Dipandanginya ponsel yang sudah menghitam layarnya. Val memang sudah mengeluarkan uneg-unegnya. Mengatakan apa yang seharusnya Gio ketahui. Tapi entah kenapa, dadanya terasa tidak lega. Malah semakin sesak. Aneh.   “Val ….” Panggilan lirih membuatnya tersadar. Val mengangkat wajah memandang seseorang yang berdiri di tepi meja.   “Sarah?”   “Lu pasti lapar, kan? Ini gue bawain kesukaan lu, Kue talam dan arem-arem.” Sarah meletakkan seplastik makanan kesukaan Val di meja. Juga air mineral.   “Gue tadi ketemu Ika di kantin dan kita ngobrol semuanya. Tentang lu yang sepertinya menghindari gue sejak malam itu. Juga cowok yang katanya ngaku-ngaku pacar lu.”   ‘Terus kenapa? Gue nggak peduli. Gue masih kesal gara-gara lu nurunin gue di ujung jalan.’   “Nggak tahu dengan cara apa gue harus minta maaf. Tapi Val, gue nggak tahu apa yang terjadi sampai lu begini sama gue. Seengaknya gue berhak tahu apa kesalahan gue, kan?” Sarah duduk di kursi samping Valerie dan memegang tangannya.   Val geming. ‘Gue nggak akan ngebuka rahasia gue. Kejadian yang gue alami cuma Gio dan temannya yang tahu.’   “Gue belum bisa cerita. Mungkin selamanya nggak bisa. Jadi jangan desak gue, Sar. Masalah gue sangat sangat rumit dan gue nggak berniat membaginya sama siapa pun. Gue butuh waktu, Sar. Kalau lu emang ngerasa bersalah sebaiknya lu tunggu gue membaik dengan sendirinya.”   Sarah terdiam. Melepaskan pegangannya pada tangan Val dan menekuk wajahnya. “Gue ngerti. Yang lu alami mungkin sangat luar biasa dan jelas lu butuh waktu. Dan gue sangat menyesal. Gue minta maaf sekali lagi, Val.”   Val tidak menjawab dan tidak berniat menjawab. Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memandang bungkusan plastik di depannya. Ah, Val kangen menikmati arem-arem tanpa ada drama dan bisa tertawa lagi bersama teman-temannya. Dia rindu masa itu. Ketika tidak ada aib di antara mereka dan juga Gio.   “Terima kasih kuenya. Gue emang lapar. Boleh gue makan?” tanya Val sambil mencoba tersenyum.   Makanan itu bisa mencairkan suasana. []   ================ ©elopurs – 2021  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD