Iring-iringan kedua mobil ambulans baru saja sampai di rumah duka, karena satu ambulans nggak memungkinkan untuk satu jenazah. Maka di tambah lagi satu ambulans lagi, Namira berada di salah satu mobil ambulans.
Ya, saat ini Namira berada di samping jenazah sang ibu. Gadis mungil itu terus memegangi tubuh yang telah tertutup kain putih itu, sama sekali ia tidak merasakan takut saat berada di dalam sendiri mobil ambulans sendiri selain supir berada di depan kemudi.
Dian tidak mau menemani Namira, ia lebih memilih bersama suaminya yang naik motor.
Tiga puluh menit kemudian, iring-iringan mobil ambulans memasuki gang menuju rumah duka. Heru yang naik motor, di depan ambulans sebagai penunjuk jalan. Tidak sampai sepuluh menit, dua mobil ambulans itu berhenti tepat di pelataran rumah duka.
Nampak di rumah duka sudah banyak orang, Nenek Ratih semula duduk di teras dengan di temani tetangga, dan warga sekitar sama-sama menunggu kepulangan jenazah Pak Amir dengan Bu Rina seketika langsung berdiri. Begitu melihat mobil ambulans itu berhenti.
Nenek Ratih tidak bisa membendung air matanya lagi, saat petugas rumah sakit di bantu warga mulai mengeluarkan jenazah di dalam mobil.
''Amiirr anakku! Amiirr anakku! Bangun, Nak, ini Ibu. Rina menantuku, Sayang! Ayo bangun, Nak."
"Kenapa kalian berdua tidak mau bangun, saat Ibu panggil. Jangan membuat Ibu takut, ayo bangun."
"Apa kamu tidak kasihan sama anak kalian, Namira. Dia masih terlalu kecil, jangan pergi seperti ini. Tugas kalian masih panjang untuk Namira, ayo bangun," tangis Nenek Ratih, begitu melihat jenazah anak dan menantunya telah di taruh di kursi panjang.
Air mata kesedihan, juga ikut dirasakan oleh kerabat, tetangga dan juga warga sekitar. Mereka yang menangis karena sedih melihat Namira, dan mengingat kalau kedua almarhum itu adalah orang-orang baik.
Nenek Ratih sedari tadi menangis pilu karena meratapi kepergian anak dan menantunya, tiba-tiba ia tersadar oleh satu nama yaitu Namira.
'Namira! Di mana, Namira? Di mana cucu malangku itu, di mana?'' tanya Nenek Ratih sedih, seraya mencari di sekeliling ruangan rumah. Tapi, tidak menemukan Namira.
Salah satu warga yang melihat Namira tadi, masuk ke dalam salah satu kamar mulai memberitahu Nenek Ratih.
"Bu Ratih, tadi saya melihat Namira masuk ke dalam kamar itu. Coba Bu Ratih lihat Namira di dalam sana," ucap salah satu warga.
Tanpa menjawab, Nenek Ratih langsung berdiri kemudian melangkah sedikit cepat ke arah kamar yang tadi ditunjuk oleh salah satu warga.
Cekelek!
Nenek Ratih membuka pintu kamar sedikit kasar, seketika menimbulkan bunyi cukup keras. Namira saat itu dalam posisi membelakangi, karena saat ini ia sedang menyimpan tas ibunya dan juga uang pemberian dari Bu Endang wanita dewasa yang ia temui di rumah sakit tadi.
Wanita yang kini berumur 55 tahun itu, mulai mendekati Namira. Lalu Nenek Ratih mulai memeluk gadis kecil, di hadapannya penuh kelembutan.
"Cucuku, Namira," panggil Nenek Ratih seraya memeluk tubuh Namira.
Namira selalu senang, dan merasa hangat saat di peluk oleh Neneknya. Saat itu juga, Namira membalik tubuhnya dengan mata sembab dan memerah ia menatap wajah sang nenek. Tidak lama, air mata yang sempat berhenti tadi kini mengalir deras kembali.
"Nenek!"
"Ayah sama Ibu, Nek. Mereka tidak mau bangun saat Namira panggil, mereka diam saja dan mengabaikan ucapan Namira," adu Namira dengan suara tercekat, hatinya terlalu sakit saat ia sadar kalau kedua orang tuanya, kedua orang paling ia sayangi ternyata telah meninggal.
"Hiks, Ibu sama Ayah telah pergi, Nek. Kenapa mereka tidak mau bertahan buat Namira, kenapa mereka tega. Padahal Namira masih butuh Ayah dan Ibu dalam hidup Namira," sadar Namira kalau kedua orang tuanya telah tiada.
Sama-sama merasakan kehilangan, Nenek Ratih berusaha kuat. Agar ia bisa menguatkan putri kecil di hadapannya, ia tidak mau Namira terpuruk setelah kehilangan ayah sama ibunya.
'Aku harus kuat, Namira sudah tidak punya siapa-siapa selain aku. Jika aku terlarut dalam kesedihan, bagaimana dengan Namira? Karena aku tahu, di rumah ini Dian sama Heru sama sekali tidak menyukai Namira,' batin Nenek Ratih, tidak lama ia menghapus air matanya kasar di saat ia memeluk Namira.
Sudah lebih baik, dan mulai tegar Nenek Ratih melerai pelukannya dengan cucunya.
"Sssttt! jangan menangis, Sayang. Kamu adalah anak yang kuat, jadi, Allah memilihmu untuk ujian besar ini di saat umurmu masih terlalu sangat kecil."
"Allah sangat menyayangi Ibu sama Ayah kamu, Nak. Jadi, Allah mengambil mereka lebih dulu dari kita. Mereka sekarang sudah bahagia, tinggal kita harus mencoba kuat menjalani hidup setelah kepergian mereka. Maka dari itu kita harus ikhlas menerima ini semua, Insya Allah dibalik ujian ini. Kamu akan menjadi pribadi lebih kuat lagi, masih ada Nenek yang akan menyayangi dan merawatmu, Sayang. Kamu jangan sedih, lagi, ya," ucap Nenek Ratih lembut, dengan mengelus puncak kepala Namira berulang kali.
Duka kehilangan itu masih ada, tentu saja tidak semudah itu Namira dan Nenek Ratih akan cepat melupakan kepergian Pak Amir sama Bu Rina yang telah berpulang. Tapi, keduanya sepakat berusaha tegar menghadapinya.
Namira sedikit mulai tenang, apa yang diucapkan neneknya ada benarnya. Ia tidak boleh terlarut dalam kesedihan, ia juga tidak mau membuat sang nenek khawatir akan dirinya.
"Iya, Nek. Namira akan berusaha tegar menerima semuanya, Nenek juga, ya. Namira tahu, Nenek juga sedih 'kan karena Ayah dan Ibu meninggalkan kita," jawab Namira, seraya membingkai wajah sang nenek yang kini mulai keriput.
Nenek Ratih tersenyum paksa, agar cucu di hadapannya tidak sedih melihat keadaannya.
Ketika Namira dan Nenek Ratih saling menguatkan, tiba-tiba Dian datang dan masuk ke dalam kamar almarhum kakak iparnya. Tentu dengan ekspresi, serta nada marah.
"Ibu! Namira! Apa kalian akan tetap di sini, dan menangisi mereka terus? Lihatlah di depan, semua mencari kalian berdua! Aku sudah malas bersikap manis di depan mereka, jadi, jangan membuatku marah
Lebih baik kalian pergi keluar sana, cepat!'' ucap Dian panjang, tentu saja dengan nada marah.
Nenek Ratih yang telah terbiasa di bentak oleh Dian selama ini merasa biasa. Tapi, berbeda ketika ia mendengar bentakan itu di tujukan padanya sama Namira dalam posisi berduka.
Saat itu juga, Nenek Ratih untuk pertama kali marah dengan Dian menantunya. Selama ini, ia hanya diam baik mendengar maupun bentakan dari menantunya. Tapi, kali ini ia tidak bisa menahan diri lagi karena menantunya itu sama sekali tidak mengerti situasi.
"Jaga bicaramu, Dian. Tidak bisakah kamu berbicara lembut, dalam situasi duka seperti ini! Ibu kecewa padamu, kamu sama sekali tidak memiliki empati sama Namira. Dia baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Tapi apa, yang kamu lakukan padanya kamu sama sekali tidak menunjukkan kasih sayang dan juga perhatian pada gadis kecil ini.''
"Padahal selama ini Amir, dan Rina selalu baik padamu, suamimu, serta anakmu. Lalu balasannya apa, kamu selalu bersikap kasar baik ucapan maupun perilakumu pada Namira," marah Nenek Ratih, seraya merangkul Namira kemudian bergegas keluar tanpa menunggu tanggapan Dian.
Dian mendengar kemarahan mertuanya, seketika diam, seraya melihat mertua dan keponakannya pergi keluar dari kamar. Bukan karena ia takut, melainkan ia hanya sedikit terkejut. Ternyata ibu mertuanya, bisa marah.
'Wow, ternyata Nenek tua itu bisa marah juga. Cih, aku tidak akan menuruti ucapanmu tadi, Nenek tua. Setelah pemakaman selesai, aku akan pergi dari sini, dan hidup kaya raya nantinya. Kalian berdua di sini, pasti akan terlantar. Karena tidak ada lagi, yang mencarikan nafkah buat kalian,' batin Dian, dengan serigainya.
Saat Dian dengan pemikirannya, akan pergi dari rumah sederhana ini. Di ruang tamu, terlihat Namira dan Nenek Ratih khusyuk membaca doa. Sesekali air mata jatuh membasahi kedua pipinya.
Kedua jenazah akan di makamkan esok hari, tepatnya di pagi hari. Karena sekarang situasi sudah sangat cukup malam.
*
Pemakaman sudah selesai lima belas menit lalu, terlihat di sekitar makan juga nampak sepi. Hanya ada Namira dan Nenek Ratih yang berada di sisi kiri makam. Keduanya berusaha tegar, dan tidak ingin menangis karena mereka sadar kalau Meraka sedih Pak Amir dengan Bu Rina di atas sana pasti sedih.
Makam Pak Amir dan Bu Rina dibuat bersebelahan, karena meninggal di waktu bersamaan. Karena mereka juga adalah suami istri, yang saling mencintai dan mengasihi.
Sebelum mereka pulang, Namira berpamitan pada kedua orang tuanya. Begitu pula dengan Nenek Ratih ikut berpamitan juga.
"Ayah, Ibu, Namira pulang dulu, ya. Nanti Namira akan datang ke mari lagi sama Nenek, jangan khawatirkan Namira. Namira akan menjaga diri Namira," pamit Namira, lalu di susul sang Nenek pamitan juga.
"Nak, Ibu pulang dulu. Kamu yang tenang, Ibu akan selalu mendoakanmu dari sini. Jangan khawatirkan Putri kalian, karena Ibu yang akan menjaga Namira dengan baik," ucap Nenek Ratih.
Setelah itu, keduanya berdiri dengan bergandengan Namira dan Nenek Ratih mulai pergi meninggalkan tempat pemakaman.
Ketika Namira dan Nenek Ratih dalam perjalanan pulang ke rumah, Dian yang sudah berada di rumah mulai berkemas. Selesai berkemas, ia menuju kamar almarhum kakak iparnya.
Tujuannya satu, yaitu ingin mengambil beberapa barang berharga di dalamnya.
'Mumpung rumah ini masih sepi, Mas Heru juga masih sibuk dengan tamu. Aku harus mencari sesuatu yang berharga di kamar Kak Rina, siapa tahu ada barang berharga bisa kuambil,' gumam Dian, sesaat setelah ia melihat situasi sepi.
Dian mulai masuk, dan mulai menggeledah setiap sudut kamar almarhum kakak iparnya. Tidak menemukan di sekitar ranjang, ia mulai mencari di lemari.
'Aku tidak menemukan apapun di sini, apa di dalam lemari, ya? Dari pada penasaran, lebih baik aku periksa saja ada apa di dalam lemari,' gumam Dian, dan langsung melangkah ke lemari cukup besar di depannya.
Dian mencoba membuka pintu lemari, tapi, tidak bisa. Karena semalam di kunci oleh Namira. Setelah semalam menaruh tas, dan juga sejumlah uang dari Bu Endang.
'Sialan kamu Namira! Kenapa kamu harus mengunci lemarinya, awas saja kamu nanti,' kesal Dian, yang tidak berhasil membuka pintu lemari milik almarhum Bu Rina
Ketika Dian marah-marah sendiri, tiba-tiba Heru datang ke kamar sang kakak dan melihat istrinya ada di situ cukup heran jadinya.
"Sayang! Kenapa kamu ada di sini, apa yang kamu lakukan?''
"Ayo keluar, ada tamu. Buatkan minuman untuk mereka, karena yang di depan sudah habis," pinta Heru, dengan langsung menarik tangan Dian keluar dari kamar kakaknya.
Dian semakin dibuat marah, selain ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Kini suaminya menyuruh-nyuruhnya dirinya membuatkan minuman.
Hal itu semakin membuat Dian marah, dan dengan ketus ia menolak dengan alasan capek.
"Mas ini, main tarik-tarik saja. Sakit tahu tanganku, kalau Mas Heru mau buat minuman buat sendiri. Aku capek, mau tidur," bentak Dian, dengan melepaskan tangannya lalu berlalu pergi ke kamarnya untuk tidur.
Heru melihat tingkah sang istri, hanya bisa menghela nafas. Kemudian ia pergi ke dapur, untuk membuatkan minuman.
'Huft, kenapa aku bisa menikahi dia? Dia sama sekali tidak mau menurut sama aku,' batin Heru.