10. Penolakan Dian

1731 Words
Di dalam ruang melati, terlihat Pak Amir, dan Bu Rina telah terbujur kaku. Tubuh mereka telah ditutupi kain putih, ranjang mereka pun bersebelahan. Heru baru saja masuk, dan langsung memeluk tubuh sang Kakak. Air matanya seketika tumpah, saat ia mengingat semua perilaku, dan juga sikap pada Pak Amir maupun Bu Rina. Sesungguhnya Heru adalah pria yang baik, dan tidak tegaan. Namun, sejak ia kenal dengan Dian istrinya. Apalagi setelah keduanya menikah, sedikit banyak Dian-lah yang merubah sifatnya. Akhirnya Heru pun berubah, bahkan pada ibu kandungnya sendiri ia menjadi tega. Ibarat, cinta itu membutakan segalanya. Hal itu, masuk dalam kehidupan Heru. Sejak ia mencintai Dian istrinya, sifat, dan tingkah lakunya berubah. Ia juga berubah menjadi pria kasar. ''Kak, maafkan aku. Maafkan Adikmu ini, yang selama Kak Amir hidup selalu menyusahkan Kakak. Aku banyak bersalah padamu, Kak." "Begitu pula Kak Rina, Maafkan aku juga, ya, Kak. Kalau selama ini, aku banyak tidak sopan padamu. Aku berjanji akan menjaga Namira dengan baik, dan menganggap Namira seperti anakku sendiri, seperti Melissa Putriku," gumam Heru cukup keras, hal itu di dengar langsung oleh Namira yang berada di tengah pintu. Ya, setelah Dian memberitahu kalau kedua orang tua Namira sudah meninggal. Gadis kecil itu langsung berlari, dan mencari ruang di mana Pak Amir dan Bu Rina berada. Dalam hati Namira berdoa, berharap apa yang ia dengar dari Dian Tantenya kalau kabar kedua orang tuanya meninggal hanyalah kebohongan tantenya. Tapi, Namira tidak bisa menyangkalnya saat ia akan masuk ke dalam ruang melati. Kebetulan pintu ruang itu telah terbuka lebar, di sana ia bisa melihat dengan jelas kalau Om Heru-nya sedang memeluk salah satu jenazah yang telah tertutup kain. Dengan pelan Namira melangkah berniat masuk. Tapi, langkahnya seketika terhenti tepat di tengah pintu saat ia mendengar langsung dari bibir Om Heru-nya ucapan permintaan maaf dan penyesalan selama kedua orang tuanya hidup Om Heru-nya selalu berbuat salah. Tanpa Namira tahu, kalau Dian sedari tadi mengikuti langkah keponakannya itu sampai di ruang melati. Dian berhenti tepat di belakang Namira, dan merasa senang karena melihat Pak Amir dan Bu Rina telah menjadi mayat. Kesenangan Dian pupus, dan saat itu dia tersadar saat mendengar dari mulut suaminya. Kalau Heru akan merawat Namira, selayaknya anak kandung sendiri. Dian dengan langkah lebarnya masuk, sampai-sampai ia menyenggol badan mungil Namira. Gadis kecil seperti Namira, langsung terjatuh ke lantai dengan tatapan masih ke arah ranjang. Ia masih belum percaya kalau orang tuanya telah tiada, ia berharap apa yang ia lihat saat ini hanyalah sebuah mimpi saja. 'Ayah! Ibu! Semua ucapan Tante Dian tidak benar 'kan, kalau Ayah sama Ibu sudah meninggal? Ayah sama Ibu masih hidup 'kan? Namira tidak mau Ayah sama Ibu pergi, kalau kalian pergi Namira sama siapa?' batin Namira, dengan lelehan air mata terus membanjiri kedua pipinya. Namira terus menangis, dan berharap apa yang ia lihat saat ini bukalah kenyataan melainkan sebuah mimpi buruk saja. Tapi, Namira tidak bisa menyangkalnya saat ia melihat dan melihat sendiri perdebatan antara Heru dan Dian. Karena wanita yang sering Namira panggil Tante Dian itu, ternyata tidak menginginkan dirinya. "Apa yang kamu katakan tadi, Mas?" "Eh, aku tidak mau, ya, kalau kita akan merawat Namira dan kamu menganggap Namira anak. Anak kita cuma satu, Melissa! Aku tidak mau kasih sayangmu terbagi, dengan gadis yatim-piatu itu!'' "Pokoknya, setelah pemakaman mereka selesai. Kita harus merencanakan keluar dari rumah gubuk itu, aku tidak mau bersama Namira maupun Ibumu. Titik, apa kamu mengerti, Mas?" ucap Dian tiba-tiba, dengan nada marah. Heru yang semula memeluk jasad Pak Amir, seraya menunduk. Ia langsung menegakkan tubuhnya, dan melepaskan pelukannya pada Pak Amir. Lalu pandangannya seketika jatuh, pada Dian istrinya. "Jangan begitu, Sayang. Namira sekarang sudah tidak punya siapa-siapa selain kita, apa kamu tega membiarkan dia sendiri. Ayo kita rawat Namira, ya, sebagai wujud balas budi kita sama Kak Amir dan Kak Rina. Karena selama mereka hidup, mereka telah banyak berbuat baik pada kita," bujuk Heru dengan kata lembutnya, seraya menggenggam kedua telapak tangan istrinya. Dian langsung menarik tangannya kasar, dan menatap tajam suaminya. Ia sama sekali tidak mau, kalau Heru suaminya merawat Namira. "Jangan merayuku, Mas. Sekali aku menolak Namira, dan aku sama sekali tidak mau mengasuhnya. Jadi, jangan coba-coba menentang apa yang sudah menjadi keputusanku. Kalau kamu bersikukuh, maka aku sama Melissa akan pergi dan meninggalkanmu," tolak Dian dengan nada mengancam. "Jangan seperti itu, Sayang. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, kamu tahu sendiri 'kan bagaimana perasaanku sama kamu. Tapi, kali ini masalahnya sangat rumit, Sayang. Kakakku Amir sudah meninggal, begitu juga Kak Rina. Kalau kita mengabaikan Namira yang masih kecil ini, bagaimana nasibnya nanti. Aku mohon, terima dia dan kita rawat Namira sama-sama," mohon Heru, karena tidak tega dengan Namira. "Sekali tidak! Tetap tidak, Mas. Kalau kamu masih bersikukuh merawat dia, rawat Namira sendiri. Aku mau pergi, percuma kalau punya suami tidak nurut ucapan istri," kesal Dian berniat keluar. Heru mulai panik, dan berniat menyusul Dian istrinya. Tidak sampai keluar dari pintu ruang melati, Dian telah dicekal oleh suaminya. Namira yang sudah sadar dari lamunan, dan kini ia telah berdiri di sisi tengah-tengah ranjang kedua orang tuanya. Menoleh ke arah Heru, dengan istrinya Dian. Namira adalah anak yang pintar, dan selalu mengerti dari setiap ucapan terlontar dari bibir tante dan om-nya. Tanpa ingin merepotkan, dan membuat masalah ataupun pertengkaran dari orang yang ia sayangi akhirnya ia ikut masuk di dalam percakapan orang dewasa di depannya. "Om, Tante, tidak perlu bertengkar hanya karena Namira. Kalau kalian tidak mau merawat Namira, jangan lakukan," ucap Namira tegas, tanpa mengeluarkan air mata kesedihannya. Namira berusaha kuat, karena orang yang selama ini ia sayangi dan ia anggap saudara ternyata jahat padanya. Bahkan tidak menginginkan dirinya, jika sebelumnya air matanya sama sekali tidak terbendung dan terus membasahi kedua pipinya. Namun, berbeda saat Namira berbicara pada kedua orang dewasa di hadapannya. Ia sengaja menghapus air mata itu dengan kasar, ia juga berusaha kuat dan tegar, ketika berbicara pada Om dan Tante-nya. Heru merasa tidak berguna, sebagai pria ia seolah menjadi pria lemah kalau saat berhadapan dengan Dian. Ia selalu kalah dalam perdebatan, dan pada akhirnya ia selalu nurut sama Dian. Dian dan Heru mendengar suara Namira, seketika pandangan keduanya tertuju pada gadis kecil itu. Dian merasa senang, meskipun suaminya bersikukuh ingin merawat Namira. Tapi, gadis kecil yang ingin dirawat ternyata tidak mau karena mengerti keadaan rumah tangganya. 'Baguslah, kalau Namira menolak. Setidaknya Mas Heru, tidak harus membujukku terus agar mau merawat Namira seperti anakku sendiri. Iih, siapa juga yang mau,' batin Dian, dengan ekspresi senang. Berbeda dengan Heru mendengar kalimat dari bibir Namira, ia merasa tidak berguna. Apalagi saat ia mengingat ucapannya sendiri tadi, di atas jenazah Kakaknya, Pak Amir. 'Maafkan aku, Kak Amir dan Kak Rina. Sepertinya aku tidak bisa merawat Namira, Kakak berdua pasti mengerti 'kan, kalau sampai aku masih pada pendirianku. Maka Dian akan pergi meninggalkan aku,' sedih Heru dalam hatinya, seraya menatap jasad Kakaknya,' batin Heru sedih. Sengaja Dian dan Heru tidak membalas kalimat dari Namira, keduanya sepakat dan kompak diam. Sambil menunggu petugas, yang akan membantu membawa jenazah Pak Amir dan Bu Rina pulang ke rumah duka. Namira memandang Om dan Tante-nya sesaat, melihat kedua orang dewasa itu tidak bertengkar lagi. Ia mulai berbalik ke sisi kanan tepatnya ke jasad sang ayah, air mata yang semula sudah kering kini mulai luluh dan menetes kembali. "Ayah! Bangun, Yah. Ini Namira, apa Ayah tidak mau melihat putri cantik Ayah ini. Namira ingin di temani belajar sama Ayah, ayo buka mata Ayah sekarang, ya. Bukankah setiap malam, Ayah selalu menemani Namira belajar," panggil dan bujuk Namira supaya Pak Amir bangun. Tidak mendapatkan respons, Namira membuka kain putih itu agar ia bisa melihat wajah Pak Amir untuk terakhir kalinya. Degh! "Ayaahh! Tidak, ini bukan Ayah! Ayah ayo bangun, Yah. Huwa, hiks, ayo bangun Ayah," teriak Namira, ia begitu terkejut saat melihat kondisi ayahnya yang begitu buruk setelah kecelakaan tadi sore. Wajah Pak Amir rusak di bagian pipi, dan kepala. Hati Namira hancur, saat melihat pria yang begitu lembut saat ini sudah tidak bernyawa. Lalu ia membalik tubuhnya, kini ia berdiri di sisi ranjang jasad ibunya. "Ibu! Ayo bangun, Bu. Apa Ibu tidak mau menyuapi Namira? Namira lapar, Bu. Namira ingin di suapi Ibu. Tadi, Ibu buat kare ayam buat Namira 'kan, sekarang Namira sudah lapar. Namira mau makan di suapi Ibu, tolong bangun dan suapi Namira, ya,'' pinta Namira dengan deraian air mata, dan terus membasahi kedua pipinya. Tetap saja panggilan Namira tidak mendapatkan respon, sebab Bu Rina sudah meninggal sama seperti suaminya Pak Amir. Namira juga menarik kain putih di tubuh ibunya, setelah terbuka ia melihat wajah cantik yang terlihat tersenyum. Nampak seperti wanita yang tengah tertidur, bukan seperti orang yang telah meninggal. Namira dengan pelan menyentuh wajah ibunya dengan lembut, lalu mengecup kening ibunya. "Bu, besok Namira sekolah. Namira mau dibuatkan bekal nasi goreng, Ibu mau 'kan membuatkan bekal nasi goreng dengan telur mata sapi," ucap Namira lirih, tapi, tetap saja ia tidak mendapatkan jawaban. Namira menangis tersedu-sedu, ia kembali ke ranjang ayahnya. Kali ini, ia sudah tidak terkejut lagi. Ia juga berani mengecup pipi Pak Amir yang tidak terluka. "Ayah, Ibu tidak mau bangun. Mungkin Ibu kecapekan, karena seharian membereskan rumah dan masak. Ayah juga, tidur pulas sekali. Pasti Ayah kecapekan karena lelah bekerja 'kan? Namira tidak akan menggangu tidur kalian, Namira janji akan jadi anak yang baik. Anak yang pintar, dan suatu saat akan jadi orang sukses seperti harapan Ayah sama Ibu," gumam Namira di tengah-tengah ranjang di tempati kedua jasad orang tuanya. Heru, dan Dian sama sekali tidak menghampiri Namira. Walaupun itu sekadar menenangkan gadis sekecil Namira agar tidak terlarut dalam kesedihan, yang mereka berdua lakukan hanya berdiri seraya menatap Namira menangis. Sampai-sampai Dian dan Heru tidak tahu, kalau sedari tadi ada dua petugas rumah sakit yang akan membantu memulangkan jenazah Pak Amir dan Bu Rina ke rumah duka. Kedua petugas itu nampak ikut terharu, saat mendengar kalimat kesedihan dan menyayat hati. Akhirnya kedua petugas itu yang berusaha menenangkan Namira, agar tidak sedih lagi. "Hai, Gadis kecil. Kamu anak yang kuat, dan pintar. Sekarang jangan menangis lagi, ya, doakan saja dalam tidur panjang mereka. Kamu sayang sama orang tuamu 'kan?'' ucap salah satu petugas. "Iya, benar, kamu adalah gadis kuat. Jadi, tidak boleh menangis. Kalau kamu sedih, mereka pasti ikut sedih. Jadi, kamu harus kuat, ya," sambung petugas satunya. Namira yang terlarut dalam tangis kesedihan, seketika mendongak. Saat ada dua orang tidak di kenal berusaha menenangkan dan memberikan kekuatan. Ia merasa senang, meskipun begitu tidak mudah menghapus kesedihan karena kehilangan kedua orang berharga dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD