8. Kalung Pemberian Bu Endang

1155 Words
Masih diruang perawatan yang sama, nampak terlihat Bu Endang sedang melepaskan sebuah kalung perak. Lalu di berikan pada Namira, tepatnya wanita dewasa itu langsung memakaikan kalung itu di leher gadis kecil di hadapannya. Meskipun semula, Namira menolak pemberian Bu Endang. "Nyonya! Apa ini, aku tidak mau Nyonya," tolak Namira sambil menghindar. Tapi, Bu Endang tidak menyerah. Hingga akhirnya, kalungnya kini telah tersemat manis di leher Namira. "Jangan menolak, Nak. Sengaja aku memberikanmu ini, karena memang aku ingin. Jangan menolaknya, ya, Tante mohon," sanggah Bu Endang sedikit memaksa. "Tapi, Nyonya nanti tidak memiliki kalung lagi. Aku juga takut, kalau Nyonya akan di marahi suami Nyonya," ucap Namira dengan kata polosnya, sekaligus tanpa sadar ia mengkhawatirkan Bu Endang. Sesaat Bu Endang mendengar itu seketika terharu, ia tidak mengira gadis kecil seperti Namira bisa mau mengkhawatirkan dirinya. Kedua tangannya seketika terulur lalu, memegang kedua sisi lengan kanan dan kiri Namira. "Tante masih punya banyak perhiasan di rumah. Terima kasih sudah mengkhawatirkan, Tante. Kamu jangan khawatir, soal suami Tante akan memarahi Tante rasanya itu tidak mungkin. Karena suami Tante, sangat mencintai Tante,'' jawab Bu Endang dengan kekehannya, lalu mengusap rambut Namira lembut. Namira merasakan elusan lembut itu, merasa nyaman. Tidak lama, gadis kecil itu memegang kalung Bu Endang di lehernya. Bu Endang melihat Namira sedang memegangi kalung pemberiannya, langsung mengingat sesuatu. Tepatnya, ia mengingatkan Namira soal kalung yang kini dikenakan Namira. "Sayang, apa kamu mau mendengar kata Tante?'' ucap Bu Endang lembut, seraya menatap kedua kelompok mata indah milik Namira. "Iya, apa itu, Tante?" "Begini, kamu 'kan sekarang telah memakai kalung Tante. Jadi, saat kamu nanti dalam kondisi sulit dan mendesak. Kamu boleh menjualnya nanti, Tante tidak marah. Sebab saat ini kalung ini, telah menjadi milikmu." "Meskipun kalau ini terlihat biasa, dan berwarna perak. Tapi, kalung ini istimewa dan mahal. Kamu boleh menjualnya, bila saat itu kamu kesulitan," jelas Bu Endang mengingatkan. Namira yang belum paham sama, tapi, setidaknya ia sedikit mengerti oleh ucapan Bu Endang. "Iya, Tante. Aku mengerti, ucapan Tante tadi." "Bagus, Tante senang mendengarnya." Di tengah percakapan antara Bu Endang dan Namira, tiba-tiba datanglah Pak Wijaya bersama Hans. Kebetulan tadi saat Pak Wijaya akan masuk ke ruang perawatan Arsen. Hans yang telah selesai melaksanakan tugas, Pak Wijaya. Akan melaporkan pada Tuannya. Beruntung keduanya bertemu di depan kamar VVIP itu, Pak Wijaya juga bersama beberapa orang berbadan besar yang mengenakan pakaian serba hitam, layaknya seorang bodyguard. "Sayang, apa kamu sudah siap. Kita pergi sekarang juga," ucap Pak Wijaya tiba-tiba, seketika Bu Endang langsung menoleh ke arah suaminya. "Tapi, Arsen sedang tidur?'' jawab Bu Endang dengan tatapan beralih ke arah ranjang pasien di mana Arsen tengah terlelap tidur. Pak Wijaya tersenyum kecil, lalu memberikan perintah pada Hans dan beberapa orangnya. "Hans, berikan obat itu pada Arsen. Setelah itu angkat dia, dan bawa ke mobil karena tidak lama lagi, kita akan langsung pergi ke Bandara," perintah Pak Wijaya tegas. "Baik, Tuan." Hans lalu berjalan ke arah ranjang pasien, lalu beberapa orang berbadan besar dan mengenakan pakaian serba hitam itu, mulai mengikuti Hans dari belakangnya. Tidak lama, Hans mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sesuatu itu berupa sapu tangan, yang telah diberi obat bius. Meskipun saat ini posisi Arsen telah tertidur, tetap saja Hans harus memberikan obat itu. Karena, bila Hans dan beberapa orang Pak Wijaya mengangkat tubuh Arsen. Di takutkan pria remaja itu terbangun, dan marah. Mengingat Arsen adalah tipe pemuda, yang cepat emosian bila sesuatu tidak seperti keinginan Arsen. Di saat Hans dan orang-orang Pak Wijaya melakukan tugasnya, Bu Endang bersama Pak Wijaya yang sebentar lagi akan pergi mulai dihinggapi perasaan bingung. Saat melihat Namira hanya terdiam, seraya menatap ranjang pasien lalu tatapannya ke arah kedua orang dewasa di hadapannya. "Mas, bagaimana dengan gadis kecil ini? Aku tidak tega meninggalkan dia di sini sendirian, apalagi kamu sudah tahu sendiri kalau kedua orang tuanya telah meninggal," bingung Bu Endang, seraya menatap tidak tega ke arah Namira. "Kita sudah tidak punya waktu, Sayang. Lebih baik salah satu orangku, yang akan menemani dia selama keluarganya belum datang." "Kita tidak boleh terlalu lama di sini, semua yang kita lakukan hanya untuk kebaikan Arsen. Apa kamu ingat akan tujuan kita sekarang, bukannya kita lari dari masalah. Tapi, kita hanya belum siap, saat Arsen berurusan dengan hukum." "Meskipun aku memiliki segalanya, belum tentu aku bisa menolong Arsen. Mengingat kecelakaan itu, telah memakan korban," sanggah Pak Wijaya mengingatkan. "Apa yang kamu katakan benar, Mas. Baiklah, aku percaya dengan semua yang kamu lakukan." "Sebentar, sebelum aku pergi aku ingin berpamitan dengan gadis kecil ini," ucap Bu Endang, lalu berdiri tepat di hadapan Namira. Tangannya yang lembut terulur menangkup wajah mungil itu, dengan tersenyum lembut Bu Endang berpamitan sekaligus memberikan sejumlah uang pada Namira. "Sayang, maaf Tante tidak bisa terlalu lama menemanimu di sini. Kamu tidak apa-apa 'kan, kalau Tante pergi bersama Om. Nanti akan ada seseorang yang menemanimu, jadi kamu tidak akan sendirian ataupun takut." "Ini, ada sedikit uang. Kamu simpan baik-baik, siapa tahu uang ini akan berguna untukmu nanti," ucap lembut Bu Endang, setelah membingkai wajah Namira lalu ia mengambil uang di tas selempangnya. Kebetulan tas itu tidak jauh darinya. "Tidak apa-apa, Nyonya. Terima kasih untuk semuanya, Nyonya hati-hati, ya," jawab Namira, seperti tidak rela. Pak Wijaya hanya diam di belakang istrinya, melihat waktu yang cukup mendesak ia langsung mengajak sang istri untuk pergi. "Sayang, sudah waktunya kita pergi. Ayo, karena kita tidak punya banyak waktu," ajak Pak Wijaya, seraya mengulurkan tangannya. Fokus Bu Endang teralihkan, ia menatap suaminya sambil menganggukkan kepalanya setelah mendengar ajakan suaminya untuk pergi. "Iya, ayo, aku juga sudah selesai dengan gadis kecil ini," jawab Bu Endang. Ketika Bu Endang dan Pak Wijaya pergi, Namira hanya bisa terpaku ditempatnya seraya menggenggam sejumlah uang di tangannya. Entah mengapa, hatinya tidak rela saat melihat wanita dewasa itu pergi begitu saja tanpa menoleh lagi ke arahnya. Namira berjalan ke arah ranjang pasien, yang sempat ia tiduri tadi. Ia mengambil tas milik Bu Rina ibunya, lalu menyampirkan di bahunya. 'Aku harus mencari Ibu sama Ayah, dan melihat keadaan mereka. Aku berharap mereka baik-baik saja,' doa Namira dalam hatinya. Namira mulai melangkah, tiba-tiba ada seseorang yang datang tidak lain adalah orang suruhan Pak Wijaya. "Nona Kecil, Nona mau ke mana?'' tanya orang suruhan Pak Wijaya, saat melihat Namira akan keluar dari kamar perawatannya. "Paman, Paman siapa?'' tanya Namira, bukannya menjawab. Lalu Namira teringat ucapan pria dewasa yang bersama Bu Endang tidak lain adalah Pak Wijaya. "Pasti Paman pria yang di maksud oleh, Tuan tadi, ya?'' sambung Namira. "Iya, saya adalah orang suruhan Tuan Besar saya. Kalau boleh tahu Nona mau pergi ke mana sekarang, biar saya mengantar Nona," jawab pria berbadan besar itu. Namira yang polos, dan tidak takut. Teringat ingin mencari kedua orang tuanya. "Paman, aku mau mencari Ayah sama Ibuku. Apa Paman mau membantuku?'' "Tentu saja, mari saya antar." Namira, dan pria berbadan besar itu mulai meninggalkan ruang perawatan Namira tadi. Gadis kecil itu ingin mencari Pak Amir dan Bu Rina di rumah sakit ini, tanpa Namira tahu kalau kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD