7. Rasa Iba

1302 Words
"Bagaimana tanggapan keluarga korban, setelah kamu memberikan cek itu, Hans?" tanya Pak Wijaya setelah Hans sampai di rumah sakit. "Keluarga menerimanya dengan senang hati, Tuan. Mereka juga telah berjanji, tidak akan membawa masalah kecelakaan itu ke ranah hukum. Sebab saya telah berhasil mendapatkan tanda tangan, di atas surat perjanjian untuk tidak membocorkan rahasia pada pihak manapun," jelas Hans, seketika membuat Pak Wijaya tenang. "Bagus, kerja bagus Hans. Aku suka cara kerjamu, tidak sia-sia aku memilihmu menjadi seseorang yang kupercaya selama ini," puji Pak Wijaya. "Terima kasih banyak atas kepercayaan Anda pada saya, Tuan," senang Hans, merasa tersanjung. Sesaat Pak Wijaya teringat sesuatu, dan tidak lama ia pun memberikan perintah lagi pada Hans. "Oh, iya, ada pekerjaan untukmu Hans. Sekarang pergi ke bagian administrasi rumah sakit ini, urus semua biaya perawatan gadis kecil itu, dan juga pengurusan jenazah untuk di pulangkan ke rumah korban. Jangan sampai, pihak keluarga korban lebih dulu membayarnya. Jadi, kamu harus cepat mengurusnya sebelum mereka datang ke mari," perintah Pak Wijaya cepat, dan langsung dimengerti oleh Hans. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu." "Iya, pergilah." Setelah Hans pergi mengurus semuanya, Pak Wijaya kembali masuk ke dalam ruang VVIP. Tepatnya di ruang perawatan Arsen, nampak terlihat setelah Pak Wijaya masuk. Sang istri tengah menemani Arsen tertidur. Cekelek! "Arsen sudah tidur, Sayang." "Iya, barusan saja. Pa, bagaimana apa Hans sudah melakukan tugasnya dengan baik? Aku tidak mau putraku sampai berada dalam masalah besar, apalagi di harus masuk penjara di usia dini seperti ini," tanya Bu Endang, tersemat kekhawatiran di dalamnya. "Kamu tenang saja, Sayang. Semuanya pasti baik-baik saja, jika kamu masih khawatir dengan keadaan Arsen kedepannya. Apa perlu kita pindah, dan membawa Arsen pergi ke Amerika?" "Biar kamu lebih tenang, Arsen juga pasti akan cepat melupakan kejadian yang menimpanya sore tadi," jawab Pak Wijaya berusaha menenangkan kekhawatiran istrinya. Mendengar kata pindah, sesaat Bu Endang berpikir sejenak tentang baik buruknya. Ia pikir qda baiknya juga, kalau Arsen pergi dari kota ini. Sebab ia yakin, Arsen pasti tidak akan terbebani oleh kecelakaan yang menimpa putranya. 'Apa yang dikatakan Mas Wijaya ada benarnya, tidak ada salahnya aku membawa Arsen dan tinggal di sana. Karena dengan begitu, aku yakin Arsen akan cepat melupakan rasa bersalahnya, karena telah membuat seseorang kehilangan nyawa. Meskipun itu, tidak sengaja dilakukan Arsen. Tetap saja, rasa bersalah tetap ada dalam hati dan benaknya,' batin Bu Endang. Merasa apa yang dikatakan Pak Wijaya ada benarnya, Bu Endang tanpa pikir dua kali lagi mengiyakan tawaran suaminya tinggal di Amerika sementara waktu. ''Itu ide yang bagus, Pa. Kalau bisa persiapkan secepatnya, biar Arsen tidak kepikiran terus tentang kecelakaan itu. Aku mau kalau bisa malam ini juga, kita pergi ke Amerika. Mumpung Arsen masih tidur juga, 'kan?'' ucap Bu Endang, sesaat menatap putranya. "Baiklah, akan segera kusiapkan semua. Kamu tetap di sini, temani Arsen saja." "Iya, Pa.'' Ketika Pak Wijaya baru saja meninggalkan ruang perawatan Arsen, gadis kecil yang berada di samping ranjang Arsen, sudah terbangun dari tadi. Ya, Namira juga mendengar semua percakapan Pak Wijaya dan Bu Endang. Meskipun ia sama sekali tidak mengerti isi dari percakapan itu, ia pun hanya bisa menunggu sampai selesai. Barulah Namira turun dari ranjang, dan bertanya siapa wanita cantik di hadapannya. "Nyonya, di mana orang tuaku. Kenapa aku tidak melihat mereka di sini, dan malah aku yang berada di sini?'' tanya Namira polos, khas pertanyaan anak-anak. Bu Endang semula sedang membetulkan selimut yang dikenakan Arsen, seketika menoleh lalu sedikit menunduk melihat Namira. "Hai, cantik. Kamu sudah bangun, Sayang? Apa kamu perlu sesuatu, minum misalnya?'' tanya balik Bu Endang, dengan nada lembut selayaknya seorang ibu pada putrinya sendiri. Namira melihat wanita di hadapannya sedikit membungkuk, karena ingin mensejajarkan tubuh Bu Endang dengan dirinya. "Tidak, terima kasih, Nyonya. Aku hanya ingin tahu, di mana orang tuaku. Aku ingin menemuinya, Nyonya," jawab Namira seraya menggelengkan kepalanya. Degh! 'Jika kamu bertanya seperti itu, aku harus menjawab apa, Nak?' 'Sungguh kasihan nasib kamu, padahal kamu masih sangatlah kecil. Tapi, Allah telah memberikan ujian begitu berat dalam hidupmu,' batin Bu Endang iba, dan juga kasihan dengan keadaan Namira. 'Ini bukan salah putraku, semua ini adalah suratan takdir. Arsen, hanya ingin mengendarai mobil. Bukan niat menabrakkan mobilnya, pada mobil kedua orang tuamu. Semoga saja, setelah ini kamu menjadi sosok gadis dan wanita yang kuat di kemudian hari. Jika saatnya tiba, bila Arsen di takdirkan menjadi pelindungmu. Maka dengan senang hati, aku akan mendukung Arsen,' monolog Bu Endang. Melihat wanita cantik di hadapannya tidak menjawab pertanyaannya, dan malah melamun membuat tangan mungil Namira tiba-tiba terulur ke arah pipi Bu Endang. Saat itu juga, Bu Endang yang tengah melamun seketika tersadar. "Nyonya, kenapa Nyonya malah melamun? Apa Nyonya sedang sedang sakit, mana yang sakit?'' tanya Namira dengan nada perhatiannya. Bu Endang mendengar nada penuh khawatir, dari bibir mungil itu begitu terharu. Saat itu juga, Bu Endang menggenggam tangan mungil itu penuh kelembutan. "Aku tidak apa-apa, Sayang. Ayo sini, kita duduk di sini. Aku punya sesuatu untukmu, dan kamu harus memakannya," ajak lembut Bu Endang ke arah sofa empuk tidak jauh dari sisi ranjang Arsen. Namira adalah gadis kecil yang baik, dan sopan. Saat Bu Endang mengajaknya, ia hanya bisa menurut dan mengikuti langkah wanita dewasa di hadapannya. Setelah Namira di dudukkan di sofa empuk berwarna putih, Bu Endang mulai menyiapkan makanan untuk Namira. Sebagai seorang Ibu, Bu Endang yakin kalau Namira belumlah makan dari tadi. Dengan telaten, dan penuh kelembutan Bu Endang mulai menyuapi Namira. Meskipun awalnya gadis kecil itu terus menolak. "Sini, ayo buka mulutmu, Sayang. Kamu makan dulu, ya, biar Tante yang nyuapin kamu," bujuk Bu Endang. "Tidak, Nyonya, terima kasih. Aku sudah kenyang, dan belum merasa lapar," jawab Namira malu, ia juga berkata dengan nada layaknya anak-anak. Bu Endang merasa sangat iba dengan Namira, selain itu ia juga sangat senang kepribadian gadis kecil di hadapannya. Meskipun Namira adalah seorang anak kecil, tapi, Namira mampu memiliki sikap sopan santun kadang jarang dimiliki anak remaja jaman sekarang. 'Sengaja aku melakukan hal kecil ini, karena setelah ini kamu pasti akan tahu kondisi kedua orang tuamu. Aku tidak bisa membayangkan kehidupanmu setelah di tinggal oleh kedua orang tuamu, Nak. Aku hanya bisa berdoa, semoga kamu selalu dilimpahi kebahagiaan. Suatu saat kamu bisa menjadi orang yang sukses, agar bisa membanggakan dirimu sendiri,' batin Bu Endang dengan doa tulusnya. Namira yang terus menolak, sedangkan Bu Endang tetap gigih membujuk Namira agar mau makan. Keberuntungan pun berpihak pada Bu Endang, sebab tidak lama setelah ia mengatakan itu. Perut Namira tiba-tiba berbunyi, kekehan dari bibir Bu Endang pun pecah. "Ayo, buka mulutmu, Sayang. Makanan ini enak, lho, soalnya Tante sendiri yang memasaknya," bujuk Bu Endang sekali lagi. "Tidak, aku sudah kenyang. Aku mau pergi dulu, mau mencari kedua orang tuaku," pamit Namira, dan mulai berdiri berniat pergi. Tiba-tiba perutnya berbunyi. Kerucuk! Namira seketika menutupi perutnya, yang tadi sempat berbunyi dengan ekspresi malu-malu. "Katanya sudah kenyang, terus tadi itu bunyi apa, hayo?'' tanya Bu Endang dengan kekehannya. Namira semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang terlihat malu-malu. Bu Endang menaruh piring di atas meja, lalu menghampiri Namira kemudian merangkulnya. Lalu mendudukkan kembali Namira, di posisi yang sama seperti tadi. Kemudian Bu Endang kembali mengambil piring di atas meja, lalu ia mulai menyuapi Namira. "Sudah jangan malu, Tante hanya ingin kamu makan sebelum pergi dari sini. Tante ingin, kamu nanti menjadi wanita kuat. Makanya kamu harus makan yang banyak, agar tidak lemas ataupun jatuh sakit," ucap Bu Endang lembut. Namira setiap kali mendengar suara perhatian dari Bu Endang, ia seperti merasakan kalau di hadapannya bukalah orang lain melainkan ibunya sendiri. "Nyonya kalau bicara seperti itu, seperti Mama. Mamaku juga begitu, selalu perhatian sama aku. Meskipun kami hidup dalam kesederhanaan, tapi, kami bahagia karena kami saling menyayangi," gumam Namira, di sela ia mengunyah makanan di dalam mulutnya. Bu Endang merasa kasihan, saat ia tahu kalau Ibu dan Ayah Namira sudah meninggal. 'Bagaimana ekspresimu saat kamu tahu, kalau kedua orang tuamu telah meninggal, Nak?' batin Bu Endang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD