BAB 43

1348 Words
Sudah seminggu aku berada di dalam kamar rawatku, syukurnya keadaanku sudah mulai membaik dan aku sudah tidak terlalu merasakan nyeri di punggungku karena operasi kemarin. Aku duduk di kursi roda selagi om Juna mendorong kursi rodaku. Tanganku menyentu pintu ruang rawat ayah yang baru saja ditutup dengan rapat oleh Adrian, hari ini 'pun kondisi ayah masih sama seperti kemarin. Ayah masih berjuang melawan kondidi kritisnya, mata ayah masih tertutup rapat seakan masih betah dengan tidur panjangnya. Berulang kali juga aku meminta agar bisa menemani ayah, sama seperti tante Erly dan om Juna, aku juga ingin ikut menjaga ayah namun tante Erly menolak dengan keras karena kondisiku yang juga belum pulih sepenuhnya. "Kamu perlu banyak istirahat." Kalimat itu adalah kalimat yang paling sering aku dengar dari tante Erly dan om Juna, padahal aku sudah merasa lebih baik meskipun belum sepenuhnya pulih. "Kita balik dulu ya Lun," ucap om Juna bersiap menarik kursi rodaku keluar dari ruang rawar ayah. Om Juna membawaku kembali ke ruang rawat inapku, sepanjang perjalanan kembali berulang kali om Juna berbicara untuk menyemangatiku dan memintaku terus berdoa untuk kesehatanku dan kesehatan ayah juga. Pintu kamarku di dorong oleh om Juna, ia menggendongku perlahan masuk ke dalam kamar rawatku, setelah itu membawaku kembali ke kasur dengan perlahan. "Beneran gak apa-apa, Om tinggal?" tanya om Juna untuk yang kesekian kalinya, sedari tadi om Juna menanyakan hal yang sama terus menerus. Aku mengangguk dengan yakin, "iya Om, udah hampir jam 10 nanti Om telat ke kantor. Walau itu perusahaan punya Om, tapi 'kan gak boleh ngasih contoh datang terlambat ke pegawai," ucapku menatap om Juna dengan cengiran, aku mengerti alasan om Juna mencemaskanku ia takut kejadian terakhir terulang. Senyum lebar menghiasi wajah om Juna, "Adrian mana?" tanyaku, karena tadi Adrian harusnya ada di belakang kami saat aku hendak kembali ke kamar. "Kayaknya dia ke kantin dulu beli makanan, mungkin sebentar lagi balik," ucap om Juna menjelaskan, aku mengangguk mengerti. Semalam aku terbangun dari tidurku, aku melihat Adrian yang tengah memeriksa bungkusan di dalam kantung belanja. Ternyata ia tidak bisa tidur karena lapar, tetapi semua makanan semalam habis dan memang belum di beli lagi oleh tante Erly. Mungkin itu yang menjadi penyebab Adrian pergi ke kantin, ia berencana membeli beberapa makanan yang bisa di makan kapanpun. Om Juna meletakkan bantal di belakang punggungku, ia memastikan aku berada di posisi yang nyaman. Tante Erly tadinya akan menyusul tapi masih menunggu dokter datang untuk memeriksa ayah, "aa sudah kalau begitu Om pamit dulu, kamu istirahat yang cukup. Kalau ada apa - apa langsung hubungi Om," ucap om Juna menatap ke dalam mataku. "Siap Om," ucapku dengan senyum kecil, om Juna mengusap kepalaku sebelum akhirnya ia pamit dan keluar dari ruang rawatku. Saat ini, aku hanya sendirian di dalam ruang rawat. Jujur saja, sudah seminggu di sini aku benar - benar sudah merasa bosan. Ingin rasanya aku cepat pulang ke rumah, tapi di sisi lain ayah juga masih belum sadarkan diri karenaku. Aku terus menyalahkan diriku karena terus - terusan menyusahkan orang lain, aku tidak ingin melakukan hal itu tapi bagaimana 'pun aku mengusahakannya aku tidak bisa mengontrolnya. Tanganku menarik selimutku dan memejamkan mataku, aku cukup merasa bangga kepada diriku sendiri karena aku bisa bertahan sejauh ini. Jika mengingat semua yang sudah kulalui, untuk anak seusiaku mungkin jika hidupku dijalankan oleh orang lain bisa jadi orang terdesebut menyerah karena tidak kuat melalui semua ini. Hembusan napas keras keluar dari hidungku, bagaimanapun semua yang terjadi telah terjadi, sekarang aku hanya harus berusaha melalui semua itu dengan baik. Dari luar aku mendengar suara pintu kamarku di ketuk perlahan membuatku mengarahkan pandangan ke arahnya, kulihat daun pintu yang terputar dan pintu terdorong ke arah dalam. Sosok tinggi Adrian keluar dari balik pintu, aku menatapnya dengan senyuman. Namun, senyumanku kini lebih lebar saat melihat anak kecil yang tangannya tengah digenggam oleh Adrian. "Adrian?!" ucapku terkejut melihat ia datang, tapi bukan kedatangan Adrian yang membuatku terkejut namun karena ada orang lain yang datang bersama Adrian "Kak Luna!!!" teriak seorang anak kecil berusia 7 tahunan, yang kini tengah digendong oleh Adrian. "Halo, kamu Rara ya?" tanyaku pada anak kecil digendongan Adrian, anak kecil itu menatapku dengan senyum yang lebar. "Iya Kak," jawabnya dengan bersemangat, aku menatap Adrian dengan senyum yang lebar "Adrian, lucu banget. Di siapa?" tanyaku penasaran karena bukannya tadi Adrian pergi ke kantin kata om Juna, tapi kenapa ia malah kembali membawa anak kecil. Adrian tertawa melihatku yang tersenyum lebar, "ini Rara adikku, tadi Mama ke sini habis periksa gula darah dia mau tinggal. Mau main sama kamu katanya," ucap Adrian menjelaskan bagaimana ia bisa membawa adiknya ke sini. Mataku melebar, "lalu Mama kamu mana? Aku gak enak kalo gak nyala," ucapku menatap bingung Adrian. Senyum kecil ditunjukkan Adrian, "lagi rapat di luar," jawabnya singkat, sayang sekali aku tidak bisa menyapa mama Adrian padahal kebetulan sekalo bisa bertemu dengannya. Aku tidak berbohong saat mengatakan adik Adrian lucu, tapi saat aku melihatnya itu kata pertama yang bisa aku ucapkan untuk mendeskripsikan anak kecil yang dikuncir rambutnya, mata yang bulat berwarna kecokelatan dan pipi yang bulat. "Buka dulu ya sepatunya," ucap Adrian lembut, Adrian mendudukkan Rara di atas ranjangku setelah aku mengubah posisiku menjadi duduk. Ia melepaskan sepatu Rara dan meletakkannya di bawah. "Aduh lucu banget sih kamu," ucapku mencubit kedua pipi Rara. "Terima kasih kakak," balas adik Adrian yang terdengar jelas sedang malu karena aku terus saja memujinya. "Luna, aku beli minum dulu ya. Sekalian, beliin jajanan untuk Rara." Aku mengangguk senang dan mengibaskan tanganku mengusir Adrian, "hus sana," ucapku dengan senyum lebar. Adrian sedikit kesal karena aku yang lebih memperhatikan adiknya daripada dirinya. Sedangkan aku berussha untuk tidak memperdulikan itu, padahal sudah kubilang kalo aku lebih perhatian pada adiknya karena baru bertemu dengannya tidak dengannya yang hampir setiap hari kutemui. "Kak Adrian lucu ya," ucapku pada Rara setelah melihat Adrian keluar dari kamarku. "Kak Adrian itu nyebelin," jawab Rara ia mengubah raut wajahnya dengan cepat. "Kenapa?" tanyaku menatap penuh tanya pada Rara. "Iya, soalnya kak Adrian suka jahil sama aku. Terus aku aduin ke Mama," ujar Rara menceritakan kejahilan Adrian padaku. Meski Rara terus berkata Adrian adalah sosok yang jahil, aku dapat melihat apa yang dilakukan Adrian adalah bentuk kasih sayang darinya. Rara membuka tasnya dan berusaha mengeluarkan sesuatu, aku membantunya mengeluatkan sebuau buku. "Kakak, mewarnain yuk." Tentu saja aku tidak menolak ajakan Rara, kini ia tengah membuka lembar yabg belum terwarnai dan memberikanku pewarnya yang ia bawa di dalam tasnya. Kertas gambar yang dibawa oleh Rara kini hampir selesai diwarnai, semakin kenal Rara semakin aku mengetahui jika Rara anak yang aktif dan banyak berbicara. Ia juga tidak berhenti menceritakan tentang Adrian yang terkadang membuatku tertawa dan terkejut. "Ngomongin apa nih? Kok sampe gak sadar kalo kakak udah balik," ucap Adrian yang membuatku dan Rara juga terkejut. Kami benar-benar tidak menyadari jika Adrian sudah kembali dengan dua kantung putih yang berada di tangan kanannya. "Beli apa?" Adrian duduk dan mulai membongkar belanjaannya, ia mengeluarkan s**u terlebih dulu dan memberikannya kepada Rara sedangkan untukku ia juga membelikanku s**u rasa taro yang tentu saja aku terima dengan senang hati. Adrian membuka bungkusan roti yang kami makan bersama, kulihat Adrian juga merupakan sosok kakak yang baik karena terus memperhatikan adiknya. Kami memakan belanjaan Adrian dengan senang, hingga beberapa saat kemudian Rara berkata jika ia mengantuk. Adrian awalnya ingin pulang sebentar mengantar Rara, lalu ia kembali lagi. Tapi aku menolaknya, meminta Adrian tetap tinggal dan membiarkan Rara lebih lama dariku. Akhirnya, aku membiarkan Rara ikut tidur diranjangku. "Adrian, terima kasih." "Buat apa?" tanya Adrian menatap mataku bingung. "Semuanya, buat Rara juga yang udah kamu ajak hari ini," jawabku, karena memang aku benar - benar bahagia karena kedatangan Rara, aku bahkan bisa merasakan kebosananku sedikit berkurang. "Aku 'kan udah janji mau bawa dia," ucap Adrian santai sambil mengusap rambutku. "Iya, makanya aku berterima kasih." "Iya, sama-sama. Kamu cepet pulih ya," balas Adrian yang membuatku nyaman. "Iya," balasku pelan. Aku dan Adrian saling tatap beberapa saat, setelah itu aku meminta Adrian juga ikut beristirahat. Dengan sedikit penolakan di awal, akhirnya Adrian mengikuti ucapanku dan berbaring di sofa. Tentu saja, tak lama aku ikut menyusul Rara yang sudah lebih dulu masuk ke dunia mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD