Tidak terasa, ini hari kelimaku di rumah sakit. Rasa bosan tentu saja sudah mengusikku. Tak perlu menunggu hingga hari ke lima, mulai dari hari pertama saja rasanya aku ingin segera keluar dari rumah sakit.
Aku sudah mulai bisa berjalan, meskipun tidak tahan untuk berdiri lama. Adrian dan tante Erly tidak henti-hentinya bergantian membantuku berjalan, membuatku untuk mulai membiasakan diri.
Pagi tadi hujan turun sangat lebat, bahkan guntur keluar yang terdengar seperti bom yang meledak ditambah seramnya kilatan dari langit membuatku beberapa kali terkejut.
Aku ingin sekali menghirup aroma setelah hujan, sebenarnya akan lebih baik jika menghirupnya di taman rumah sakit atau di tempat yang dekat dengan tanah. Tapi, karena kondisiku Adrian menolak dengan keras ideku itu.
Lucunya, ia malah membuka jendela selebar mungkin dan mengatakan jika aku bisa mencium aroma hujan yang masuk dari balik jendela.
Lebih dari itu, hari ini adalah hari yang aku tunggu. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan ayah, di ranjang aku menunggu Adrian mengambil kursi roda di luar. Padahal ia baru keluar beberapa menit yang lalu tapi entah mengapa bagiku ini sudah sangat lama.
Adrian mendorong pintu sambil membawa masuk kursi roda. Aku menatapnya yang terlihat tengah kesulitan menaikkan kursi roda melewati pintu kamar, namun beberapa saat kemudian Adrian berhasil membawa masuk kursi roda.
"Kenapa lama, aku udah gak sabar."
Aku bersiap untuk dirangkul oleh Adrian, tapi secara mengejutkan ia malah menggendongku membuatku sedikit menjerit karena terkejut. Adrian mengangkatku seakan ia tengah membawa buku tanpa masalah, aku menatapnya dalam saat wajahku berhadapan dengan dadanya.
"Sttt ... nanti dikira ngapain."
Aku mencubit kecil lengan Adrian, bisa-bisanya ia berbicara sesantai itu. Ia bahkan tertawa kecil setelah aku mencubitnya, aku benar - benar kalah oleh sikap Adrian yang malah semakin membuat jantungku berdegup keras.
Adrian mendorongku dari belakang, entah hanya aku yang merasa atau bagaimana tapi sejak keluar dari kamarku Adrian hanya terdiam tanpa berbicara sedikpun. Saat aku bertanya, ia juga hanya menjawab singkat.
Dorongan dari kursi roda juga kurasa lebih lambat, apa karena beratku yang memang cukup berat untuk di dorong atau memang Adrian yang mendorongnya lambat aku tidak tahu. Tapi, aku hanya diam tidak memprotes pekerjaan Adrian.
Setelah beberapa saat, Adrian berhenti pada sebuah pintu. Aku merasakan keraguan di langkah Adrian, dari samping aku melihat tante Erly dan om Juna yang duduk di kursi luar.
Adrian membuka pintu, membantuku dengan mendorong kursi roda masuk. Saat masuk, aku tidak langsung melihat ayah karena tertutup dengan gorden.
Ruangan ini sedikit berbeda dengan ruanganku, bau khas rumah sakit tercium lebih keras di ruangan ini jika dibandingkan dengan ruanganku.
"Ayah di mana?" tanyaku pads Adrian.
Adrian menggeserkan kursi rodaku, memberiku jarak dengan gorden yang tertutup. Perlahan, Adrian mulai membuka gorden yang ada di depanku. Saat ini, aku tersenyum lebar bersiap untuk menyapa ayah.
Saat gorden itu melewatiku, senyum di bibirku mendadak hilang tergantikan dengan air mata yang entah sejak kapan menetes. Mataku mengeluarkan air mata tanpa bisa aku kendalikan, tanganku seketika bergemetar melihat pemandangan di depanku.
Aku menatap Adrian tidak percaya, namun Adrian hanya diam tidak berbicara sedikitpun. Meski begitu, Adrian masih tetap berada di sampingku dan mengenggam erat tanganku.
"Ayah...," lirihku, air mata mengalir lebih deras dari sebelumnya.
Aku menangis histeris saat melihat kondisi ayah yang terbaring lemas tidak berdaya. Seluruh tubuh ayah dipenuhi berbagai kabel dengan berbagai warna juga. Bahkan, di mulut ayah ada sebuah alat yang kutahu adalah alat bantu pernapasan.
"Ayah bagaimana?" Aku menangis histeris, Adrain memeluk kepalaku mencoba menenangkan aku.
Kondisi ayah benar-benar parah, aku tidak menyangka karena menolongku dari tembakan ayah akan separah ini. Jika aku tahu semua akan menjadi seperti ini, aku tentu saja akan memilih bertahan dengan siksaan Anggi daripada aku melihat ayah terluka separah ini.
"Sebenarnya, yang mendonorkan sumsum tulang belakang untuk kamu juga Ayah."
Aku main histeris saat Adrian mengatakan kebenatan itu, aku menangis menyalahkan diriku. Jika bukan karena diriku ayah tidak mungkin akan seperti ini, aku menangis histeris hingga aku merasa tubuhku lemah.
"Om Juna tolong," teriak Adrian dari dalam.
Aku melemas tidak dapat melakukan apapun, aku hanya mendengar ucapan dari om Juna dan Adrian yang berusaha membawaku kembali ke ruang rawat. Semua orang panik dan semua orang cemas dengan kondisiku.
Karena melihat kondisiku yang berkemungkinan akan menurun, tanter Erly meminta dokter menyuntikan obat penenang padaku. Tubuhku hanya terdiam lemas terbaring di atas tmranjang, namun hati dan perasaanku tidak bisa tenang begitu saja.
Adrian terus memelukku mencoba menenangkanku, semua orang mencoba meyakinkanku jika ayah akan segera sadar dan pulih membuat perasaanku semakin sakit.
"Ayah," gumanku lirih.
"Sabar nak," ucap tante Erly mencoba membuatku lebih tenang.
Pandanganku kini kosong, terlalu banyak hal yang membuatku merasa seakan aku sudah seperti orang gila. Aku bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih, aku bingung harus bersikap seperti apa saat ini.
Aku tidak menyangka, jika kejadian malam itu akan berakibat sefatal ini. Jika tahu, aku lebih memilih mati ditangan Anggi daripada melihat orang yang aku sayangi menderita.
"Luna sayang, kamu yang tenang. Om sudah menangkap semua orang yang jahatin kamu sama Ayah, om janji akan buat mereka dihukum dengan hukuman yang sentimpal. Kamu percaya sama om," ucap om Juna yang mencoba meyakinkanku dan membuatku sedikit lebih tenang.
Aku menangis dalam diam, "janji ya Om," ucapku lemah.
"Janji," ucap om Juna yakin.
Aku mengambil napasku dalam, mencoba lebih menenangkan diriku. Tubuhku memang sudah tenang karena obat itu, tapi jiwa dan perasaanku sesungguhnya masih sakit. Fisik memang bisa terobati, tapi jiwa dan perasaan yang sakit belum tentu bisa diobati.
"Tenang ya Luna," ucap Adrian masih menggenggam tanganku.
"Adrian, kamu jagain Luna. Om ada pertemuan buat kasus ini dan tante Erly akan jaga om Raka," perintah om Juna pada Adrian.
"Siap Om, Adrian pasti akan jagain Luna."
"Om jangan cemas, Luna akan baik-baik aja. Om fokus sama kasus ini, hukum mereka seberat mungkin. Luna gak akan biarin mereka lolos dengan mudah karena sudah menyakiti ayah," ucapku dengan menekankan setiap kata.
Om Juna dan tante Erly berpamitan meninggalkan aku dan Adrian. Untungnya, Adrian terus meyakinkanku untuk menyerahkan semuanya pada om Juna. Aku sedikit lebih tenang berkat Adrian, mungkin jika tidak bertemu Adrian hidupku akan kacau.
"Kamu ingat Rara?" tanya Adrian tiba-tiba."
"Adik kamu?" tanyaku memastikan setelah beberapa detik berpikir.
Beberapa kali Adrian memang sering menceritakan kepadaku tentang adiknya yang masih duduk di kelas 4 SD, aku juga beberapa kali melihatnya melalui foto yang ditunjuk oleh Adrian.
"Iya, jadi besok dia mau ke sini. Kamu masih mau 'kan ketemu sama dia?"
"Tentu," ucapku tersenyum kecil.
Berbeda dengan Adrian yang tersenyum lebar, lalu mengusap rambutku lembut. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Rara secara langsung, aku yakin ia akan menyenangkan dan aku juga yakin bisa akrab dengannya.
"Aku mau minum," ucapku yang langsung dituruti oleh Adrian.
Tenggorokanku kering karena berteriak dan menangis membuatku merasa perih saat menelan saliva. Adrian memberikanku botol air minum yang tadi ia ambil dan sudah ia buka tutupnya, aku meminum air tersebut menghilangkan keringnya tenggorokanku tadi.
"Udah?" tanya Adrian saat aku menyodorkan kembali botol air minum.
"Iya," jawabku singkat.
"Kamu gak mau cuci muka?" tanyanya kepadaku, wajahku sudah pasti membengkak karena aku menangis tadi. Aku mengangguk mengerima tawaran dari Adrian, mataku menatapnya dalam.
Gak kuat jalan," ucapku menjelaskan.
Adrian berdiri dari duduknya dan menbuka lemari, dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah baskom kecil. Ia membawa baskom itu menuju toilet, suara air keran dibuka terdengar.
Tak lama, Adrian membawa kembali baskom tersebut dengan air yang terisi di dalamnya.
"Ini baskom buat kamu cuci muka, lapnya pake handuk ini. Basahin dikit," ucap Adrian memberikan contoh dengan mencelupkan ujung handuk ke dalam baskom.
Aku mengikutinya dan mulai membersihkan wajahku. Cukup segar rasanya, membuatku ingin mandi namun tidak bisa.
Aku terus membersihkan wajahku, hingga tanpa aku sadari dari tadi Adrian terus memandangi wajahku.
"Aku cantik ya?" tanyaku percaya diri.
"Pede banget sih," ucap Adrian dengan cengirannya.
"Oh, jadi aku gak cantik. Ya udah," balasku dengan nada yang seakan-akan kesal.
"Iya-iya, kamu cantik kok. Cantik banget," ucap Adrian yang bagiku terdengar dilebih-lebihkan.
"Tuh 'kan, mujinya kepaksa."
"Ya ampun, aku jujur padahal."
"Tenang, aku percaya kok. Karena kayaknya cuma kamu yang bisa lihat kecantikanku," ucapku mengikuti kalimat yang pernah ia ucapkan dulu."Pede banget sih," ucap Adrian dengan cengirannya.
"Oh, jadi aku gak cantik. Ya udah," balasku dengan nada yang seakan-akan kesal.
"Iya-iya, kamu cantik kok. Cantik banget," ucap Adrian yang bagiku terdengar dilebih-lebihkan.
"Tuh 'kan, mujinya kepaksa."
"Ya ampun, aku jujur padahal."
"Tenang, aku percaya kok. Karena kayaknya cuma kamu yang bisa lihat kecantikanku," ucapku mengikuti kalimat yang pernah ia ucapkan dulu.
"Untung ya aku sayang," ucap Adrian lalu mencubit pipiku.
Aku mengerucutkan bibirku sebal, padahal Adrian tahu aku paling benci jika ada yang mencubit pipiku.
"Ih, sakit."
"Mana yang sakit?" tanya Adrian, aku menunjuk pipiku yang terlihat memerah dari cermin yang aku pegang.
Cup.
Tiba-tiba Adrian mencium pipiku membuatku terkejut sekaligus malu. Adrian juga terlihat malu dengan apa yang barusan ia lakukan, dasar Adrian tidak kusangka ia malah memgambil kesempatan melakukan itu.