Setelah melewati malam yang cukup berat bagiku semalam, karena tiba-tiba aku drop. Aku merasa pagi ini sudah lebih baik, malah aku sudah bisa berjalan ke toilet sendiri dan duduk di kursi sofa tanpa bantuan orang lain.
Aku sendirian pagi ini, setelah ayah pergi berkerja. Tante Erly awalnya akan ke sini untuk menemani dan menjagaku, namun kutolak dengan alasan Adrian yang juga akan datang nanti siang.
Beberapa menit lalu juga Adrian baru menelponku dan mengatakan akan pergi ke sekolah untuk mengambil undangan perpisahan dan juga membayar biaya perpisahan. Semalam, ayah juga menitipkan uang untuk biaya perpisahanku pada Adrian.
Mungkin Adrian akan menghabiskan waktu yang sedikit lebih lama, karena jika berdasarkan urutan absen namaku sedikit berada ditengah-tengah. Berbeda dengan Adrian yang berada di awal.
Infusku juga sudah dicabut beberapa saat lalu, karena kondisiku yang cukup membaik dokter mengatakan besok aku bisa pulang tetapi hari ini harus tetap menginap karena masih dalam masa pengawasan.
Itupun, aku harus memohon dengan tante Erly untuk berbicara dengan dokter yang kebetulan juga sahabatnya saat kuliah dulu. Akhirnya, dengan bantuan tante Erly aku bisa pulang lebih cepat, meskipun dengan syarat agar aku tetap beristirahat total dan agar tidak terluka.
Aku sedikit bingung dan ingin tertawa, harus menjaga diri agar tidak terluka lagipula sebenarnya siapa juga yang ingin terluka. Tapi, jika sampai terluka juga mungkin karena tidak sengaja mana mungkin ada orang yang sengaja terluka.
Drt..... Drt.....
Ponsel di genggamanku tiba-tiba berdering, lalu aku melihat ada sebuah pesan masuk dan membukanya.
09.16
Luna, ini gue Anggi. Gue denger lo masuk rumah sakit, boleh gue dateng?
Aku terdiam beberapa saat membaca pesan yang masuk diponselku dengan bingung, karena bagaimana dia tahu aku dirawat di rumah sakit.
09.17
Tenang aja, gue datang buat minta maaf sama lo.
Beberapa kali aku membaca ulang pesan dari Anggi, berpikir apakah ini arti perkataan tante Erly bahwa Anggi akan meminta maaf adalah hari ini. Tanpa pikir panjang, aku membalasnya setuju.
09.20
Kbrin aja klo sdh smpai, nnti aku ke dpn
Aku memasukkan ponselku ke dalam kantung saku bajuku setelah mengetikkan pesan pada Anggi, lalu berjalan ke toilet untuk membasuh wajahku dan sedikit bersiap agar terlihat lebih rapi.
"Sabun wajah," ucapku membuka tas kecil dan merogoh ke dalamnya.
Aku mencari sabun untuk mencuci wajahku dari dalam pouch yang dibawa oleh ayah semalam, aku teringat untuk menitipkan pada syah agar dapat mengambil beberapa keperluanku semalam.
Setelah mendapatkan sabun untuk mencuci wajah, aku melangkahkan kakiku langsung ke kamar mandi. Air mengalir dari washtafel yang aku hidupkan, aku keluarkan sedikit sabun pencuci wajah lalu mengusapkannya ke wajahku secara merata.
"Aw," ringisku saat tidak sengaja air dari sabun pencuci wajah tidak sengaja masuk ke mataku.
Karena merasakan perih, aku segera membasuh wajahku dengan air. Syukurnya aku segera merasa lebih baik setelah membasuh wajahku, setelah mencuci wajahku, aku mengeringkan dengan tisu dan menuangkan sedikit dan memakaikannya pada wajahku. Aku juga mengambil liptint, menutupi wajahku yang sebenarnya masih terlihat pucat.
Ponselku berdering beberapa saat kemudian, dengan masih mengenakan pakaian pasien aku berjalan ke depan rumah sakit menjemput Anggi yang baru saja tiba.
Mungkin ia akan tersesat jika masuk ke dalam sendirian, apalagi ruang rawat inapku berada dipercabangan yang sedikit membingungkan untuk orang yang baru pertama kali datang.
Dari kejauhan, aku sudah dapat melihat Anggi yang berdiri.
"Anggi," panggilku saat sudah berada tidak jauh darinya.
Anggi tersenyum padaku, lalu mendekatiku. Aku menyapanya ramah, kali ini aku dapat melihat Anggi yang sangat berbeda. Ia banyak tersenyum dan lebih ramah padaku.
"Lun, gimana keadaan lo?" tanya Anggi menatap dalam ke arahku.
Sebuah senyuman diukir dengan jelas di sudut bibirku, "gue udah lebih baik kok," ucapku, sengaja aku tidak ingin membuat Anggi menjadi merasa tidak enak karenaku.
Anggi menunjukkan sirat kesedihan dari wajahnya, "maaf ya Lun, gue gak berniat untuk ngelakuin hal itu. Gue emang salah," ucap Anggi lalu terduduk.
Mataku menatapnya sedih, aku ikut duduk lalu memeluknya, memintanya untuk mengakhiri tangisannya dan berdiri.
"Udah jangan nangis ya, gue udah maafin lo. Lagi pula gue tahu kok kalau lo sebenernya gak sengaja," ucapku berusaha menenangkan Anggi yang masih menangis.
Aku lebih merasa tidak enak saat beberapa orang mulai memandangi kami, "udah dong, gak enak di lihat orang. Dikira lo abis diapa - apain lagi," ucapku dengan tawa kecil masih berusaha menghibur Anggi.
"gue ngerasa bersalah banget," ucap Anggi membuatku semakin merasa terenyuh.
Aku tidak menyangka dari sifat Anggi yang selama ini aku kenal, aku baru melihat sisinya yang seperti ini.
"gue udah maafin lo kok," balasku lagi mencoba membuat Anggi lebih tenang.
Syukurnya Anggi sudah lebih tenang setelah beberapa saat aku meyakinkannya jika aku sudah memaaffkannya, "makasih Luna," balas Anggi lalu ia memelukku erat, aku membalas pelukannya juga tidak kalah erat.
Kami mengobrol singkat dan benar saja Anggi meminta maaf kepadaku atas perlakuannya. Ia juga mengatakan jika ia sudah menyesal atas semuanya yang tentu saja kumaafkan karena aku yakin tidak mudah baginya meminta maaf kepadaku begitu saja apalagi secara langsung.
"Lo udah makan belum? Mau makan bareng?" tanya Anggi tiba - tiba, aku tersenyum kecil lalu mengangguk setuju.
"Ada kantin yang kata Adrian di sini makananya enak banget," ucapku cepat, aku senang sekali aku memang berencana untuk mencicipi makanan dari kantin yang kata Adrian enak itu.
Beberapa hari ia ke sini, ia selalu membeli makanan dari kantin itu. Sedangkan aku, hanya bisa mencicip sedikit karena harus memakan makanan yang diberikan oleh rumah sakit, meskipun sebenarnya makanan dari rumah sakit juga rasanya lumayan.
"Boleh tuh," jawab Anggi, aku senang ia tidak menolak setidaknya aku tidak harus makan sendirian di kantin.
"Tapi bentar deh," ucap Anggi tiba - tiba, aku menatapnya bingung.
"Ada apa?" tanyaku melihat Anggi yang tersenyum canggung.
"Oh iya, sebenarnya gue bawa sesuatu tapi buat lo, tapi gue tinggalin di mobil. Lo mau gak ikut gue sebentar ke mobil, di situ kok."
"Ih, lo kok bawa gituan. Gak perlu harusnya, ngerepotin."
"Gak apa - apa, hitung - hitung sebagai permintaan maaf gue ke lo. Mau ya," ucap Anggi setengah memohon membuatku menjadi merasa tidak enak untuk menolak, lagian ia sudah menyiapkannya setidaknya aku harus menghargai itu.
"Di sana 'kan?" tanyaku menunjuk ke sebuah mobil yang mirip dengan apa yang disebutkan oleh Anggi.
Anggi tersenyum lebar, "iya di sana," jawab Anggi menunjuk kembali ke arah sebuah mobil.
Aku menatap sebuah mobil hitam yang ditunjuk oleh Anggi, letaknya tidak begitu jauh dari tempat kami berdiri
"Tidak jauh juga," ucapku dalam hati setelah melihat di mana lokasi Anggi memarkirkan mobilnya.
"Ayo," jawabku bersemangat, Anggi juga tersenyum lebar terlihat bersemangat sama sepertiku.
Anggi berjalan lebih dulu dan aku mengikutinya. Dari belakang, aku melihat Anggi yang sedang membuka pintu belakang.
"Karena hadianya buat lo jadi lo yang ambil ya Lun, itu di sana. Mau 'kan?" tanya Anggi menatap ke dalam mataku, aku mengangguk tidak mencurigai apapun.
Perasaanku malah tidak merasakan apapun, aku malah merasa senang melihat Anggi yang sudah berubah.
Aku tersenyum kecil lalu melihat arah yang ditunjuk oleh Anggi, "di mana?" tanyaku bingung.
"Lo masuk deh, gak keliatan kalo dari sini. Ayo sini," ajak Anggi memanggilku untuk medekatinya
Tanpa merasa aneh, aku membuka pintu tengah mobil dan aku mengikuti ucapannya dan masuk lebih dulu.
Namun, saat Anggi masuk aku terkejut karena ia langsung mengunci pintu mobil. Lalu, dari kursi belakangkh aku melihat dua orang dengan tubuh kekar tersenyum yang terlihat jahat padaku.
"Akhirnya, susah banget buat bawa lo keluar. Selamat datang di pembalasanku," ucap Anggi lalu tersenyum sinis.