BAB 36

1430 Words
"Anggi apa - apaan ini?!" teriakku berusaha melepas saat dari belakang ada orang yang berusaha memegangi tanganku. Aku terus saja meronta, tanganku ditarik dengan keras sampai aku merasa sakit karena cengkraman di tanganku terasa sangat kencang. Melihat aku seperti itu Anggi terlihat senang, ia bahkan tersenyum lebar melihat aku merasa menderira. "Diam lo!" sanggah Anggi berusaha menutup mulutku, ia menatap wajahku dengan senyum penuh kepuasan setelah melihatku yang tengah panik dan terus memberontak. "Tolongggg!!!" teriakku sekuat tenaga, aku bahkan memberontak mencoba untuk melepaskan pegangan dari tanganku. Teriakan dari mulutku tidak membuat Anggi terusik sedikitpun, bahkan suaraku semakin serak dan tenggorokanku semakin sakit karena terus berteriak. Seorang pria dari belakang mulai mengikat tanganku, dibantu oleh Anggi yang memegangi tubuhku menahan agar aku tetap diam. Meskipun aku sudah meronta sekuat tenaga, kekuatanku hanya hilang karena kalah jauh dari mereka. Apalagi dengan kondisiku yang baru saja membaik. "Lo kenapa lakuin ini!" teriakku sambil masih berusaha melepas ikatan yang kencang di pergelangan tanganku. Ikatan ditanganku terasa kencang, menggerakkan tanganku sedikit saja aku tidak nampu. Teriakanku juga teredam saat Anggu mengeluarkan sebuah lem hitam besar dan menempelkannya di mulutku. Air mata mengalir melewati pipiku, aku menangis tidak bisa menahan sakit yang aku rasa. "Diam! Ini semua karena lo, kalo bukan gue gak bakal keluar dari sekolah dan papa gue gak bakal jadi buronan kayak sekarang." Anggi menamparku berkali-kali membuat pipiku tidak hanya terasa panas tapi sudah sangat sakit. Aku dapat merasakan pipiku terluka karena terkena goresan luka dari kuku Anggi. "Lo udah ngancurin hidup gue, jadi jangan harap hidup lo bakal sempurna. Lo harus nerima pembalasan dari gue," ucap Anggi dengan tawa lebarnya, ia bahkan melihat senang ke arahku, matanya menyiratkan kebencian yang mendalam.. Tawa Anggi benar-benar terdengar menakutkan, seperti tidak ada batasan lagi yang mampu menahannya. Tiba-tiba mobil berhenti, pintu tempat Anggi duduk dibuka. Sosok lelaki paruh baya yang terlihat tidak asing muncul dari balik pintu. Senyuman terpancar dari wajah pria itu, membuatku semakin was-was. Aku tidak tahu apa yang akan pria itu lakukan kepadaku, tatapannya sungguh mengerikan membuat diriku semakin was - was. "Bawa dia keluar," ucap pria yang merupakan papa Anggi. Anggi keluar lebih dulu, lalu pindah ke samping tepat dimana pintuku berada. Ia menarikku keluar. Di luar aku dapat melihat beberapa pria lagi dengan badan yang sama besar dengan pria yang ada di mobil. Pria itu membantu Anggi menyeretku masuk ke dalam sebuah rumah tua. Kondisi rumah ini cukup hancur dengan atap yang sudah jatuh ke bawah karena aku dapat melihat banyak pecahan genting. "Ikat dia di kursi," perintah papa Anggi. Aku meronta saat mereka mencoba memindahkan ikatanku di kursi. Tapi, tetap saja aku kalah dengan mereka yang memiliki kekuatan lebih besar dariku. "Kalian mau bermain dengan gadis cantik ini?" tanya papa Anggi dengan senyum lebar pada pria-pria yang tengah mengelilingiku. "Kalau boleh, kami mau bos," ucap anak buah Anggi senang. Aku semakin ketakutan saat melihat wajah mereka, berbeda dengan Anggi yang tertawa keras seperti sedang menyaksikan pertunjukan yang menyenangkan. "Kalian bisa lakukan setelah saya membalas dendam pada pak Arjuna," ucap papa Anggi menatapku dengan penuh dendam, wajahnya juga terlihat sangat kejam. Anggi dan papanya duduk di sebuah kursi menghadapku. Aku ingin batuk namun tertahan oleh lem yang melekat di area mulutku, susah payah aku mencoba melepaskannya tapi tetap tidak bisa. "Papa, aku boleh bermain-main dengan gadis jahat ini?" tanya Anggi dengan nada memohon. Padahal, sebenarnya jika tidak dalam kondisi sekarang siapapun yang mendengar nada bicara Anggi dapat menyimpulkan jika dia anak gadis yang lucu tapi karena kondisi sekarang bagiku suara Anggi sangat mengerikan. "Boleh sayang, lakukan apapun yang kamu mau. Tapi, jangan bunuh dia, belum saatnya." Aku melihat jelas senyum di wajah Anggi, ia bahkan berjalan mendekatiku dengan senyuman sinisnya itu. "Mari kita bermain Luna sayang," ucap Anggi dengan senyum lebarnya.Anggi dan papanya duduk di sebuah kursi menghadapku. Anggi menarik lem yang membungkam bibirku, "lepasin gue!" teriakku sekuat tenaga. "Lo mau 'kan main sama gue?" tanya Anggi, membuatku langsung menggeleng. Tangis tidak berhenti keluar membuat mataku terasa panas. "Lo gak mau?" tanya Anggi lagi dengan ekspresinya yang terlihat kesal. "Yah, gimana dong gue mau main sama lo tapi," ucap Anggi memelintir rambutku dengan tangannya membuatku meringis sakit. Anggi terlihat sangat puas setiap aku meringis dan menderita, ia terus memainkan rambutku dan sesekali menjambaknya. Erangan - erangan terus aku keluarkan, sungguh rasanya jika kulit kepalaku bisa lepas dari kepalaku sudah jelas pasti akan lepas dari tadi. Aku menangis menahan rasa sakit, "tolong lepasin gue!" ucapku mencoba meronta, tenggorokanku juga terasa sakit karena berteriak. "Lo mau gue gimana sayang?" tanya Anggi yang seakan mengerti tatapan kemarahan di mataku. "Pa, kayaknya kalau kita kirim mayatnya ke keluarga Om-nya itu bakal seru deh. Kita masukin ke dalam karung," ucap Anggi memberi ide gila kepada papanya, aku langsung memberontak mencoba untuk menyelamatkan diriku sendiri. Papa Anggi terlihat berpikir serius, membuatku semakin bergidik. "Jangan sayang, balas dendam terbaik adalah dengan menyakiti secara perlahan." Anggi tertawa puas, ia menarik rambutku kasar. Membuatku meringis karena merasa sakit, mungkin ranbutku sudah banyak rontok karena kasar tarikannya. "Ayo kita mulai permainan yang menyenangkan ini," ucap Anggi menarik rambutku ke belakang. Aku terus menangis saat tatapan Anggi memandangku dingin, tatapan matanya benar - benar berbeda dengan tatapan saat ia mendatangiku dengan tangisan saat di rumah sakit. Mengapa aku sebodoh ini untuk mencoba percaya pada seseorang, padahal kupikir semua akan baik - baik saja saat permintaan maaf diucapkan oleh Anggi. Aku juga bahkan berpikir untuk meminta maaf dan akan membicarakan masalah itu kepada om Juna. Tapi, siapa sangka aku malah berada di sini dengan tangan dan kakiku yang terikat kencang. Upayaku untuk mengakhiri semuanya dengan baik seakan ditolak dengan mentah - mentah oleh mereja. Lalu, harus bagaimana lagi aku menghadapin "Diapain ya enaknya," ucap Anggi dengan senyum sumringah, aku tidak tahu hal nekat apa lagi yang akan dilakukan oleh Anggi. Anggi menarik kursi lalu duduk dihadapanku, aku menatapnya lemah aku tidak ingin membuatnya semakin terdulut dengan emosi. "Lo tau gak, gue benci banget sama lo kenapa?" tanya Anggi memulai berbicara, membuatku terdiam. Aku tidak tahu mengapa semua orang termasuk Anggi membenciku, bahkan aku merasa aku tidak sama sekali menganggu mereka. Jangankan menganggu, berbicara saja tidak. "Karena lo itu adalah lo, gue paling gak suka sama cewek sok kuat kayak lo!" ucap Anggi dengan nada tinggi dan menyinyir. Aku sendiri bingung harus bersikap seperti apa, rasanya aku tidak pernah terlalu ikut campur dalam masalah apapun sedangkan orang lain saja tidak banyak yang berkomunikasi denganku. "Apa itu salah gue?" tanyaku pada Anggi, jujur saja, jika itu salahku apa yang memangnya sudah aku perbuat. "Iya, itu salah lo! Gue benci banget sama lo!" saut Anggi dingin, ia melihatku yang terbatuk beberapa kali. Senyum sinis keluar dari sudut bibir Anggi, "kenapa?" tanyanya menatap mataku, tangan Anggi mencengkram kuat daguku. "Lepasin gue," ucapku sekali lagi namun kekuatanku sudah banyak terkuras. Aku terus menggelengkan kepalaku mencoba melepaskan cengkraman tangan Anggi dari pipiku, rasanya sakit karena Anggi mencengkram terlalu kencang pipiku. "Kenapa? Sakit? Hahaha ... lo itu penyakitan emang dan itu bukan salah gue. Lo yang penyakitan," ucap Anggi yang menurutku bukan lagi ucapan karena rasa kesal tapi sudah menjadi sebuah hinaan. Penyakitan? Siapa yang ingin penyakitan, jika bisa memilih juga tidak ada orang yang ingin sakit. Tapi, ini dijadikan suatu bahan u tuk menghina dan membully secara verbal. "Lo gak berhak buat ngomong kayak gitu!" balasku, lalu aku terbatuk beberapa kali. Napasku mulai terasa berat, udara di dalam ruangan ini membuatku semakin sulit bernapas apalagi aku merasakan debu yang bisa kuhirup di sini. "Terus, masalah buat gue!" teriak Anggi penuh emosi. Aku menarik napas dalam, "lo itu bukan manusia!" teriakku dalam. Wajah Anggi langsung berubah, ia menatap mataku dalam senyum sinis ia tunjukkan kepadaku. Tangannya meraih daguku dan mencengkramnya kuat, "gue bukan manusia?" ucap Anggi menggulangi ucapanku. Ia melepaskan kasar cengkramannya, "kalo gue bukan manusia, lo sudah gak akan ada di dunia ini lagi. Lo udah jadi mayat dalam karung," ucap Anggi dengan tawa yang menggelegar. Jantungku berdegup dengan kencang, air mata turun dengan derasnya melewati pipiku. Aku sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Anggi hingga ia bisa berbuat kriminal sejahat ini, padahal aku tidak pernah mengusiknya dan menahan semua hinaan yang ia lontarkan. Lagi pula, kami ini adalah anak SMA yang sebentar lagi akan lulus. Tapi, ternyata sifat Anggi yang seperti ini membuat Salsa bergidik ngeri. Ia tidak menyangka jika Anggi memiliki pikiran seperti itu, pikiran yang harusnya tidak ia miliki. Sebuah tamparan melayang dipipiku, rasanya panas dan sakit di saat bersamaan. "Diam jal@ng," ucap Anggi dengan nada kasar. Setelah itu, aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan oleh Anggi, karena yang selanjutnya aku lakukan adalah mengatur napasku yang terasa semakin sesak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD