BAB 5: Dia, Leonardo

1734 Words
Rosea memeluk kotak makanan yang di berikan oleh Prince, ada sepercik kesenangan yang menyentuh hatinya memikirkan Prince dengan tulus menyiapkan makanan berwarna merah muda untuknya. “Aku akan mengembalikan kotak makananmu lagi nanti. Aku akan membalasnya, kamu suka makanan apa?” tanya Rosea. Mata Prince berbinar senang, “Aku suka makanan laut dan kue keju. Jadi, mulai besok kita akan saling bergantian memberikan makanan?” tanyanya dengan polos. Prince berpikir saling membalas makanan layaknya surat menyurat. Prince tidak tahu jika Rosea akan membalas kebaikan Prince hanya sebagai formalitas saja. Perhatian Rosea beralih ke sisi, melihat Adam yang keluar dari mobil. Rosea menatap jam di tangannya dan menyadari bahwa dia sudah lebih dari tiga menit bicara dengan Prince. Rosea segera berdiri, “Om” sapa Rosea dengan canggung. “Maaf saya tidak bermaksud mengganggu perjalanan Anda dengan putera Anda,” tambah Rosea lagi langsung menjelaskan. Adam memasang wajah datar tidak bersahabat. “Saya sopir pribadi Prince. Panggil saya Adam.” Rosea tertunduk, pantas Prince sangat tidak mirip sedikitpun dengan Adam. “Saya Rosea, panggil saja Sea,” kata Rosea. Samar Adam mengangguk dan masih memasang ekspresi datarnya. “Jika Anda memiliki waktu. Ayah Prince ingin bertemu,” ucap Adam tanpa basa-basi. Bibir Rosea mengatup rapat, sebuah kebingungan terlukis di matanya. Untuk apa ayah Prince ingin bertemu?. “Benarkah Adam? Sea, ayo bertemu ayah,” ajak Prince ikut angkat bicara setelah cukup lama diam dan mendengarkan percakapan Adam bersama Rosea. “Tapi, untuk apa?” tanya Rosea bingung. “Hanya ingin mengenal Anda,” jawab Adam. Jawaban Adam yang mencurigakan membuat Rosea takut. “Maaf sepertinya tidak bisa, saya sibuk dan harus segera pulang,” tolak Rosea mendadak gagap. Rosea merasakan ada sesuatu yang aneh, sangat aneh baginya karena dia dan Prince kemarin hanya saling menyapa dan kini Prince memberikan makanan, lalu ayah Prince ingin bertemu. Rosea patut curiga. Mendengar penolakan Rosea, Adam mendekat beberapa langkah dan tertunduk, pria itu segera berkata, “Sikap Anda kepada Prince cukup mencurigakan. Patut di pertanyakan, kenapa anak kecil seperti Prince bisa akrab dengan orang asing apalagi dia sudah dewasa. Jika Anda menolak tawaran bertemu dengan ayah Prince, Anda akan semakin menambah kecurigaan kami. Jika Anda orang baik-baik, ikutlah dengan kami. Tapi, jika Anda menolak, saya bisa memastikan bahwa Anda akan di terror dalam waktu beberapa minggu ke depan.” Wajah Rosea memucat kaget mendengarkan apa yang Adam katakan cukup menakutkan. “Ta,tapi untuk apa kami bertemu?” gagap Rosea. “Untuk memastikan apakah Anda orang baik atau bukan. Jika Anda merasa Anda orang baik tanpa memiliki rencana apapun kepada Prince, ikuti saja keinginan ayah Prince.” “Baiklah, saya akan ikut,” jawab Rosea dengan napas tertahan. Andai Rosea tahu bahwa orang tua Prince adalah orang yang menakutkan, mungkin dia tidak akan pernah mau menyapa dan berbicara dengan Prince. *** Rosea duduk dengan gelisah di sisi Prince, beberapa kali dia mengusap telapak tangannya yang kini berkeringat dingin karena takut. Sepanjang perjalanan Rosea tidak dapat berpikir baik, kepalanya di penuhi oleh pikiran yang buruk dan kecurigaan takut terjadi sesuatu kepadanya. “Sea, minumlah,” Prince memberikan sebuah minuman kotak pada Rosea. “Terima kasih” Dengan cepat Rosea mengambil minuman itu dan menegaknya, mendadak tenggorokannya menjadi kering karena gelisah. Adam yang menyetir di depan sesekali melihat ke belakang dan memperhatikan Rosea, sikap waspada Adam yang mengintimidasi membuat Rosea kian di landa ketakutan. “Prince, apa kamu tahu kenapa ayah kamu ingin bertemu aku?” Rosea mulai mencari tahu. “Memang ayah seperti itu. Dia selalu ingin ikut berkenalan dengan teman aku.” “Memangnya kita temanan?” tanya Rosea spontan. Kebingungan langsung terlihat jelas di wajah Prince yang tidak tahu harus menjawab apa. Anak itu terdiam dan hanya bisa meremas celana pendek yang di kenakannya. Adam yang sejak tadi terus memperhatikan mulai merasakan situasi di mana Prince mungkin akan menangis karena tidak bisa menjawab. “Saya pikir kalian berteman,” Adam menjawab. “Ya, tapi apa Prince tidak malu berteman orang dewasa seperti saya?” tanya Rosea lagi. “Tidak,” jawab Prince dengan cepat penuh keyakinan. Rosea mengangkat minuman kotak di tangannya dan memberi isyarat kepada Prince untuk untuk bersulang. “Cheers.” Bibir mungil Prince perlahan tersenyum, anak itu membenturkan kotak minumannya dengan Rosea. Prince sering melihat saat ayahnya berbicara akrab dengan orang-orang asing, mereka terlihat senang saat bersulang minuman. Mungkin itu juga yang Rosea pikirkan saat bisa berteman dengannya. Itulah yang Prince pikirkan. Tidak berapa lama mereka sampai di kantor Leonardo, Rosea mengedarkan pandangannya melihat bangunan di depannya yang ternyata kantor keuangan. Adam membawa mobilnya menuju parkiran bawah tanah. Rosea dan Prince segera keluar. “Ayo masuk,” Prince menarik Rosea masuk melalui pintu samping kantor. “Bagaimana dengan Adam?” Rosea melihat ke belakang dan tidak melihat keberadaan Adam. “Dia akan menyusul.” Rosea segera mengikuti langkah Prince, pandangan Rosea mengedar melihat ke sekitar dan memperhatikan nama kantor tempat bekerja ayah Prince sangat familiar untuknya. Sesaat kepala Rosea tertunduk melihat ke bawah, Rosea baru tersadar jika kini dia memakai sandal jepit yang serharga di bawah sepuluh ribu, sandal yang dia kenakan terlihat sangat kontras dengan lantai marmer yang di pijaknya. Beruntung Rosea memakai dress dan memakai make up, setidaknya rasa malunya bisa sedikit tertutupi. “Ngomong-ngomong, ayah kamu kerja di sini?” tanya Rosea penasaran. Kedatangannya dengan Prince mendapatkan banyak perhatian orang, hebatnya beberapa karyawan yang bekerja tersenyum akrab ke arah Prince. Dengan polosnya Prince mengangguk. “Apa boss perusahaan tidak marah jika kita masuk sembarangan ke kantor di jam kerja?” “Aku sudah sering datang ke sini. Di sini aku juga sering bermain. tidak ada yang marah.” “Wah, boss ayah kamu baik sekali.” “Ayahku sangat bekerja keras, karena tidak ada yang memarahi ayah,” cerita Prince dengan bangga. “Ooh.. itu artinya ayah kamu karyawan yang teladan,” jawab Rosea penuh kekaguman. Suara dehaman kecil Adam yang kini berada di belakang membuat Rosea kembali menegakan tubuhnya. Adam menyembunyikan senyuman gelinya karena Prince tidak tahu jabatan ayahnya sebagai apa, padahal Leonardo pemilik saham terbesar di perusahaan. Bisa di katakan, Leonardo sebagai bossnya di sini. “Mari,” Adam segera berjalan paling depan memandu Prince dan Rosea menuju lift. Kebingungan Rosea kian bertambah karena Adam pergi menuju ke lift khusus pimpinan. Rosea segera melangkah masuk dan berdiri di samping Prince. “Apakah kita tidak salah masuk lift?” tanya Rosea khawatir. “Tidak ada yang salah,” jawab Adam. Tidak berapa lama lift berhenti dan terbuka begitu mereka sudah berada di lantai empat. “Ayo Sea! Terima kasih sudah mengantar kami Adam,” Prince langsung menarik tangan Rosea untuk keluar lift, satu tangan kecilnya melambai kepada Adam yang kini kembali pergi ke bawah. “Sea lihat itu. Aku sering bermain di sini.” Prince menunjuk sebuah ruangan berpintu kaca yang menunjukan ada begitu banyak maianan anak yang tersimpan di dalam layaknya sebuah taman bermain. Rosea hanya bisa mengusap dagunya dan berpikir keras dengan apa yang di lihatnya. Rosea tidak mengerti sama sekali, bagaimana bisa kantor keuangan memiliki ruangan khusus bermain? Derap langkah seseorang terdengar di lantai. “Prince,” Leonardo memanggil. Prince langsung menengok dan melihat Leonardo dengan senyuman lebar dan mata berbinar. “Ayah,” panggil Prince. Langkah Leodarno terhenti, namun perhatiannya langsung tertuju pada Rosea yang kini berdiri di sisi puteranya. Pria itu menyembunyikan kekagetannya karena teman yang Prince ceritakan semalam ternyata bukan anak kecil, melainkan wanita dewasa. Rosea menarik napasnya dalam-dalam, wanita itu terlihat kaget melihat sosok pria yang sudah di panggil ‘ayah’ oleh Prince. Wajah Rosea memerah karena terpesona, namun di detik selanjutnya wajahnya berubah pucat seakan seluruh darah di tubuhnya membeku ketika tidak sengaja pandangan mata mereka bertubrukan. Mendadak saja rasa percaya percaya diri dan keberanian Rosea hilang di bawah tatapan tajam milik Leonardo yang secara terang-terangan penuh penilaian. Bibir Rosea mengatup rapat, lidahnya terasa kelu tidak memiliki keberanian untuk menyapanya lebih dulu. Ada atmosfer yang begitu kuat Rosea rasakan ketika dia berhadapan dengan Leoardo. Sebuah perasaan terintimidasi, takut dan tertekan langsung Rosea rasakan dalam waktu bersamaan. “Ayah, ini temanku. Sea ini ayahku yang tadi kamu tanyakan,” Prince manarik tangan Rosea agar semakin mendekati ayahnya. Prince ingin Rosea memperkenalkan dirinya sendiri seperti saat Prince memperkenalkan diri di depan kelas. Rosea tertunduk malu karena hanya dengan diam dan berdiri berhadapan saja, Rosea sudah bisa merasakan seberapa beda jauhnya kelas dia dengan pria di hadapannya itu. Tubuh Rosea menegak dan tangannya terkepal kuat meremas permukaan gaunnya. Beberapa kali Rosea harus mengatur napasnya dan mengumpulkan keberanian untuk menyapa. “Hallo Om, selamat siang. Saya temannya Prince, nama saya Rosea, Anda bisa memanggil saya Sea,” Rosea memperkenalkan diri secara formal. “Saya ayahnya Prince. Nama saya Leonardo. Panggil saya Leo,” jawab Leonardo terdengar menggeram dan rahang yang mengetat. Perlahan Rosea memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan melihat Leonardo kembali. “Anda ingin bertemu saya untuk urusan apa?” “Saya hanya ingin bertemu teman baru putera saya,” jawab Leonardo dengan dingin. Sepasang mata birunya tidak berhenti memperhatikan puteranya yang kini menggenggam erat tangan Rosea dengan akrab. Leonardo kembali melihat Rosea, “Anda memiliki waktu?” “Tidak ada,” jawab Rosea dengan cepat tanpa keraguan. Leonardo tersenyum meremehkan, dia bisa merasakan bagaiamana Rosea tengah menghindar darinya. “Tadinya saya ingin mengajak Anda makan siang bersama dan membicarakan sesuatu.” “Tidak usah Om. Jika Anda hanya ingin melihat saya saja dan tidak ada urusan lain lagi. Saya akan segera pulang karena memiliki urusan lain,” jawab Rosea lagi dengan penolakan. Rosea tidak tahan berdiri terlalu lama di sekitar Leonardo dan Prince, untuk saat ini dia hanya ingin segera pulang. “Tadi kamu bilang kamu ingin mencari makan siang. Di sini ada makan siang,” Prince yang sejak tadi diam dan tidak ikut campur, kini angkat bicara. Wajah Rosea bersemu malu karena sudah ketahuan berbohong, dengan cepat Rosea mengangkat kotak makanan yang sejak tadi di peluknya. “Kamu kan sudah memberi aku macaron. Aku akan memakannya untuk makan siang,” elak Rosea dengan sempurna. Prince terlihat sedikit kecewa mendengar jawaban Rosea namun anak itu tidak protes sedikitpun. “Anu, jika tidak ada urusan apapun lagi, apa sekarang saya sudah boleh pulang?” tanya Rosea lagi dengan terburu-buru. “Biar kami antar kamu pulang,” tawar Leonardo. “Tidak perlu repot-re_” “Kami bisa mengantar, ayo” Potong Leonardo dengan tegas tidak terbantahkan. Dengan berat hati Rosea mengangguk setuju, dari pada tertahan bersama Leonardo dan Prince, Rosea lebih memilih segera pulang meski harus di antar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD